6 Kecemburuan Laita

"Nia! Tungguin gue." panggilku meninggalkan Kak Gilang dengan Laita dan Kak Ayong.

Nia berhenti, "Kenapa nggak bareng Kak Gilang aja?" Nia menatap ke arah Kak Gilang yang kini asik mengobrol dengan Kak Ayong dan Kak Laita. "Oh, Kak Laita." pangkas Nia langsung mengerti.

Aku menoleh sekilas, tepat saat Kak Gilang tidak sengaja juga menatap ke arahku. Kami tertegun beberapa saat di posisi ini, saling melihat satu sama lain tanpa berucap dan menyapa. Sebelum akhirnya seseorang menyerempet bahuku, membuatku tersungkur ke lantai begitu saja.

Aku mendongak, "Arcken?" Ucapku melihat laki-laki putih itu masih berdiri di tempatnya tanpa rasa bersalah.

"Lo ngapain duduk-duduk di situ? Lo males cari tempat duduk atau gimana, sih?"

"Heh! Enak aja. Gue jatuh gini juga karena lo, ya! Malah ngata-ngatain gue seenaknya lagi sekarang."

"Terus lo mau apa sekarang?"

"Gue nggak mau apa-apa. Gue tau lo nggak akan minta maaf untuk ini, tapi gue mau lo minimal bantu gue buat berdiri sebagai rasa bertanggung jawab."

"Berdiri aja sendiri." balas Arcken ringan, lantas pergi begitu saja.

"Arcken! Sialan, ya, lo!" Teriakku tidak di gubris laki-laki dingin itu.

Arcken meninggalkan aku begitu saja, dan tetap tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku tidak mau terus-menerus terlihat bodoh dengan duduk di lantai, jadi aku lekas berdiri dan membersihkan debu yang menempel di rok abu-abu yang panjang.

Nia masih di sekitarku berdiri, dia cekikikan sekarang. "Kenapa lo ketawa? Ketawain gue, ya!" Aku tidak terima.

"Enggak! Nggak salah." jawab Nia masih di iringi tawa ringan.

"Dasar resek!"

Kami masuk ke mushola, tempat di mana para anggota OSIS yang lain sudah berjajar rapi duduk di sana. Kami memang memiliki ruang OSIS, tetapi mushola yang dingin selalu cocok untuk siang yang amat panas seperti ini.

Ketika aku dan Nia masuk, aku melirik sekilas barisan OSIS laki-laki, terlihat bagaimana Arcken menatapku tanpa rasa bersalah atau canggung sedikitpun di tempatnya. Dia malah asik bercanda dengan yang lain sebelumnya. Dasar laki-laki tidak berprasangka!

Aku dan Nia gabung dengan yang lain, termasuk Mariska yang sudah berada di sana. Siria juga sudah asik mengobrol dengan anak IPS. Sangat asik.

"Mana, Kak Gilang?" Bisik Siria langsung menodong.

"Lagi sama calon pacarnya." jawabku ringan dengan menatap lurus memperhatikan punggung dari siswi lain.

"Hah?" Siria tidak memahami perkataan aku.

"Laita?" Tanya Ega yang juga di samping kami. Aku melirik mereka berdua dan memainkan mata untuk mengiyakan ucapan Ega.

Tidak lama, Kak Gilang, Kak Laita dan Kak Ayong memasuki mushola. Dengan buku besar di tangannya Kak Laita memang sekertaris OSIS yang teladan. Ketua OSIS, wakil dan sekretaris itu duduk di depan barisan anggota OSIS yang lain dengan wajah sumringah alakadarnya.

Kak Gilang mencari seseorang di barisan putri, entah siapa lagi yang dia cari saat ini, tetapi perasaanku agak terganggu. Benar saja, ketika matanya telah berhasil menemukanku bibir itu tersenyum puas. Aku tahu, sebentar lagi dia pasti memanggilku untuk ke depan.

"Sirene Paprisia? Kenapa kamu di sana? Ke depan!" Aku sudah menduga ini! Kak Gilang memang tidak bisa mengerti perasaan Kak Laita yang langsung terbelalak ke arahku, di ikuti anggota OSIS yang lain.

Aku mulai risih dengan tatapan semua orang, pasalnya tidak hanya kelas IPA dan IPS, tetapi anggota OSIS jelasnya dari kelas 1 sampai Kelas 3. Belum lagi kakak-kakak judes angkatan Kak Gilang dan Kak Ayong yang sering menatapku sinis. Berada di depan artinya menjadi pusat perhatian mereka. Namun, apa boleh buat. Aku paham benar Kak Gilang tidak akan membiarkan aku tetap duduk di barisan anggota OSIS yang lain.

Aku beranjak sebelum perhatian mereka semakin menjadi-jadi, dan langsung mengarah untuk duduk di dekat Kak Laita. "Sini aja!" Tangan Kak Gilang tidak sungkan menarik aku begitu saja, ke sisi kanannya. Menggetarkan Kak Ayong yang sudah duduk sejak tadi.

Tubuhku terperosok begitu saja, dan ya duduk di samping kanan Kak Gilang dan samping kiri Kak Ayong. Jika kekasih Kak Ayong melihat ini, aku yakin aku berada dalam masalah baru.

Selama rapat berlangsung jantungku tidak berhenti berdetak kencang, tidak tahu ketakutan mana yang kini mengusik jantungku. Ini tentang Kak Laita atau Kak Laras kekasih Kak Ayong yang amat posesif itu, yang jelas ada ketakutan atas keduanya saat ini.

"Oke, sekian rapat untuk hari ini dan untuk pelaksanaannya saya harap akan berlangsung secepat mungkin mengingat acaranya segera berlangsung. Untuk pihak-pihak yang terkait dan bekerja sama saya harap bisa menjalankan semuanya sesuatu target. Saya tidak mau ada perdebatan, atau senioritas di sini. Saya harap semuanya dapat berkoordinasi dengan baik demi kelancaran acara." tutup Kak Gilang sebagai pemimpin rapat.

Setelah itu, semua orang keluar dari mushola dengan saling berjabat tangan. Setidaknya ini adalah bentuk dari solidaritas antar OSIS di sekolah kami. Beberapa dari mereka memberikan kesan ramah, dan beberapa lagi pastinya tidak enak untuk di pandang. Terutama, angkatan Kak Gilang yang mulai merasa terusik dengan keberadaan aku. Aku memahami itu.

Beberapa dari mereka juga berlaku genit kepadaku, contohnya saja Kak Aji yang memainkan jarinya saat menjabat tanganku. Anehnya, ekspresi yang dia tunjukkan justru datar-datar saja. Aku tidak memahami apa maksud dari laki-laki jangkung putih itu. Dan setelahnya rombongan Arcken.

Dengan wajah dinginnya Arcken mengulurkan tangan, menjabat tanganku tanpa sentuhan halus sedikitpun. Hanya saja kami saling menatap tajam. Orang yang sejak pertama kali aku sukai itu memang selalu punya caranya sendiri menghadapi aku. Aku tahu, dia mengetahui bahwa aku menyukainya dari beberapa teman dan karena hal itu tingkahnya sangat aneh terhadapku.

"Udah! Gantian." Kak Gilang tiba-tiba memukul tangan kami. Membuyarkan tatapan kami yang mendalam.

Kami saling buru-buru melepaskan tangan satu sama lain, dan melanjutkan yang sedang kami kerjakan. Meskipun Arcken telah berlalu, bayangan dirinya tetap saja melekat di pelupuk mataku. Dengan bibir merah jambu karena tidak merokok seperti yang lain, dia selalu bungkam di iringi tatapan mendalam. Dan alis hitam itu seolah melambai, mengatakan untuk di sapa atau di rayu dengan manis. Namun, sikap dinginnya mematahkan semua keindahan itu, dan justru memberikan keistimewaan lain.

Semua orang sudah keluar, kini tinggal Kak Gilang, Kak Laita, Kak Ayong dan aku di mushola. "Ayo, Gil! Langsung ke kantin, aja." kata Kak Ayong.

"Ya, udah ayok!" Kak Gilang meraih tanganku untuk mengikutinya.

Aku menatap Kak Laita yang masih terpaku di tempatnya. Aku menepis tangan Kak Gilang buru-buru. "Ada apa?" Tanya Kak Gilang polos, tanpa rasa bersalah.

"Nggak ada. Cuma, gue mau ke perpustakaan bukan ke kantin, Kak. Jadi kalian duluan, aja." elak aku.

"Perpustakaan?"

"Iya, Kak Gilang. Ee, gue ada tugas dan belum di kerjain, jadi sekarang gue mau ke perpustakaan mau kerjain tugas dulu baru ke kantin."

"Ya, udan kalo gitu aku temenin. Nanti kita ke kantin barengan aja."

"E! Nggak usah!"

"Kenapa lagi? Aku nggak papa kok kalo harus nemenin kamu ke perpustakaan dulu baru ke kantin."

"E, masalahnya... ."

"Udah lah, Gilang. Sirene pasti pengen fokus ngerjain tugasnya. Lo nggak usah repot-repot buat gangguin dia."

"Gue, nggak gangguin dia Yong. Gue cuma mau temenin dia."

"Sama aja! Udah ayok." Kak Ayong menaik lengan Kak Gilang. "Ayo Laita kita ke kantin." ajak Kak Ayong yang lebih mengerti kondisinya.

Kak Laita hanya mengangguk, aku melihat jelas dirinya tidak baik-baik saja saat ini. Ini pasti karena kecemburuannya terhadapku. Aku juga tidak tahu harus bagaimana. Ini semua karena Kak Gilang. Seharusnya, dia lebih bertanggung jawab atas perasannya. Dia tidak boleh mencampakkan Kak Laita begitu saja setelah satu tahun lebih mereka dekat tanpa kepastian. [ ]

avataravatar
Next chapter