25 Komplotan Breng**k

Maxime Nandara, pria dengan sejuta pesona dan visual yang tak bisa diragukan lagi. Sosok pemimpin yang tegas dengan banyaknya wawasan yang selama ini dipelajari.

Ia adalah orang yang bertekad dan berkemauan keras. Max tipe kepala batu dan sedikit buruknya ia suka memaksakan keinginannya itu. Bahkan karena sikapnya itu, ia pernah dijauhi oleh orang tersayangnya yang mulai hilang simpati padanya.

Max bukan pria yang terlahir dengan banyaknya perhatian dan cinta dari setiap orang yang melihatnya. Max juga pria yang pernah patah hati. Ia bahkan pernah merasakan titik terendah saat harus menaruhkan salah satu antara persahabatan dan cinta. Tapi karena kekerasan hatinya itu, ia malah merusak hubungan keduanya.

Ia pernah merasakan keraguan akan cinta saat ia malah diarahkan pada perasaan yang begitu tabu. Sempat ia menyangkal dengan keras bahkan membuatnya harus melakukan kesalahan fatal. Tapi kali ini Max akan bersikap beda, ia tau perasaannya saat ini terhadap Nathan adalah sesuatu yang sama saat dulu Max memandang seseorang dimasa lalu.

Max sekarang berusaha menuruti kata hati yang membuatnya nampak seperti pria gila yang begitu posesif ke pria lain. Ia sadar perasaan itu terlalu tak meyakinkan dengan hadir begitu cepatnya, tapi lagi- lagi pengalaman dimasa lalu mengajarkannya untuk tak menyia- nyiakan kesempatan yang ada.

Max bahkan terlalu peduli dengan pria yang baru dikenalnya itu. Rasa empati yang begitu dalam bahkan membuat ia harus bertindak untuk lebih mendekatkan hubungan antara ibu dan anak itu. Bukan ingin ikut campur, hanya saja Max tak pernah berharap untuk melihat lagi gurat sedih Nathan. Lagipula menurutnya, ibu dan anak itu hanya perlu diberikan pancingan agar saling terbuka satu sama lain.

Max dulu begitu dingin hingga tak mempedulikan keadaan sekitar dan seseorang berhasil membalikkan sifat dasarnya. Nathan nyatanya begitu berpengaruh di hidupnya, sesingkat itu.

Ia bahkan dibuat jungkir balik karena tingkah Nathan yang seolah mengajaknya bermain petak umpet. Mencoba beberapa kali untuk menghubungi Nathan, pria itu bahkan tak begitu saja menyerah meski tau kalau panggilannya tak akan dijawab.

Hari sudah begitu malam, Max yang beberapa hari ini telah terbiasa untuk ada di sekitar Nathan menjadi cemas. Saat ini ia masih ada di ruangan pria yang akhir- akhir ini berputar di ingatannya itu. Ruangan Nathan masih begitu benderang hingga membuat Max memutuskan untuk menunggu lebih lama.

Sedari tadi bahkan Max begitu sibuk menghubungi Nathan. Panggilan yang ditolak beberapa kali pun tak membuatnya gentar. Ia masih terus mencoba hingga sebuah panggilan lain kini memasuki ponselnya.

" Cepat kembali. Besok kau harus berangkat pagi- pagi sekali," suara keluar dari ponsel itu membuat Max sedikit menggertakkan gigi.

" Pa... bagaimana kalau ditunda satu minggu lagi?" Max berusaha membujuk papanya itu. Tiga bulan lebih, itu waktu yang sangat lama jika menyangkut Nathan. Ia masih ingin memepet pria itu setidaknya sampai Nathan bisa merindukannya saat ia harus pergi lama.

" Dan mereka akan hilang kepercayaan pada pemimpin mereka. Lagipula apa yang membuatmu menunda proyek besar ini sampai dua kali?"

" Bukan begitu... ada hal yang harus kulakukan,"

" Dan kurasa itu tidak lebih penting dari pada proyek besar di bali, kan? Ayolah Max... hanya sekitar tiga bulan, kau hanya perlu menjalankan administrasinya saja,"

Max pun langsung mengumpat jengkel saat panggilan langsung diputus oleh sang papa. Ia tak bisa lagi mengelak, Max harus segera pulang dan mempersiapkan perlengkapan untuk terbang ke bali.

Pagi pun terasa begitu berat saat ia mendapat kiriman gambar Nathan yang sedang tertidur pulas. Tommy mengirimkannya tanpa diminta, Max rasa Tommy bisa diajak kerja sama untuk mengejar Nathan. Memang ia pernah sedikit bercerita tentang ketertarikannya pada Nathan, Tommy yang berpikiran terbuka itu tak mempermasalahkan hal itu.

Memang saat pertama Max bercerita dengan Tommy, ia merasa sedikit ragu. Pria yang sejak awal diklaimnya bermulut besar itu malah yang lebih dulu mengakrabkan diri kepadanya. Ia tak sungkan untuk meminta bantuan hingga menggodanya tentang tatapan intens yang sering dipergokinya kepada Nathan.

Tommy yang berperan sebagai detektif dadakan itu tiba- tiba mendesaknya untuk bercerita tentang Nathan. Pria yang terlihat tak berperasaan dengan sering bergonta- ganti pasangan itu nyatanya adalah sosok pengamat yang baik. Ya... Tommy adalah sosok teman satu- satunya yang mengerti tentang perasaan Max kepada Nathan.

" Kalian semua tidur satu ranjang?"

Max langsung menyemburkan rasa kesalnya pada Tommy. Max yang masih mendudukkan diri di ranjang dengan tanpa atasan itu pun mengacak rambutnya yang sudah berantakan.

Awalnya ia sempat merasa sangat berterimakasih pada Tommy yang mengirimkannya foto menggemaskan saat Nathan tidur, ia bahkan mulai berpikir untuk memberikan kawan barunya itu sebuah hadiah. Namun beberapa saat kemudian ia malah ingin sekali menggolok leher pria itu. Bagaimana tidak, Tommy seperti ingin memanas- manasinya dengan beberapa foto Nathan dengan seorang gadis dipangkuannya, tak tau jelas kapan peristiwa itu terjadi. Foto- foto lain pun juga menambah emosi, Tommy memotret gambar Nathan yang sedang bertelanjang dada dengan pose berbaring dan terlihat menantang.

" Selamat pagi juga... bukankah lebih enak kalau kata pertama yang kau sebut adalah sebuah ucapan? Hoamm... kau membuat gendang telingaku pecah pagi- pagi begini,"

" Kau belum menjawab pertanyaanku,"

Max tak bisa diajak berbasa- basi, apalagi hal ini menyangkut tentang Nathan. Hatinya begitu panas saat menatap beberapa foto Nathan yang diyakininya baru diambil kemarin. Rupanya pria itu berusaha mengelabuhinya dengan lebih dulu pergi meninggalkan kantor ke rumah salah seorang kawannya.

" Apasih Max... harusnya kau berterimakasih padaku karena foto- foto itu. Bukankah Nathan terlihat begitu menggiurkan saat lidahnya menjulur keluar?"

" Heh! Bagaimana aku tak marah jika dia berpose seperti itu di depan kalian semua,"

Max berusaha tak meneriaki Tommy yang berbicara tanpa rasa bersalah itu.

" Posesif heh! Kau tenang saja, tak akan ada yang tertarik dengan Nathan. Kami berlima itu memang begitu dekat sampai- sampai seluruh tubuh antar yang lain pun begitu saling dihafal,"

" Kau memancing amarahku lagi. Bagaimana bisa kalian saling tau, jangan- jangan kalian...."

Max hanya bisa menunduk lesu. Ia tak mengetahui dengan jelas gaya pertemanan Nathan. Max yang hanya melihat dari benda persegi panjang itu bahkan merasa sangat terangsang, ia merasa sangat ragu jika yang lain hanya bersikap biasa saja.

" Kami sahabat dari lama, sering kepemandian atau pun menginap di tengah hutan. Kau jangan sampai meragukan persahabatan yang kami bentuk dari lama itu ya,"

" Terserah kau! Tapi bagaimana bisa Nathan mau saja kau potret seperti itu?"

" Kenapa kau begitu ingin tau? Apa kau begitu ingin melihat Nathan yang seperti itu secara langsung... Kau ingin meniru trik yang ku gunakan ya?"

Tommy semakin mengejeknya. Max yang selalu menang dalam berdebat pun sampai dibuat gelagapan dengan pemikiran Tommy yang begitu mudah menebaknya.

" Tom! Beri aku beberapa foto lagi. Setidaknya aku bisa menjadikan itu kenang- kenangan saat harus menetap sementara di Bali,"

" Kenang- kenangan? Bilang saja kalau itu akan kau jadikan bahan masturbasi,"

" Terserah apa anggapanmu,"

" Kau akan ke Bali? Dari suaramu sepertinya kau akan sedikit lama disana. Baiklah... sebagai promo teman baru, aku akan memberimu penawaran,"

" Aku sudah menyangka kalau kau akan berperan sebagai marketing yang baik. Tak ingin rugi, kan?"

" Kau sudah cukup mengenalku ternyata. Bagaimana kalau satu foto untuk satu wanita,"

" Deal! Jaga dia untukku,"

" Ahhh... kau memberiku tugas yang sangat berat, apa aku akan dapat imbalan tambahan dari itu?"

avataravatar
Next chapter