webnovel

Kamu Suka Arcken?

"Sirene? Apa ada masalah?" tanya Pak Dona sudah duduk di kursinya.

"Enggak, Pak. Tadi saya bangunnya agak kesiangan jadi masih pusing sekarang karena terburu-buru tadi."

"Makanya, jangan suka begadang. Lagian, kamu begadang sampai kesiangan seperti itu, ngapain aja?"

"Ya pastinya main HP, dong, Pak." sela Widi.

Aku melirik Widi, dan Widi acuh hanya membalasnya dengan senyuman. "Main HP? Sampek malem banget ngapain aja? Nggak bosen?"

"Biasa, Pak!" seloroh Edo pula. "Pastinya chatting sama pacarnya lah!"

"Sirene punya pacar, tah?"

"Ya pasti punya lah, Pak! Sirene!" jawab Dana semangat.

Aku hanya menggeleng karena ulah mereka, "Beneran? Kok Bapak ketinggalan informasi!" ucap Pak Dona seperti biasa sangat heboh. "Siapa-siapa?"

"Adriansyah siapa gitu Pak, susah namanya." ucap Dana lagi yang paling bersemangat.

"Adriansyah? Orang mana?" tanya Pak Dona semakin penasaran.

"Orang kuburan, Pak!" seru Arif teman sebangku Dana.

"Hahaha, orang kuburan!" tawa Edo dan yang lain mendengar ucapan Arif yang nyeleneh.

"Iya, 'kan? Orang Balik Papan, berarti 'kan di kuburan. Orang yang udah meninggal itu 'kan di letakin di balik papan juga, berarti balik papan artinya di kuburan." jelas Arif.

"Suka lucu, si Arif! Balik papan itu nama daerah." kata Pak Dona sembari memasang wajah sumringah.

Semua orang tampak senang, semuanya tertawa. Sedangkan aku, yang kini menjadi topik pembicaraan mereka tetap saja mengunci bibir. Tidak satu senti pun bibirku tertarik, tidak sama sekali. Melihat aku masih saja acuh, Pak Dona melaksanakan apa yang menjadi tujuannya datang ke kelas kami. Dan kami belajar dengan sangat nyaman, dengan keceriaan yang sesekali membuat suasana kelas pecah.

Tidak lama kemudian, seseorang masuk ke kelas kami. Meminta izin untuk menyampaikan sesuatu, sebuah pengumuman. "Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," Kakak kelas itu membuka salam di depan kelas. "Mohon perhatiannya sebentar, untuk seluruh anggota OSIS di mohonkan untuk berkumpul di mushola saat ini juga, terimakasih." kata kakak kelas yang merupakan ketua OSIS tersebut.

"Sekarang, Kak Gil?" tanya Nia, Kak Gilang mengangguk dengan senyuman yang manis.

"Gila, ya, Kak Gilang ganteng banget!" bisik Anjani.

"Iya, udah ganteng, soleh, pinter, sopan lagi!" puji Siria.

"Ada yang mau di tanyakan lagi?" Kak Gilang melihat gadis-gadis genit sedang berbisik di barisanku.

"Tidak, Kak." jawab Siria.

"Oh, oke. Sirene?" aku menatap Kak Gilang. "Sehat?" tanya Kak Gilang penuh perhatian.

Aku melihat ke sekeliling kami, Pak Dona tersenyum ke arahku begitupun dengan Edo dan yang lain. Hanya kubu Arda yang nampak tidak terima melihat Ketua OSIS yang selama ini menjadi idola itu kini memperhatikanku.

"Sehat kok, Kak." jawabku lirih.

"Khem!" Pak Dona memecahkan situasi yang tidak nyaman ini.

Kak Gilang menoleh ke arah Pak Dona dan tersenyum, "Apa, sih, Pak?"

"Bukan apa-apa, batuk aja." kata Pak Dona masih di iringi senyuman.

"Oke kalau gitu, saya akhiri Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." salam Kak Gilang yang di jawab serentak oleh semua orang. "Ayo, Sirene!" ajak Kak Gilang masih berdiri di depan kelas.

"Gue, Kak?" aku menunjuk diriku sendiri seperti orang bodoh.

Kak Gilang mengangguk dengan senyuman yang membuat semua orang Meleleh itu, "Iya! Kamu. Ayo ikut! Aku butuh temen buat ngasih pengumuman ini ke kelas IPS."

"Oh, iya, Kak." aku bangkit, dan setiap gerak tubuhku aku yakin kini menjadi pusat perhatian semua orang.

Aku menghampiri Pak Dona bersamaan dengan Kak Gilang, kami meminta izin dan menjabat tangan guru yang humoris tersebut dengan sopan. "Cie, yang di panggil kamu!" ledek Pak Dona lagi sebelum kami pergi. Kak Gilang hanya tersenyum, dan aku kembali terlihat konyol.

"Silahkan, bendahara!" Tangan Kak Gilang mempersilahkan aku untuk berjalan lebih dulu.

"Cie!" Semua orang meneriaki kami dengan heboh.

Wajahku pasti terlihat sangat merah saat ini. Aku tidak tahu, mengapa Kak Gilang selalu berlaku berbeda kepadaku. Bahkan ketika di depan umum seperti ini, dia tidak canggung untuk mengistimewakan aku. Aku merasa sangat tidak nyaman, bukan karena perlakuan Kak Gilang, tapi dengan tanggapan orang-orang di sekeliling kami. Di tambah lagi, dengan orang-orang yang menyukai Kak Gilang seperti Laita yang sudah sejak lama di kabarkan dekat dengan Kak Gilang.

Aku berhenti di samping kelas 7 IPS, dan langsung memutarkan tubuh menatap Kak Gilang yang tersenyum aneh ke arahku. "Kak Gil, emang harus banget ngasih pengumuman gitu aja berdua?"

"Kenapa? Kamu takut gebetan kamu cemburu liat kita berduaan gini?"

"Enggak! Enggak gitu! Maksudnya, ya-"

Kak Gilang langsung meraih tanganku, menggandengnya begitu saja. "Udah ikut aja!" katanya dan langsung masuk kelas IPS.

"Asalamualaikum!" salam Kak Gilang memecahkan keheningan kelas IPS yang sedang serius belajar.

"Waalaikumsalam!" jawab semua orang dengan menatap ke arah kami.

Tanganku masih di gandeng Kak Gilang sewaktu masuk dan kini menghampiri guru di mejanya. Pak Budi yang sejak tadi melihat kami juga memperhatikan tangan kami. "Tangannya kenapa, Gilang?" tanya Pak Budi menatap keadaan tangan kami.

Aku menatap semua orang yang kini juga menatap tangan kami, aku mencoba melepaskannya tapi Kak Gilang menahannya dengan tegas. "Nggak papa, Pak. Sirene hari ini lagi kurang enak badan, makanya saya peganggin biar nggak jatuh."

Pak Budi menatapku, "Mata kamu sembab, abis di apain sama Gilang?"

aku langsung meraba kedua kantung mataku dengan tangan yang satunya, "Enggak kenapa-napa, Pak." kataku.

"Tuh, Sirene nggak kenapa-napa, lepasin!" perintah Pak Budi.

Kak Gilang tersenyum, dan melepaskan genggamannya. "Iya-iya, Pak."

Kami sudah berdiri di depan kelas, aku berdiri di samping Kak Gilang yang menjelaskan kedatangan kami. Aku menatap semua wajah kelas IPS dengan bergantian. Sangat jarang sekali bisa masuk ke kelas IPS yang hampir sepenuhnya adalah laki-laki. Mataku langsung terhenti ke kursi paling ujung sebelah kanan, seorang pria dengan kulit putih dan wajah khas suku Sumatra Selatan itu juga menatapku dengan datar.

"Arcken RivaldoEngaindo, jangan ngeliatin Sirene kayak gitu lagi, ya!" seru Kak Gilang selesai memberikan pengumumannya.

Aku terkejut dengan ucapan Kak Gilang, langsung menatap ekspresi Arcken yang masih datar. Semua pasang mata juga menatap Arcken tiba-tiba. Arcken tidak peduli, bahkan ia masih saja menatap ke arahku dan Kak Gilang tanpa ekspresi. Lalu, Kak Gilang tertawa kecil dan langsung menghampiri Pak Budi untuk berpamitan. Aku mengikuti langkah Kak Gilang, sesampainya di dekat pintu tangan Kak Gilang kembali meraih tangan kananku dan langsung menggenggamnya tanpa rasa bersalah.

"Gilang!" teriakan Pak Budi bahkan tidak di hiraukan Kak Gilang.

"Kamu suka sama Arcken?" aku langsung menghentikan langkahku.

"Maksudnya?"

"Nggak! Sejak pertama kali kamu masuk sekolah, sejak masa-masa PLS aku liat kamu suka perhatiin Arcken diem-diem. Kamu suka 'kan sama Arcken?"

"Apa, sih, Kak Gilang! Aku nggak suka sama Arcken!" sangkalku.

"Terus kenapa kamu suka liatin dia diem-diem?" telisik Kak Gilang.

"Ya, karena Arcken itu beda."

"Beda?"

"Iya. Beda dari aku. Aku 'kan dulu SMPnya nggak di sini, di ujung Jawa sana, jadi nggak pernah tau ada suku komering kaya Arcken. Pas tau Arcken orang komering, ya, aku penasaran aja makannya suka merhatiin dia."

"Yakin cuma gitu doang?"

"Iyalah, apa lagi?"

"Sirene! Kalau cuma itu alesannya, gimana aku mau percaya? Di kelas kamu aja ada Tio, Aldo sama Angga yang suku komering, tapi kamu nggak suka perhatiin mereka. Kenapa harus Arcken?"

"Kata siapa? Aku suka liatin dan perhatiin mereka semua kok."

"Gilang! Ayo!" Kak Ayong tiba-tiba datang menghampiri kami.

Kak Ayong menatap tangan kami yang masih berpegangan, "Hem! Ini anak dua! Masih sempet-sempetnya aja!"

"Gimana? Kita cocok nggak?" tanya aneh Kak Gilang.

Kak Ayong tersenyum, "Cocok kok!" jawabnya.

"Kak Gilang?" seseorang memanggil Kak Gilang dari belakang kami.

Aku, Kak Gilang dan Kak Ayong melihat ke arah suara itu berasal dan kami melihat seorang gadis cantik berjalan menuju kami. "Kak Laita!" seruku, sebelum akhirnya melepaskan tangan Kak Gilang dengan refleks.

Kak Gilang melihat tindakanku dan menatapku penuh arti, "Rapatnya di mushola 'kan?" tanya Kak Laita dengan ramah.

Aku mengangguk. Suasananya menjadi sangat aneh. Meskipun aku tidak memiliki perasaan apapun terhadap Kak Gilang, aku tetap saja berusaha keras untuk menjaga perasaan Kak Laita. Dengan sopan aku berpamitan, meninggalkan mereka tetap berbincang di sana dan langsung masuk ke mushola bersama dengan OSIS yang lain. [ ]