18 Kisah Ulang?

Wanita paruh baya itu sama sekali tak bisa memejamkan mata. Matahari sudah mulai meninggi namun sedikitpun wanita itu belum terlelap. Pikirannya masih saja berputar ke nasib nya yang selalu kurang mujur. Diusianya yang sudah menginjak empat puluhan harusnya ia sudah bebas dari beban hidup tentang persoalan cinta. Miris sekali, bahkan selama hampir separuh umurnya ia tak pernah berhenti mengejar pria impiannya itu.

Rara Aninditha, wanita yang masih begitu cantik dengan tubuh yang masih kencang terawat. Wajahnya yang ayu tanpa sedikitpun keriput membuat ia nampak lebih muda dari usianya.

Bangun dari ranjang, ia pun melangkahkan kaki telanjangnya kearah datangnya cahaya. Pandangannya menatap jauh ke jendela kaca besar yang menampakkan pemandangan hijau. Tubuh-tubuh semangat dibawah sana nampak begitu antusias menyambut kebaikan sinar matahari pagi. Senyum ceria yang begitu jelas walau Rara berada di lantai tiga bangunan besar itu. Tersenyum miris, ia merasa begitu iri. Wanita itu selalu menanti kapan gilirannya untuk tertawa bahagia seperti itu.

"Kenapa berdiam diri di sana, kau masih belum pulih benar," ucap suara bariton itu menyapa telinganya. Rara hanya diam terpaku, sama sekali tak berminat untuk menolehkan pandangan kepada pria yang kini terasa mendekat padanya.

"Kau harus kembali berbaring, ayo ku bantu!"

Rara menolehkan tubuhnya cepat, tangan nya pun menghempaskan lengan pria yang dengan kurang ajarnya menyentuh punggungnya. Ia sudah bertindak di luar batas.

"Jangan lagi-lagi kau mengurusi hidupku!" peringatnya dengan tajam. Matanya menatap nyalang kearah pria yang membalasnya dengan raut iba. Rara tak butuh di kasihani, apalagi oleh pria yang ia benci sedalam-dalamnya itu.

"Ra..."

"Heh! Jangan membuat wajah yang menyedihkan itu! Aku tau... Aku tau pasti dalam hatimu menertawakan ku, kan?!" kesal Rara dengan mendorong dada pria itu menjauh. Wajahnya sudah merah padam, air mata yang langsung membanjiri pelupuk mata itu pun membuat pandangannya memburam.

"Apa maksudmu? Aku..."

"Tak usah kau tahan. Jika ingin tertawa, tertawa saja! Tertawakanlah hidupku yang akan hancur sebentar lagi!"

Tangis Rara pun semakin histeris, kedua lengannya kini melampiaskannya dengan memukul dada pria di hadapannya itu.

"Sebentar lagi aku akan menghadapi peristiwa yang sama, akan sendirian lagi."

Pria paruh baya itu pun berusaha memeluk tubuh Rara yang menggeliat ingin dilepaskan. Tangisan itu begitu membuat hatinya merasakan sakit. Semua ini karenanya, ia memang begitu pantas mendapatkan penyesalan yang begitu terasa mengiris relungnya.

"Tenanglah!"

"Aku membencimu, lepaskan aku!" teriak Rara dengan masih memberontak. Mereka masih dengan ego nya masing-masing. Satu orang yang begitu ingin meminta pengampuan dan di sisi lain beranggapan bila semua itu sudah tak berguna lagi.

"Astaga! Ada apa dengan Rara, Hardi!"

Rara sudah tak mempedulikan sekitar, pikirannya begitu kalut. Kepalanya begitu pusing, ia bahkan baru menyadari tubuhnya yang melayang di gendongan Hardi.

Di baringkanlah tubuhnya yang terasa begitu lemas. Seorang dokter datang begitu cepat dan memeriksa jahitan luka di lengan kanannya yang terbuka lagi.

"Apa yang sebenarnya terjadi Hardi?"

Suara sahabatnya Rara itu adalah kata terakhir yang ia dengar sebelum mata wanita paruh baya itu terlelap oleh bius yang disuntikkan kepadanya.

Mengelap wajah Rara yang penuh air mata, Nina menatap tajam kearah pria yang kini menundukkan kepalanya dalam.

"Bagas akan menceraikannya," ucapan lirih itu membuat Nina semakin merasa miris dengan nasib Rara, sahabatnya itu.

"Huh! Aku tak bisa membayangkan bagaimana remuknya hati Rara. Mereka sudah lama bersama, kenapa hal ini bisa terjadi, Jo!"

Nina menangis sesegukan, Jonathan yang ada di sampingnya itu pun langsung memeluk tubuh sang istri.

"Kenapa nasibnya selalu berakhir seperti ini, Jo! Dua kali... Haruskah ia mengalami keadaan ini lagi?!"

Nina berujar penuh kekesalan, matanya kini menatap Hardi dengan mata tajam.

"Ada apa dengan tante Rara, Pa?"

"Sstst, diamlah!" perintah Jonathan dengan berbisik pada Cherlin, putrinya itu.

Ketukan di pintu membuat Nina langsung menghapus air matanya. Itu pasti Nathan, Nina tak ingin anak sahabatnya itu menatap curiga kepadanya yang banjir air mata. Kalaupun semua harus terbongkar, Rara sendirilah yang harus mengatakannya.

"Cherlin, bukalah pintunya!"

Pintu terbuka Max masuk terlebih dulu, Nathan yang mengekor dibelakang itu sedikit merasa canggung, meski dalam hati ia begitu cemas mendapati mamanya yang dirawat di rumah sakit.

"Nathan... Kesinilah, jenguk mama mu!" ajak Hardi dengan menarik tangan Nathan mendekat ke sisi ranjang.

"Mama kenapa paman?"

"Kecelakaan, dia menyetir mobil sendiri kemarin malam."

Nathan menolehkan pandangannya ke Pak Hardi. Sedikit aneh dirasakannya saat menatap pandangan penuh luka pria paruh baya itu.

"Setahuku mama tidak pernah lagi menyetir mobil sendiri. Atau bisa jadi mama sudah mulai menyetir, lagi? Entahlah, aku tak terlalu dekat dengannya."

Nathan berucap begitu lirih, ia seperti berbicara dengan pikirannya sendiri.

"Ehmm... Sebaiknya kita keluar dulu, terlalu banyak orang akan membuat istirahat Rara tak nyaman."

Nina pun menggiring semua orang keluar. Ia tau Nathan yang malang itu pasti ingin sekali menatap kesakitan ibunya dengan keadaan yang tenang.

Max yang berjalan keluar dengan posisi paling akhir itu menolehkan pandangan ke Nathan. Ia merasa begitu khawatir, Nathan nampak terdiam terpaku disana. Jika bisa, ingin sekali Max menarik tubuh lemas itu ke pelukannya, mengelus punggung itu dan menawarkan dada untuk di jadikan tempat bersandar. Ya, jika bisa!

"Ayo, brother!"

Max harus keluar saat Cherlin menariknya. Pintu dengan pelan ditutup, Nathan pasti begitu sedih. Mama yang sejak kemarin terlihat begitu dihindari, Nathan yang bahkan berucap langsung walau dalam keadaan setengah sadar. Pasti perasaan Nathan begitu campur aduk, disatu sisi Nathan yang menahan emosi karena masalahnya dengan sang mama atau pun kekhawatiran pada wanita paruh baya itu. Max begitu ingin menghibur Nathan saat ini.

"Brother!" panggil Cherlin dengan memukul lengannya. Max begitu kaget dan dengan kesal ia pun menatap tajam adiknya itu.

"Ada apa denganmu? Kau bisa memanggilku dengan pelan, suaramu bisa saja membuat seluruh penghuni rumah sakit ini terganggu," ucap Max membuat Cherlin mengerucutkan bibir. Menggapai leher tinggi sang kakak, ia pun memiting kepala itu dan memukul- mukulnya pelan.

"Brother selalu saja sewot saat berbicara denganku, padahal yang ingin aku katakan saat ini begitu penting!"

Melepas belitan lengan Cherlin, Max pun menatap dengan menuntut. Cherlin adalah mata-mata yang akurat, barangkali mengenai Nathan itu adalah yang paling penting sekarang.

"Ikut aku!"

Max menarik lengan adiknya itu sedikit menjauh dari tempat duduk orangtuanya.

"Katakan!"

"Huh! Bisa bicara baik-baik tidak, sih!"

Cherlin menatap jengkel kearah kakaknya yang menatap penuh desakan itu.

"Adikku tersayang... Informasi apa yang kau tau, bolehkah aku mengetahuinya?"

Max berbicara halus namun penuh penekanan. Adiknya itu selalu saja bisa membuatnya jengkel dengan sikapnya.

"Tapi kau harus menuruti keinginanku, pecat bodyguard itu sekarang juga!"

Max sudah bisa menebak watak licik Cherlin. Meski begitu ia berusaha tetap sabar demi informasi yang akan dia dapat.

"Jika informasi itu benar-benar penting, aku akan menuruti keinginanmu itu."

"Mereka tadi menyebut tentang perceraian yang terulang lagi. Ya... Kurasa tante Rara akan bercerai."

Max menatap tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Cherlin, mana mungkin itu terjadi. Bagaimana bisa hubungan yang terlihat harmonis seperti itu bisa timbul kata perceraian, tante Rara dengan Om Bagas.

"Beritaku sangat eksklusif, kan? Kalau begitu kau harus menuruti keinginanku, brother!"

avataravatar
Next chapter