37 Gone.

Wajah-wajah risau diperlihatkan semua orang yang berada di dalam ruang rawat Meira, ia sudah dipindahkan setengah jam lalu ke ruang VIP lantai tiga, tubuhnya masih terbaring dan belum sadarkan diri, Meira mengenakan seragam rumah sakit warna biru tosca.

Sejak Meira dipindahkan ke ruang rawat, Ashila sama sekali tak menyingkir dari dekat putrinya, ia terus saja berdiri di sisi Meira seraya menatap cemas wajah yang kelopaknya masih tertutup rapat. Ashila senang bisa sedekat itu dengan Meira, bahkan bertahan cukup lama, sayangnya bukan di waktu yang tepat, jika Meira bangun nanti—mungkin saja tempat Ashila tak di sana lagi.

Fredy serta Luna duduk di sofa berdekatan dengan jendela kaca tebal yang memperlihatkan pemandangan Jakarta dari atas, banyak pencakar langit terlihat lebih jelas di sana. Sedangkan Riska—ia tak memiliki hak apa-apa, ia duduk di luar ruang rawat seraya menyimpan sendiri apa pun yang dirasakannya.

Tangan Ashila terulur mengusap pelan punggung tangan kiri Meira yang tertancap jarum infus, jika gadis itu sadar pasti sudah ditepis kasar. "Maafin mama, Mey. Maafin mama." Ia memiliki banyak sesal yang tak pernah bisa diutarakan, tapi cukup menyiksa sebab seringkali dirasakan.

Mama Ashila pasti kangen banget sama Meira, kenapa sih Mey kamu enggak mau memperbaiki hubungan kalian. Luna membatin, ia begitu setia memperhatikan setiap interaksi tanpa respons yang dibagi Ashila, kini gadis itu beranjak dan menatap sang ayah. "I have to get out, Dad. Riska needs friends."

"Ya, I'll stay here."

Luna melenggang keluar dari sana tanpa ingin mengganggu Ashila yang begitu intens menunggu putrinya sadar, Luna membuka pintu dan menemukan Riska masih bertahan di posisinya sejak terakhir kali Luna memasuki ruang rawat saudaranya. Riska sama sekali tak mengubah ekspresinya meski Luna yang datang, atau memang otot-otot Riska sudah terlalu kaku untuk diajak sedikit saja menggurat senyum sebab kecemasan yang masih membelenggu.

Jika Riska tak tersenyum bukan masalah, Luna masih bisa tersenyum untuknya sendiri. Riska hanya menatap Luna sekilas sebelum kembali menghanyutkan diri bersama pikirannya, wajah sayu itu kentara menunjukan kelemahan.

Luna duduk di samping Riska, tangannya menyentuh tangan Riska yang sempat mengatup di antara sepasang lututnya. "Aku tahu apa yang kamu rasakan, kalau nanti Meira bangun, lebih baik kalau kamu jelaskan, Ka. Dia pasti bakal ngerti."

Riska berdeham. "Nggak perlu."

"Kenapa? Kamu nggak bisa kayak gini terus, Ka. Biar Mey enggak salah paham, dia juga perlu—"

"Dia enggak perlu tahu apa-apa," potong Riska, ia beranjak dan menarik tangannya dari Luna. "Aku lebih senang ngelihat dia salah paham, lebih baik seperti itu, aku bisa jagain dia pakai caraku, Lun." Setelahnya Riska melenggang menyusuri lorong, sekarang suasana hatinya kian memburuk saja, harusnya sejak awal Luna bisa membaca situasinya, bukan malah menyarankan sesuatu yang tak pernah ingin Riska lakukan.

***

Hingga pukul sembilan malam Meira belum juga tersadar, Ashila masih bertahan di posisinya tanpa ingin pergi ke mana-mana, padahal Luna dan Fredy sudah memintanya untuk makan, tapi Ashila keukeuh untuk tak menyingkir dari sisi Meira. Sejak lama, ia selalu ingin sedekat itu, sejak bertahun-tahun lalu saat perpisahannya dengan Sehan berlangsung—sang putri benar-benar mengeraskan hati terhadapnya. Meira selalu merasa jika Ashila yang paling bersalah atas segalanya.

Dibenci anak kandung rasanya lebih sesak ketimbang tertusuk bambu runcing berkali-kali, dan Ashila harus merasakannya selama bertahun-tahun.

Luna yang duduk di sofa sendirian sesekali menguap, ayahnya berada di apartemen untuk mengurus sesuatu. "Mama, istirahat, makan dulu. Nanti malah Mama sakit juga," ujar Luna.

"Nanti." Hanya jawaban itu yang selalu Ashila lontarkan jika Luna atau Fredy memerintahnya, ia tak memiliki alasan lain, sebab penjelasan sudah ada di depan mata; Meira.

Luna beranjak menghampiri Ashila, didekapnya wanita itu dari belakang seraya menyandarkan kepala di punggung Ashila. "Aku tahu banget kalau Mama cemas, Mama khawatir. Tapi, Ma, jangan menyiksa diri Mama juga, Meira kecelakaan bukan salahnya Mama. Aku yang jagain Meira di sini kok, Ma. Makan ya, Ma?"

Sepasang tangan Ashila turut menyentuh tangan Luna yang mendekapnya, setidaknya Luna menjadi pengobat rindu meski bukan putri kandungnya. "Nanti, ya. Kalau Meira udah sadar, Lun."

"Nanti kalau Meira udah sadar pasti aku kabarin Mama kok, makan aja dulu, Ma." Luna terus memohon. "Udah seharian ini Mama enggak makan, Mama juga perlu kasihani tubuh sendiri. Okey?"

Ashila menarik napas panjang, akhirnya ia mengangguk. "Ya, mama mau ke kantin dulu. Tolong jagain Meira ya, kalau ada apa-apa langsung telepon mama."

Luna melepas dekapannya saat sang ibu memutar tubuh dan tersenyum. "Iya, aku pasti bilang ke Mama kalau Meira udah sadar, aku juga sayang banget sama Meira."

"Makasih, ya, Lun. Mama pergi dulu." Ashila melenggang keluar dari ruang rawat Meira dan membiarkan hanya Luna saja yang menjaga saudara tirinya.

Baru beberapa menit Luna duduk lagi di sofa—ia menoleh ke arah pintu dan menemukan Riska berdiri di luar sana, terlihat dari kaca pada pintu. Rupanya laki-laki itu datang lagi setelah sempat pergi, sejak perasaan kacaunya dibuat semakin membengkak oleh Luna.

Gadis itu beranjak dan membuka pintu ruang rawat Meira, ia tersenyum menanggapi kedatangan Riska yang belum juga mengalihkan ekspresi abu-abunya. "Kebetulan kamu di sini, aku bisa minta tolong nggak, Ka?"

"Apa." Sepasang tangannya bersembunyi di balik saku jaket, matanya menatap Meira.

"Jagain Mey sebentar, ya. Aku mau ke minimarket, ada yang perlu dibeli, bisa, kan? Soalnya Mama Ashila lagi ke kantin, papa lagi di apartemen."

"Hm."

"Makasih, Ka." Ia mengusap wajah laki-laki itu sebelum melenggang pergi, alhasil Riska melangkahkan kakinya masuk ke ruang rawat Meira yang baru dipijakinya malam ini, sejak Meira dipindahkan Riska sama sekali tak masuk ke sana, ia hanya berdiri memperhatikan dari balik pintu atau duduk di kursi panjang depan ruangan tersebut.

Riska menghampiri sofa, kaca tebal yang sempat tertutup tirai kini ditepikannya hingga gemerlap malam Jakarta terlihat jelas dari sana, rooftop pencakar langit seolah menggoda agar segera disinggahi siapa-siapa. Rooftop, sekarang tempat itu menjadi primadona tersendiri bagi kebanyakan orang, tapi puncak gunung sepertinya lebih menarik bagi Riska.

Ia duduk di sofa seraya mengeluarkan ponsel dari saku celana, dibukanya aplikasi game online sebagai teman sepi ketimbang hanya diam melamun di rumah sakit, bisa-bisa salah satu penghuninya yang tak kasat mata merasuk.

Lucunya, ia bermain mobile legend tanpa ekspresi, tanpa suara. Biasanya orang-orang akan mengumpat jika kalah, atau bahkan bersorak jika menang, Riska mungkin seorang pantomim yang dipaksa membekukan wajahnya sekarang.

Sudah setengah jam lebih Ashila dan Luna tak kunjung kembali, tapi Riska benar tak peduli, ia tetap sibuk dengan game seraya menunggu seseorang mungkin saja tersadar—bahkan tanpa ia menyadari jika gadis itu memang sudah sadar. Pergerakannya sama sekali tak terdeteksi oleh Riska sebab bola matanya terus mengarah pada layar ponsel.

"Kenapa gue belum mati," tutur Meira seraya menyentuh keningnya yang dibalut kain kasa, terasa begitu sakit.

Riska mengalihkan fokusnya dari layar ponsel, ia terkejut menanggapi sadarnya gadis itu, Meira menoleh—menatapnya penuh tanda tanya. "Lo ngapain di sini? Gue udah sadar, mending lo pulang aja."

Riska mendesah, ia beranjak setelah mengakhiri permainannya tepat ketika Ashila dan Luna kembali bersamaan, wajah mereka memperlihatkan ekspresi yang sama; senang.

Sayangnya, hal tersebut membuat Meira mendelik dan buru-buru beranjak meski tubuhnya sakit di segala sisi.

"Meira!" Ashila bergegas menghampiri, tapi telempap kiri Meira sudah terangkat—mengisyaratkan Ashila agar diam di posisinya. "Sayang—"

"Nggak usah ngomong apa-apa." Kelopak Meira terpejam saat tangannya terus saja menyentuh kening yang semakin berdenyut menegaskan rasa sakitnya.

"Mey, Mama Ashila dari siang nggak pernah pergi dari samping kamu, dia nungguin kamu. Sekarang kamu udah sadar, jadi biarin Mama Ashila—"

"Bawa mama lo keluar," sergah Meira, tatapannya mengarah tajam pada Luna yang dibuat tak mengerti, sikap Meira masih begitu dingin terhadapnya.

"Mama Ashila khawatir banget sama kamu, Mey. Tolong biarin dia di sini temenin kamu, jagain kamu," ujar Luna yang kini berdiri di samping Ashila, "dia takut banget kamu kenapa-kenapa."

"Gue nggak butuh pembelaan dari siapa-siapa, bahkan dari pengacara sekalipun gue nggak butuh, nggak perlu ada yang dicemaskan, gue masih hidup. Jadi, semua baik-baik aja. Kalian bisa keluar dari sini sekarang," usir Meira seraya menunjuk pintu, "ada di sana."

"Mey, izinkan mama sebentar aja di sini, di samping kamu, Nak." Ashila sampai memohon, matanya berkaca.

"Nggak perlu, hati aku udah mati dari lama, udah nggak ada harapan yang tersisa lagi. Sekarang kalau Mama memang mau aku baik-baik aja, keluar dari sini, aku nggak mau ditungguin siapa-siapa."

"Mey—" Air mata Ashila sudah jatuh membanjiri wajahnya, Luna tampak menyentuh tangan wanita itu, menatapnya seraya menggeleng.

"Meira butuh waktu, Ma." Usul yang sangat bijak untuk dilakukan sekarang, sebab bagaimanapun memaksa justru penolakan Meira akan lebih besar dan menyakitkan.

"Tapi, Lun. Mama mau di dekat Meira, dia baru aja sadar," ujar Ashila, wajahnya memelas.

"Kita panggilin dokter dan bilang kalau Mey udah sadar, Ma. Luna nggak mau ada perdebatan di sini, ini rumah sakit, dan Meira pasiennya. Udah, Ma. Kita keluar dulu, kasih Meira waktu."

"Dengerin apa yang Luna bilang, mending keluar daripada vas melayang," sarkas Meira saking tak senangnya melihat kehadiran mereka di sana, ia tak hanya mengancam saat tangan kanannya yang tertancap jarum infus terulur ke samping meraih vas berisikan setangkai mawar putih.

"Ayo, Ma. Nanti Meira malah makin marah." Luna terpaksa membawa Ashila keluar dari sana meski terasa berat, kondisinya begitu panas dan tak memungkinkan. Meira masih menutup pintu hatinya untuk sang ibu, dan entah kapan kesempatan kedua akan ia berikan.

"Lo juga pergi dari sini, gue nggak butuh siapa-siapa." Sepertinya Meira masih sangat marah terhadap Riska, memang seperti itu karakternya, jika ia memberikan kesempatan orang lain untuk mendekat, tapi orang tersebut melukainya—maka sikap dingin akan ia perlihatkan tanpa kecuali, korban pertama adalah Ashila. Mungkinkah renggangnya Riska dan Meira akan berlangsung lama? Mungkinkah Riska menjadi korban kedua?

Riska menghampiri Meira, ia merogoh sesuatu dari saku celana dan meletakan ponsel gadis itu di sana. "Gue ambil hape lo di kantor polisi setelah mereka olah TKP tempat kecelakaan, tas sama yang lainnya ada di rumah, besok gue bawa. Lo nggak mungkin bertahan sendirian, lo juga bakal membutuhkan orang lain," tandas Riska sebelum melenggang keluar dari sana.

***

avataravatar
Next chapter