webnovel

Hesitate

Tentang Dion Mahardika, CEO muda yang memiliki segalanya. Pendidikan tinggi, Pekerjaan baik, Kekuasaan, Kekayaan, wajah yang tampan dengan tubuh tegap menawan. Tidak ada yang tidak terpesona dengan sosoknya yang berkharisama, semua orang mengaggumi Dion seperti tanpa celah. Tapi justru itulah letak celah itu berada, pria sempurna seperti Dion yang menyembunyikan sisi kelamnya dengan baik. Pria matang dengan kehidupan seksualitasnya yang menyimpang. Semuanya berjalan lancar dengan sempurna hingga akhirnya ibunya mengetahui penyimpangan itu, dan mengharuskannya menikahi gadis buta dari panti yayasan ibunya. Tentang Luna sarasvantika, gadis blasteran eropa yang buta karena sebuah kecelakan di negeri nan jauh dari kotanya yang juga merenggut kedua orang tuanya. Luna diasingkan keluarganya, tidak ada yang mau merawat gadis cacat sepertinya sampai pada akhirnya mereka memutuskan membuang Luna di panti asuhan dimana tempat terakhir orang tuanya meninggal. Luna berhutang budi dengan ketua yayasan, hingga ia merasa harus membalasnya dan ide gila yang ditawarkan ketua itu membuat Luna tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui.

Cindelvi · History
Not enough ratings
12 Chs

Berteman?

Perjalanan kerumah Dion diiringi rasa senyap. Tidak ada salah satu dari kami membuka suaranya semenjak kami berdua berada di dalam mobil. Oh kecuali saat Dion meminta izin untuk membantuku memasangkan sabuk pengaman Ditubuhku lalu setelahnya dia membungkam mulutnya fokus pada jalan. Tanpa sadar aku menghela nafas, sebenarnya aku tidak menyukai suasana seperti ini, meski aku suka ketenangan tapi ketenangan seperti ini hanya membuat aku merasa jadi tidak nyaman dan merasa canggung. Aku suka berbincang, dan Dion sepertinya tidak begitu menyukainya.

"Di-dion apa perjalanan masih jauh?" Tanyaku akhirnya tidak tahan pada situasi mencengkam, hmm menurutku, aku tidak tahu dengan apa yang dirasakan Dion duduk berdua dengan orang asing sepertiku. Dion tidak segera menjawab, apa dia tidak suka aku bertanya? "Tidak." Katanya singkat jelas dan padat, bibirku bergerak maju dan sedikit melengkung ke bawah sebuah kebiasaan ketika aku merasa kecewa. Ya aku merasa begitu, ketika kupikir Dion akan sedikit terbuka oleh ku.

Tidak menyerah begitu saja aku kembali membuka suara "Maaf tadi kamu harus menunggu lama." Kataku mengingat sebelum ini dia harus menungguku lama, mungkin moodnya buruk karena kelelahan. Jadi masih ada harapan bukan? Aku tahu kok Dion bukan orang jahat dan kasar. Sejauh ini meskipun ketus, Dion masih berbicara baik denganku.

"Apa dia benar-benar berhasil dibujuk dengan sebuah es krim?" Aku tersenyum, itu adalah kalimat terpanjang pertama yang kudengar di dalam mobil ini. Lalu menggeleng pelan, "Tidak semudah itu sebenarnya, itu hanya pengalihan sementara. Aku yakin sekarang ibu sedang kesulitan menenangkan Zoe karena menangis mencariku." Aku terkekeh sedih, kembali teringat Zoe, tiba-tiba aku juga jadi sangat merindukannya. Ini pertama kalinya aku berjauhan dengan Zoe, tapi aku tidak mungkin membawanya saat ini juga bukan? Suatu hari nanti, Perlahan aku akan memintanya pada Dion secara baik-baik, setelah Dion mau membuka hatinya untuk mau berteman denganku.

Ya aku sudah memutuskan bagaimana hubungan kami berlanjut, aku akan berteman dengannya, bukan sebagai seorang istri. Aku tidak mau berekspetasi tinggi agar Dion mencintaiku dan memperlakukanku sebagai seorang 'istri' aku tahu ada pria lain yang dia cintai, aku tidak bisa merubah rasa cinta yang besar begitu saja. Aku mengerti meskipun itu salah, mereka saling mencintai, dan cinta mereka tulus, mengingat betapa awalnya Dion menolak menikah denganku. Aku tahu cerita itu dari bu Dina, yang kini sekarang menjadi ibuku juga. kalau memang aku bisa merubah Dion nanti, itu merupakan hal yang bagus sekali. Tapi untuk saat ini aku lebih baik menjadi seorang teman untuk Dion daripada Dion menganggapku sebagai seorang musuh dan rumah tangga kami dipenuhi keributan, ya walaupun aku tahu pernikahan ini semenjak awal memang tidak lazim.

Dion hanya ber oh ria menanggapi kalimatku, ketika aku ingin memulai percakapan sepihak kami, Dion lebih dulu membuka suara, mengatakan bahwa kami telah sampai. Setelahnya ku dengar dia membuka pintu dan keluar lebih dulu. Aku yang kebingungan ditinggal begitu saja akhirnya mendengus. "Aku ditinggalkan begitu saja? Akukan tidak tahu rumah ini dengan baik." Gumamku sembari membuka pintu mobil. Sebelum benar-benar turun aku sedikit merapikan gaun pernikahanku yang lebar ini agar tidak tersangkut nantinya. Dan meskipun sudah memikirkannya dengan baik, bahkan berhati-hati mengangkat gaunku, pada akhirnya aku akan jatuh juga.

Gaunku terinjak kaki ku sendiri, aku hampir memekik keras dan siap merasa sakit pada tubuhku yang akan jatuh mencium tanah sebelum akhirnya aku jatuh pada pelukan seseorang yang hangat. Dari bau parfum yang kucium, aku meyakini yang merengkuhku saat ini adalah Dion yang terengah datang kembali dan tiba-tiba saja melingkarkan kedua tangannya pada pinggangku. Mencegahku jatuh membentur tanah menggantikannya dengan kepalaku ku yang membentur tepat pada dada bidangnya, kudengar jatungnya bergemuruh sama hebatnya dengan milikku. Mungkin ini terdengar berlebihan tapi jatuh dari mobil jip yang tinggi ini bukan hal baik tentunya. Sudah dipastikan aku akan mendapatkan memar di beberapa tubuhku. Apalagi untuk gadis buta sepertiku yang kesulitan menahan keseimbangan ketika aku tidak bisa memperkirakan dimana kakiku akan berpijak.

"Ma-maaf aku lupa." Katanya pelan. Aku mengerti maksudnya, kuberikan senyumanku lagi. "Tidak apa-apa, maaf juga ya merepotkanmu. Aku belum terbiasa."

"Y-ya." Lalu tiba-tiba saja dia mengangkatku, refleks aku memeluk lehernya, kedekatan intim yang mendadak ini membuatku kesulitan bernafas. Oh astaga apakah wajahku memerah? Ibu mengatakan tiap kali aku gugup dan malu wajahku akan memerah. Semoga tidak! Kumohon Tuhan aku bisa lebih malu lagi. Dion menurunkan tubuhku perlahan. "Kamu enteng sekali. Tubuhmu kecil. Nanti banyaklah makan."

Aku mengernyit, aku memang tidak pernah tahu bagaimana bentuk tubuhku, tapi setahuku banyak yang mengatakan kalau tubuhku ini ideal. Memang tidak terlalu tinggi, kata ibu tinggiku hanya 165 cm dengan berat badan 45. Apa itu kecil ya? Bukankah itu ideal? "Kata ibu, tubuhku ideal kok."

"Itukan menurut ibumu, menurutku kamu kecil sekali. Aku seperti om-om kalau didekatmu." Aku terkekeh, ah benar juga. Kata ibu lagi Dion itu tinggi dan besar. Tanpa sadar dan lancang aku meraba dada bidang Dion hingga pundaknya. Sebenarnya maksudku mengukur seberapa besar Dion, tapi aku sadar tindakanku sangat lancang. Buru-buru aku melepaskan tanganku. "Ma-maaf aku lancang. Aku tidak akan melakukannya lagi."

"Hmm. Se-sebaiknya jangan lakukan lagi." Aku tercekat mendengarnya, Dion memang tidak suka jika aku menyentuhnya. Tapi dibanding itu sekarang aku bingung ketika Dion tiba-tiba menautkan jemarinya padaku dan mengusapnya pelan. Aku tidak bisa menjelaskan kenapa aku bisa merinding saat Dion perlahan menarikku mendekat pada tubuhnya melepas genggamannya beralih dengan melingkarkan tangannya pada pinggangku. "Sekarang aku tuntun kamu ke kamar ya." Suaranya terdengar parau dan sexy? Astaga Luna apa yang kamu pikirkan sih! Di-dion tidak mungkin ... tapi apa dia sebenarnya bisa berubah??

"Ini kamarmu Luna." Kata Dion sudah menjauhkan tubuhnya. "Maaf aku tidak bisa tidur bersamamu."

"Kenapa?" Tanyaku, Dion tidak langsung menjawab, kami sudah berada dikamar entah di sebelah mana dalam rumah ini, yang hanya bisa kutahu kamar ini berada dilantai dua jauh dari pintu utama. "Bukannya kamu sudah tahu?"

"Tahu apa?"

"Kamu ingin aku menjelaskannya lagi?" Keningku berkerut "Ya Dion, kamu bahkan belum menjelaskannya kenapa kamu tidak ingin tidur denganku?"

Dion tampak menghela nafasnya "Aku ini gay Luna, meskipun kamu istriku, aku tidak bisa melakukan apapun padamu, apalagi bercinta. Jangankan itu terangsang saja tidak! Jadi untuk apa tidur bersama?" Meskipun sakit mendengarnya aku tetap tersenyum tetap menahan diri dalam ketenangan. Aku sudah bertekad di awal bukan? "Kamu takut aku yang menerkamu?" Tanyaku mungkin membuatnya terkejut "Hah?"

Aku terkekeh, "Tenang saja Dion, aku tidak akan menuntut apapun darimu. Aku sudah paham kok, kamu... ehm.. punya seseorang yang kamu cintai di luar sana. Lagipula aku gadis buta tidak berdaya, kamu tidak perlu takut aku melakukan sesuatu yang buruk padamu. Kamu bahkan bisa mematahkan tulangku dalam satu kali remukan. Jadi kenapa takut tidur bersama?" Dia masih diam saja, mungkin memikirkan perkataanku. Jadi aku melanjutkan kalimatku menawarkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu di tolak dengannya.

"Aku menikahimu dengan segala kekurangan yang ada pada dirimu, aku mengikhlaskannya Dion. Itu sudah jadi takdirku. Begitupun kamu yang sudah bersedia menikahi gadis buta sepertiku. Jadi ayo kita berteman jadikan hubungan pernikahan ini seperti kamu tinggal dengan seorang teman. Jangan memusuhiku, apalagi sampai membenciku, karena kamu berpikir aku memisahkan kalian, Dion. Aku tidak menuntut apapun darimu, termasuk melarangmu berhubungan dengan pria itu. Asalkan.. kamu tidak melakukannya dirumah ini. Hmmm bukan bermaksud menguasai rumah ini, aku hanya ingin menjaga kehormatanmu dan diriku sendiri sebagai seorang istri. Aku tidak tahu bagaimana istri diluar sana, tapi istri dalam rumah tangga kita. Aku tidak akan mempersulit sesuatu. Jadi kamu bersediakan menjadi temanku?"

Aku sudah menjelaskan isi kepalaku yang gila ini. Entah Dion mengerti atau tidak aku sudah pasrahkan semuanya. Semua bergantung pada Dion sendiri.