36 Clouds and rain.

***

Saat di persimpangan jalan mobil Meira menyalip motor yang dikemudikan Riska, gadis itu terus saja menginjak gas mobil tanpa peduli suasana ramai di jalanan, ia seperti anak angin yang meliuk sesuka hati seolah jalan milik sendiri. Tatapannya seringkali menyingkir melihat ke arah spion sekadar memastikan posisi Riska yang tetap mengendarai motornya di belakang mobil Meira, tak ada niat untuk menyalip—padahal Meira sudah sangat menantangnya tadi saat mengklakson berulang-ulang seolah mengajak Riska balapan.

Meira sedang tidak senang, jadi suasana hatinya begitu kelabu—seperti tanda akan datangnya turun hujan, entah di mana itu, sebab langit tampak cerah kali ini, tiada tanda-tanda pergeseran cuaca. Meira masih memperhatikan pergerakan Riska di belakangnya takut-takut ia kecolongan dan membiarkan Riska menyalip, entah apa yang diinginkan perempuan itu sekarang.

Meira akan menemui pertigaan, alhasil ia menginjak rem sekadar memelankan laju saat berbelok, tapi keanehan membuat kening Meira mengernyit, berkali-kali ia menginjak rem—benda tersebut tak berfungsi sama sekali, laju mobil Meira tetap sama—cukup cepat.

"Kok remnya nggak berfungsi?" Ia mulai panik sebab mobilnya mulai tak bisa dikendalikan, padahal keramaian di depan sana semakin dekat. "Ya ampun! Jangan-jangan rem gue blong!" Ia mendelik tak percaya, jantungnya berdegup lebih kencang disertai rasa takut yang meradang, Meira menatap ke depan—pada lalu-lintas yang semakin ramai, harusnya ia memelankan laju kendaraannya sebab di depan sana posisi mobil lain berhimpitan, seperti hendak menemui kemacetan.

"Ya Tuhan, ini gimana?" Meira banting setir ke kiri saat menemui pertigaan, ia sekadar mencari jalan sepi agar tak membuat kecelakaan dengan kendaraan lain, akal sehatnya masih bisa diajak berpikir, tapi rasa takut Meira kian membesar saat beberapa truk besar pengangkut barang melaju berlawanan arah dengannya—sedangkan beberapa mobil di belakang Meira sibuk menyalip. "Gue belum mau mati sekarang, gue belum bahagia." Tanpa ia peduli air matanya sudah jatuh merasakan takut berlebih, berkali-kali ia menekan klakson untuk truk yang semakin dekat dengannya, ia berharap truk tersebut sejenak menyingkir, tapi keadaan mereka sama-sama dihimpit kendaraan lain dari berlawanan arah.

"PAPA!!!" Meira menjerit saat ia terpaksa membanting setir ke kiri hingga mobilnya keluar dari jalan raya-menghindari tabrakan dengan truk tadi, tapi rem yang sudah tak berfungsi membuat laju mobil Meira sama sekali tak bisa dikendalikan, takkan berhenti sampai akhirnya sebuah pohon besar membuatnya mengalah, seperti adu banteng saja, Meira yang kalah. Gadis itu tak sadarkan diri usai benturan keras antara kap mobilnya dan batang pohon menjadi detik terakhir Meira membuka mata, guncangan yang terjadi cukup keras sampai tubuhnya terdorong ke depan—sebelum kening menyentuh kemudi meski seat belt membelit tubuhnya. Kini, bagian kap mobil Meira tampak ringsek dan mengeluarkan asap.

Beberapa kendaraan menepi usai melihat kejadian tersebut, warga sekitar juga berlari menghambur menghampiri mobil yang baru saja mengalami kecelakaan tunggal.

Motor ninja merah berhenti di tepi jalan, si pengemudi berlari seraya melepas helmnya dan melempar asal benda tersebut tanpa peduli jatuh di mana, ia sudah sangat ketakutan saat mengikuti laju kendaraan Meira yang tak terkontrol seperti mengebut tanpa arah dan ugal-ugalan.

"Keluarin dulu keluarin Mbaknya itu." Beberapa orang mencoba membuka pintu mobil Meira, tapi tak bisa terbuka sama sekali, terlihat dari luar jika Meira terkulai tak sadarkan diri seraya menyandarkan kepalanya di permukaan kemudi.

"Ini masih terkunci di dalam, gimana bukanya?" Mereka semakin panik saat menyadari asap dari kap mobil kian pekat saja, sedangkan si pemilik mobil masih terjebak di dalam sana.

"MEIRA!!! MEY!!! MEIRA!!!" Riska tiba, ia menerobos kerumunan orang-orang di dekat pintu sisi kanan, raut panik menghiasi rupa laki-laki itu—apalagi saat melihat kondisi Meira di dalam sana, kepalan tangannya menggedor kaca berkali-kali seraya menyerukan nama gadis itu.

"Panggil ambulan! Panggil ambulan!" Suara kepanikan orang-orang di belakang Riska masih terdengar, laki-laki itu menelan ludah seraya menatap sekitar, ia tengah memikirkan cara untuk membuat Meira keluar dari sana secepatnya.

Riska menyingkir dari hadapan orang-orang, ia menatap sekitar—mencari sesuatu yang kemungkinan bermanfaat untuk digunakan sampai ia melihat beberapa batu besar di bawah pohon tak jauh dari kendaraan Meira, diambilnya batu tersebut sebelum Riska menerobos kerumunan lagi dan memukul kaca sekuat tenaga menggunakan batu hingga tampak retak, dua pukulan lagi berhasil membuat kaca benar-benar pecah.

"Buka, Mas. Buka."

"Ambulannya lagi di perjalanan."

"Buruan, Mas. Takut mobilnya meledak."

Suara-suara tersebut silih berganti menghampiri indra pendengaran Riska, kini ia berhasil membuka pintu mobil setelah tangannya merogoh masuk ke dalam untuk membukanya. Beberapa pecahan kaca bertaburan di dekat tubuh Meira, Riska tampak berhati-hati ketika mengangkat tubuh Meira dan mengeluarkannya dari sana. Kini terlihat lebih jelas bagaimana kondisi gadis itu, keningnya kebiruan setelah terbentur kemudi cukup keras.

"Syukurlah udah bisa dikeluarin, kita tunggu ambulannya datang, sebentar lagi."

Riska menatap sendu perempuan dalam pelukannya, mata laki-laki itu tampak memerah, ia membawa Meira menghampiri tepi jalan—menunggu ambulan datang.

Sirine ambulan terdengar dari kejauhan, ada sedikit lega merasuk dalam dada, Riska masih setia mengangkat tubuh Meira seraya berdiri menatap sekitar dengan perasaan ketar-ketir, sesekali ia menatap wajah gadis itu.

Ambulan akhirnya tiba dan berhenti di tepi jalan berdekatan dengan posisi Riska, beberapa petugas medis membuka pintu belakang dan mengeluarkan tandu besi yang kini menampung tubuh Meira setelah Riska meletakannya dengan hati-hati.

"Ini ke rumah sakit mana, Pak?" tanya Riska seraya menatap petugas ambulan yang mendorong tandu Meira melewati pintu belakang.

"Rumah Sakit Medika."

"Jagain dia ya, Pak. Saya nyusul pakai motor saya," tutur Riska menatap Meira yang kini mulai dipasangi alat medis oleh petugas di dalam.

"Siap." Petugas tersebut masuk ke dalam dan menutup pintu, membuat Riska tak bisa lagi menatap Meira, kini ambulan mulai melaju—meninggalkan seseorang yang masih membeku di tempatnya seraya menatap nanar pintu kendaraan tersebut dalam suasana yang begitu mendung, sepertinya mendung dari Meira sudah tersalurkan padanya sampai air hujan seperti akan turun.

"Baru gue tinggal empat hari udah kayak gini, gimana kalau gue tinggal selamanya?"

***

Motor berhenti tepat di belakang ambulan yang sudah memasuki pelataran rumah sakit, beberapa perawat membawa troli dorong yang kini menjadi tempat terbaringnya Meira. Riska bergegas turun, ia bahkan melupakan helm yang sempat dibuangnya tadi, selama perjalanan ke rumah sakit Riska sama sekali tak memakai helm.

Riska turut serta mendorong troli menyusuri lorong bersama beberapa perawat, matanya tak bisa beralih dari wajah Meira yang tak kunjung membuka mata, dan ia harus mengalah setibanya di depan ruang IGD setelah perawat menegaskan jika Riska tak boleh masuk dulu ke dalam.

Riska menggacak rambutnya sebelum duduk di kursi panjang depan IGD, perasaannya makin kalang kabut menghadapi situasi tersebut. Ia mendesah seraya merogoh ponsel dari saku celana, bagaimanapun keluarga Meira harus tahu apa yang terjadi dengan gadis itu.

"Hallo, Lun. Kamu di mana?"

"Masih di kampus, kenapa? Mau jemput?"

"Nggak, datang ya ke Rumah Sakit Media, saudara kamu lagi di sini."

"Meira? Kenapa, Ka?" Nada bicara Luna terdengar panik.

"Kecelakaan." Entah apa lagi, Riska mengakhiri panggillan tersebut, yang jelas Luna langsung ketakutan mendengar kabar dari Riska. Ia hanya diam saat melihat dokter masuk ke IGD, ditatapnya beberapa orang berlalu-lalang seraya menunggu kedatangan keluarga Meira.

Ia berdiri menghampiri pintu, ditatapnya Meira lewat kaca persegi pada pintu, tampak suster memasangkan jarum infus serta perlengkapan lainnya, sedangkan dokter mengarahkan stetoskop pada dada Meira. Telempap kanan Riska terangkat menyentuh permukaan kaca seolah sedang menyentuh Meira. "Bangun, jangan buat orang-orang takut."

Masih terpatri dalam memorinya saat mobil Meira keluar dari jalur jalan raya dan memasuki kawasan pepohonan dengan laju ugal-ugalan sampai menubruk sebuah pohon dan membuat ketakutannya menyengat seseorang, kini berpindah tempat untuk laki-laki yang masih bertahan di posisinya seraya memamerkan wajah sendu.

Ponsel Riska berdering, ia menatap sejenak memastikan siapa yang menghubunginya, ternyata Saka. Ia angkat panggilan tersebut dan mengarahkan ponsel ke telinga kanan.

"Kenapa?"

"Lo di mana, tadi nyuruh anak-anak kumpul di basecamp, kenapa malah belum datang? Bukannya tadi lo udah keluar duluan?"

"Sorry gue nggak bisa ke situ."

"Kenapa, Ka? Suara lo kayak orang habis nangis, lo nangis?"

"Nggak." Suara Riska memang bergetar, tapi bukan karena ia menangis, ia takut setengah mati. "Bilangin ke anak-anak kalau gue nggak bisa datang, bubarin aja."

"Emang lo di mana, Ka?"

"Rumah sakit."

"Siapa yang sakit?"

"Meira."

***

avataravatar
Next chapter