webnovel

Diamnya Orang Cerita

Sesampainya di dalam kelas, kelas 7 IPA yang terletak di samping kanan gedung perpustakaan. Sebelah kiri kelasku adalah toilet, mushola, dan juga kelas 7 IPS. Sesampainya di kelas, aku langsung ke mejaku. Meja ke dua dari barisan kanan dan kedua dari hadapan meja guru, yang langsung menghadap papan tulis besar itu. Aku letakkan ransel merah yang sebelumnya nyaman di punggung, duduk mematung menatap lurus ke depan. Tak seperti biasanya yang sangat ceria menyapa setiap penghuni kelas yang lain.

"Sirene, lo tumben dateng agak telat gini?" tanya Siria yang duduk di hadapanku dengan memutarkan tubuhnya.

"Gue bareng Kak Dion tadi." jawabku singkat.

"Oh, tumben. Emang motor lo lagi di mana?"

"Lagi di bengkel." jawabku kembali singkat.

Tidak lama kemudian bel masuk berbunyi, semua murid kembali ke tempat duduknya meskipun masih saja mengobrol dari tempat mereka. Mengenai Siria ia kembali ke posisi yang seharusnya, dan melanjutkan perbincangan dengan teman sebangku yang bernama Ega itu. Siria memang berasal dari desa yang sama dengan yang aku tempati, kami juga dulu teman SD, jadi wajar kalau dia mengenal Dion. Selain sangat akrab, aku dan Siria memiliki nama yang hampir sama, bahkan orang kadang kesulitan membedakan nama kami. Sire untuku, dan Siri untuk Siria.

"Hari ini nggak ada PR, 'kan?" tanya teman sebangkuku.

Aku menoleh gadis kurus di samping kananku dengan wajah datar, "Enggak." jawabku kepada Astoria yang juga masih kerabat dekatku itu.

"Oh!" serunya kembali memutar tubuh, asik mengobrol dengan Yulia, Anjani, Devi dan Tessa yang duduk di belakang kami.

Aku juga kembali menatap lurus ke depan, bahkan tidak peduli dengan yang lain yang masih bising. Guru datang, mata pelajaran kimia. Pak Baim yang mengajar untuk mata pelajaran yang sama sekali tidak aku sukai ini. Beliau datang dengan semangat, ramah dan langsung tersenyum. Beliau duduk di tempatnya dan langsung membukanya dengan salam sebagai orang muslim, kemudian seluruh murid di kelas menjawabnya. Doa di pimpin oleh ketua kelas, Edo yang bertubuh jangkung duduk di samping kiri Siria itu.

"Berdoa selesai." Edo mengakhirinya dengan tegas, dan semua orang mengangkat kepala termasuk aku.

"Sirene jam berapa sekarang?" bisik Dana dari barisan belakang Edo.

Aku menatap jam putih di pergelangan sebelah kiriku, "Jam 07:45!" seruku tanpa menoleh.

Pak Baim masih saja menjelaskan materi, sesekali berinteraksi dengan siswa-siswi. Suasana kelas sebenarnya sangat nyaman, tapi hatiku yang tak karuan tidak bisa menyatu dengan itu. Aku masih saja diam, bahkan mungkin hari ini yang datang ke sekolah hanya ragaku. Aku sendiri sudah hilang, Sirene yang biasanya ceria itu telah pergi. Kini, Sirene yang semua orang temui dan lihat adalah Sirene yang berbeda. Sirene yang kotor dan sudah ternoda. Sudah tidak pantas hidup di dunia, itu pikirku bahkan ketika menatap yang lain nampak sempurna dengan mahkota.

"Sirene!" panggil Pak Baim dengan lantang dari depan kelas.

"Hah? Ada apa, Pak?" aku sangat terkejut.

"Kamu dari tadi bapak panggil tidak menjawab, tapi melihat ke depan terus. Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Pak Baim. Kini, semua orang menatap ke arahku.

Aku hanya menggelengkan kepala, tidak mungkin memberi tahu kepada semua orang bahwa ini tentang kejadian semalam. "Apa yang di maksud dengan Elektronegativitas?" tanya Pak Baim itu langsung menuju aku.

Aku hanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan bodoh, karena tidak memperhatikan apa yang Pak Baim sampaikan sejak tadi. "Makanya memperhatikan, Sirene! Pagi-pagi jangan melamun." kata Pak Baim melanjutkan materinya.

Semua orang kembali fokus, meskipun beberapa pasang mata masih tertuju ke arahku dengan aneh. Aku menangkap pandang aneh mereka, seperti pandang Tio, Aldo dan Angga yang tajam. Sahrul juga menatap fokus bersama Aldi dari meja paling ujung di sebelah kanan sana. Aku tidak tertarik untuk memikirkan apa yang ada di kepala mereka saat ini. Aku kembali menatap papan tulis yang sudah penuh dengan coretan rumus yang sama sekali tidak aku pahami itu. Kemudian, kembali terpaku.

Pergantian jam pelajaran di tandai dengan bel yang lagi-lagi berbunyi, Pak Baim undur diri dan kembali ke kantor. Guru mata pelajaran selanjutnya belum masuk kelas, dan ini di manfaatkan semua murid IPA untuk bercengkrama bebas lagi. Mereka akan memutar tubuhnya dan saling mengobrol, bahkan mereka beranjak dari kursinya dan saling berbicara. Tidak terkecuali Siria, Ega, Astoria dan teman-temanku yang lain.

"Sirene, jam berapa sekarang?" Lagi-lagi Dana menanyakan hal yang sama ke padaku. Setiap hari, Dana memang begitu.

Aku kesal dengan Dana, semua orang dan diriku sendiri hari ini. Aku mendengus kesal, dan hanya menyodorkan tangan kiriku ke Dana. "Liat aja sendiri!" perintahku dingin tak menoleh.

"Lo kenapa si, Ren? Tumben amat diem aja dari tadi." tanya Edo.

"Iya, biasanya heboh sendiri. Ini diem aja." timpa Dwi. Dan kini Dwi dan Widi yang duduk di belakang Edo, pas di samping kiriku menatap penasaran.

Aku hanya melirik mereka sekilas dan kembali menatap lurus yang entah apa objekku. "Lagi males aja." kataku singkat.

"Putus sama Adriansyah?" Edo masih saja penasaran.

"Siapa yang putus? Lo putus, Ren?" Siria yang sejak tadi asik mengobrol dengan Ega pun kini menatapku berama Ega dengan ekspresi aneh.

"Enggak! Siapa yang putus, sih? Orang gue lagi males aja. Tadi gue bangunnya kesiangan jadi kepala gue pusing sekarang soalnya buru-buru siap."

"Oh, kirain beneran putus."

"Enggak, lah." wajah kesalku pasti terlihat dengan jelas oleh semua orang saat ini, begitupun di mata Arda yang menyebalkan sejak pertama kali masuk sekolah.

Aku menatap tajam Arda, ia yang sejak tadi menatapku sinis dari tempat duduknya bersama teman-temannya yang super lebai itu. Arda, menatap sinis, aku juga membalasnya dengan penuh kebencian. Saat ini keadaanku sedang tidak baik, dan tatapan Arda menambah muak.

"Beraninya cuma liatin aja, tapi nggak berani kalau di ajak ribut. Dasar cupu!" pekik Arda dari tempatnya.

Semua orang di dalam kelas tentu saja mendengar ucapan Arda, bahkan semuanya kini hening dan menatap kami. Semua mata tertuju ke dua kubu yang tidak pernah damai, meskipun tidak jelas apa awal mula yang membuat dua sudut ini berselisih. Siria, Ega, Astoria, dan yang lain menatap Arda sinis, sedangkan Elda, Mariska, dan Nita membalas tatapan kami.

"Apa!" pekik Arda dari tempat duduknya.

Semuanya hening, menunggu tanggapanku. Aku hanya menatap Arda dengan mata besarku, kemudian memalingkan wajah begitu saja. "Orang gila emang bebas!" seruku dengan memalingkan pandangan.

"Maksudnya apaan!" kata Arda menggebrak meja lalu berdiri menantangku.

Kedua tangan Arda sudah memegang pinggangnya dengan arogan, dagunya terangkat dan matanya membesar. Wajah Arda yang judes justru terlihat konyol di hadapanku dan teman-teman yang lain. Tubuh kecilnya pasti akan patah sekali saja mendapat pukulan dariku, tapi hari ini aku sedang kacau sedang tak selera menanggapi Arda dan teman-temannya yang tidak jelas itu. Aku bahkan hanya melirik Arda sesaat, dan kini membiarkan Arda memuncak di tempatnya.

"He, Arda!" teriak Tessa. "Jangan sok-sokan deh lo nantangin kita!" Tessa juga berdiri menunjuk Arda dengan tegas.

"Kenapa? Lo nggak terima! Lagian, ya, Tessa gue nggak nantangin lo tapi nggak suka aja sama cara dia liatin gue!" Arda kini mengarahkan jari telunjuknya ke arahku.

Aku masih saja diam, dan kembali melirik tindakan Arda. "Sirene, lo jangan diem aja dong!" desak Siria.

Aku melirik Siria, Astoria, Tessa dan yang lain. "Terus kita mau apa? Gue mau ladenin dia gitu?" mereka mengangguk. "Terus apa bedanya kita sama mereka?" Semua pasang mata tertuju ke arahku. "Udahlah, biar mereka aja yang gila. Kita nggak usah." aku mendengus panjang dan kembali acuh.

"Eh, lo jangan kurang ajar, ya!" Arda kembali memaki dengan keras.

"Ada apa Arda? Kenapa kamu teriak-teriak!" seru seseorang dari pintu.

"Pak Dona!" ucap Arda gelagapan.

Guru bahasa Indonesia dengan postur tubuh jangkung dan tampan itu terlihat membawa buku di tangannya. Dengan raut wajah penasaran menghampiri Arda meminta penjelasan. Kemudian dengan gelagapan Arda mencoba menjelaskan situasinya, meskipun dengan cerita yang berbeda. Aku dan teman-temanku hanya tersenyum melihat ulah Arda, dan menggeleng setiap kali melihat gadis picik itu membuat alasan yang aneh ketika Pak Dona memberikan pertanyaan.

"Sirene? Kenapa kok diem aja dari tadi?" tanya Pak Dona langsung tertuju kepadaku.

Memang sejak tadi aku hanya diam, hanya garis di sisi bibir yang sesekali tertarik mengiringi yang lainnya menanggapi Arda. Namun, hari ini aku tetap saja diam, tetap terbelenggu oleh kejadian semalam. [ ]