5 Rian Fahreza

Hari semakin larut, namun sosok pria mungil yang berbaring malas di sofa ruang tengah itu seperti tak berniat sedikit pun untuk mencoba memejamkan mata. Televisi yang dibiarkan menyala sedari tadi tak dapat menarik perhatiannya. Tangan lentiknya sesekali meraba bibirnya yang sedikit menebal dengan robekan kecil di bibir bawah. Berdecak sebal mengekspresikan kekesalan saat ponsel yang dibiarkannya di meja itu sama sekali tak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda akan kabar dari kekasihnya.

"Sudah larut, kenapa tak tidur?"

Sebuah suara bariton, sesaat mengalihkan perhatian Rian. Dengan malas ia mendudukkan diri saat tangannya ditarik dan berakhir masuk ke dalam dekapan pria yang tubuhnya jauh lebih besar darinya. Lengan besar itu melingkupnya dengan erat hingga membuat Rian sedikit sesak dan dengan geram mencubit dada pria itu tepat di putingnya.

"Aouchh! Kenapa mencubit putingku, sih! Mau mengkode ku untuk lanjut gesek-gesekan tubuh seperti tadi? Aku siap-siap saja, hayuk!"

Rian pun tertawa terbahak-bahak saat bibir pria itu mengerucut dan mencium pipinya berulang kali, sampai-sampai meninggalkan saliva yang langsung diusap Rian dengan raut jijik.

"Kau jorok sekali, sih! Pasti besok pipiku timbul jerawat karena liur mu ini..." ucap Rian dengan menggosok-gosok pipinya, meski begitu rautnya yang semula suram menjadi sedikit lebih baik karena kekonyolan pria itu.

"Aku lebih senang melihat raut wajah memerahmu karena terangsang dari pada murung seperti tadi."

Pria itu membelai wajahnya pelan, raut matanya menatap tajam hingga membuat Rian tak bisa sekalipun mengalihkan tatapannya. Suara berat yang dibuat seperti berbisik itu membuatnya terbawa suasana. Nafas mereka bahkan saling berbenturan yang menandakan sedekat itu posisi mereka saat ini. Bibir mereka bahkan sudah sedikit terbuka siap untuk menerima masing-masing. Lengan besar pria itu kini sudah beralih untuk menangkup pantat kecil namun berisi itu untuk ditempatkannya di pangkuan. Meremas sedikit keras buntalan bulat itu dan mendorongnya semakin dekat kearah tubuhnya.

"Benarkah? Setelah ku kira pikiranmu hanya untuk hal yang tak jauh-jauh dari seks, sekarang terlihat semakin berkembang dari caramu berbicara. Kau semakin lihai mengolah kata, belajar dari mana cara merayu seperti itu?" tanya Rian dengan tangan yang tak bisa diam, ia mengacak rambut tebal pria yang memangkunya itu hingga membuatnya mencuat tak beraturan.

"Dari dulu kau menganggap aku seperti itu, ya? Jujur saja, aku cukup tersinggung. Hanya denganmu aku sanggup menahan hasrat liarku. Bahkan sampai saat ini kita belum bercinta dalam artian sesungguhnya, karena aku sungguh menghargaimu."

"Harusnya memang seperti itu, kan? Kau tau aku sudah punya kekasih dan bahkan seandainya aku tak punya pun kita memang tak mungkin, kan?"

Rian terpekik kaget saat secara tiba-tiba kepala pria itu menyusup ke dalam kaos miliknya. Belum sempat Rian mencegah, ia sudah terlebih dahulu melenguh keenakan saat puting kanannya terasa di hisap dengan keras.

"Hei! Hentikan... Eughhh!"

Rian hanya bisa menyerah, pria itu terlalu liar untuk dicegah, yang bisa ia lakukan saat ini hanya mendesah dan mendesah. Ia bisa merasa benda lembut dan basah itu melingkari puncak dadanya, mencoba beberapa kali menggigitnya untuk memberi tanda.

"Kau yakin bisa menghentikanku, eh!"

Tindakan pria itu semakin parah, tangannya kini bahkan dengan lancang masuk ke celana tidurnya dan mulai meraba kulit pantat nya secara langsung. Jari panjang pria itu bahkan mulai membelai daerah privasi miliknya.

Sangat gila! Rian harus menghentikan kegilaan ini, ia tak ingin mengkhianati Nathan. Hatinya masih untuk pria yang bahkan sering tak menghiraukan perasaannya itu.

"Hentikan sekarang, kurasa kau sudah melewati batasan mu!"

Ting tong

Bunyi bel apartement mengusik kenyamanan Rian yang masih berada di bawah alam sadar. Seperti tak mengerti, bel itu terus ditekan hingga membuat Rian menggeram kesal.

"Aii... Bukakan pintunya!"

"Aii..."

Beberapa saat, namun tak ada sosok yang menyahuti. Lengan kecil Rian pun meraba tempat di sekitarnya, namun tak dapat menyentuh sosok yang seharusnya ada di samping baringannya.

Netra Rian pun seketika terbuka, ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Tak ada tanda-tanda keberadaan pria itu. Seingatnya terakhir kali sebelum terlelap mereka bergumul di sofa tengah dengan kaki yang bertautan. Ya, meski karena peristiwa semalam Rian sedikit sebal tapi tak bisa dipungkiri perhatian kecil seperti memindahkannya ke ranjang membuatnya cukup tersanjung. Pria itu telah pergi.

Ting tong

Rian menepuk dahi saat menyadari ada tamu sedang menunggu dan ia malah sibuk berkhayal di atas ranjang. Tanpa mempedulikan tampilan lusuhnya, ia pun melangkah cepat kearah pintu masuk dan membukanya.

"Hai, sayang!"

Tanpa basa-basi Rian langsung melemparkan tubuh kearah gendongan sang kekasih. Senyumnya merekah dengan kaki yang semakin menaut dengan erat melingkari tubuh pria yang baru saja datang itu. Bukan yang semalam, yang saat ini hadir adalah pemilik aslinya.

"Aku tau kalau aku seringkali membuat orang rindu, tapi bagaimana kalau kita peluk-pelukannya di dalam saja?" pinta Nathan dengan tangan mengelus surai halus sang kekasih.

"Hehe... Kau yang dari kemarin sama sekali tak ada kabar, aku menjadi sangat khawatir," ucap Rian dan langsung turun dari gendongan Nathan. Tangan mungil itu menarik seorang pria yang baru saja hadir pagi-pagi sekali itu. Rian pun lantas menutup pintu dengan tergesa-gesa.

Mereka masih di depan pintu, tapi nampaknya Rian sudah tak sabar untuk mengecup bibir Nathan, kekasihnya yang sangat tampan itu. Ia yang tingginya hanya sebatas dagu Nathan pun sampai berjinjit dan menyangga tangannya di bahu lebar berbalut kemeja itu.

Ciuman mereka sangat lembut, tak tergesa. Mereka fokus menyalurkan rindu dan kekaguman pada masing-masing.

"Sebentar, sayang... Kau baru bangun tidur sesiang ini?"

"Ishh... Kau mengganggu kegiatan ku, kenapa?" balas Rian masih terfokus ke kegiatan mengecupi ringan permukaan bibir Nathan.

"Aku bahkan sudah setengah hari merasakan stress dikantor dan kau bahkan masih memakai baju tidur panda mu?"

Wajah Rian seketika terkesiap, ia melepas rangkulan lengan dan menjauhkan tubuh mungilnya.

"Aku begitu malu, pasti nafas ku bau, kan?"

Nathan sedikit kebingungan sekarang. Kekasihnya itu kini berwajah merah padam dengan kepala tertunduk dalam. Ia mencubit gemas pipi tirus itu dan mengecupnya beberapa kali.

"Aku heran kenapa kau begitu menggemaskan sekali... Tapi apa dengan berciuman ringan seperti tadi bisa membuat bibirmu membengkak seperti itu?"

Rian mengerjapkan mata beberapa kali, ia menjadi takut kalau sampai Nathan berpikiran yang terlalu jauh. Tangannya berusaha menyingkirkan jari yang meraba pelan bibirnya, menyingkirkan milik Nathan.

"Dan kenapa ini terluka?"

Tamat sudah, Rian tak bisa beralasan apa-apa saat ini. Ia terlalu gugup. Semua ini kesalahannya yang tak bisa bertindak tegas pada pria masa lalunya itu. Ia harus berpikir, hal seperti ini tak boleh membuat Nathan sedikit pun merasa keraguan untuknya.

"Aku baru sadar kalau ada luka, mungkin itu ada saat kemarin aku tak sengaja terantuk sesuatu," ucap Rian yang di pastikan sebuah kebohongan. Ya, hanya itu alasan yang terlintas di benaknya. Memang sedikit merasa bersalah, tapi Rian tak bisa membuat Nathan sedikit pun curiga karena telah mempunyai kedekatan dengan orang lain juga, kan?

"Kau memang ceroboh, lain kali berhati-hatilah! Oh ya, aku mau mengajak mu makan siang di luar, cepat bersiaplah!"

"Yey! Benarkah? Tunggu aku sepuluh menit, sayang!"

Raut wajah yang sempat memerah malu itu pun kini kembali ceria. Nathan hanya menggeleng-geleng kepala melihat kekasihnya yang berlari cepat ke kamar. Nathan selalu merasa terhibur dengan sifat kekanakan Rian itu.

Setelah beberapa saat matanya menyusuri ruangan tersebut, Nathan pun mendudukkan tubuhnya di sofa hitam yang ada di depannya. Tubuhnya bersandar di punggung sofa dengan lengan menarik dasi yang melilit lehernya begitu kencang.

Nathan menghembuskan nafas lega, sesaat sebelum sebuah benda menarik perhatian pria yang mengenakan setelan rapi itu. Gelang siapa ini?

avataravatar
Next chapter