3 Suami yang pelit dan jorok

Hari ini aku berhasil membujuk bang Anwar untuk membeli makanan dan juga cemilan untuk Ayla.

"Cepet, mumpung aku pinjam motor si Budi. Jangan kelamaan!" teriak bang Anwar dari luar teras.

Aku yang sedang mengikat tali gendongan Ayla pun terburu-buru keluar. Bang Anwar mengajakku ke minimarket di depan, berbelanja untuk keperluan makan Ayla. Si kembar tidak ikut karena dari kemarin sore dibawa kak Nurul, menginap di rumahnya.

Kak Nurul, kakak perempuanku satu-satunya itu sudah menikah selama dua tahun namun sampai sekarang belum dikaruniai buah hati jadi ia sering sekali membawa anak-anakku menginap di rumahnya, kebetulan si kembar pun dekat dengan 'uwa' nya itu. Aku memang lebih dulu menikah daripada kakakku, bukan karena MBA, dijodohkan atau apapun itu. Hanya saja waktu itu aku sedang merasa frustasi karena lelah berhubungan dengan banyak pria namun semuanya hanya mengajak main-main saja hingga saat itu aku asal pilih dan memilih bang Anwar yang sepertinya paling serius di antara semuanya padahal kami pun belum lama kenal, baru sekitar tiga bulan. Aku pikir memutuskan untuk tidak terlalu lama berpacaran akan memberikan dampak yang baik tapi sepertinya tidak begitu. Apa mungkin niatku menikah yang salah sejak awal?

"Jangan terlalu banyak yang dibeli ya? Aku bawa uang pas-pas'an." bang Anwar mewanti-wanti dari sebelum kami masuk ke minimarket itu.

Aku memilih bubur instan yang paling murah harganya, aku memilih untuk membeli makanan instan ini karena sudah tiga hari Ayla tidak mau makan bubur yang sudah kubuat dengan sepenuh hati. Semua terbuang percuma, mungkin memang aku kurang pandai memasaknya.

Aku beralih pada rak lainnya, mencari biskuit untuk cemilan Ayla. Lagi-lagi aku bandingkan harga, mencari yang termurah.

"Ini aja, Bang!" aku memperlihatkan satu bungkus bubur instan dan satu bungkus biskuit bayi.

"Berapa itu? Kamu ambil yang mahal?" tanya bang Anwar begitu sinis.

"Gak lah, Bang! Ini buburnya gak sampai sebelas ribu harganya, biskuit juga cuma enam ribu." aku menjelaskan harga kedua barang yang tidak sampai dua puluh ribu itu.

Bang Anwar hanya menarik bibirnya, tanda setuju. Aku pun mengantri karena kasir terlihat penuh. Aku berdiri di depan sebuah rak barang kecantikan. Mataku tertuju pada sebuah merk handbody yang harganya sekitar lima ribu rupiah. Aku mengalihkan pandangan pada kulit tanganku yang kering dan kasar, sudah dua minggu memang lotionku habis.

"Duh, aku lupa bawa uang." keluhku meraba saku baju.

Untuk keperluan pribadi biasanya aku memang mengeluarkan uang sendiri. Sisa uang belanja kalau ada atau pemberian dari abah atau umi kalau aku berkunjung ke rumah mereka.

"Aku pinjam saja dulu uang Bang Anwar," ucapku seraya mengambil lotion dari raknya.

Dua orang lagi antrian kasir, bang Anwar mendekatiku. Matanya langsung tertuju pada benda lain yang aku bawa, aku yang melihat gelagatnya segera menjelaskan.

"Handbodyku habis, Bang. Aku pi..." belum tuntas aku bicara, bang Anwar menyentakku.

"Kan! Lo tuh kebiasaan. Udah gue bilang gue gak bawa duit banyak," suaranya naik beberapa oktaf.

Seketika beberapa orang melihat ke arah kami. Bulir bening mengambang di kelopak mataku, tak sempat menetes karena aku berusaha menahannya.

Aku bergegas mengembalikan lotion itu ke tempatnya, tak jadi aku beli. Hatiku terasa sakit sekali sampai kami keluar dari minimarket itu. Air mata yang sempat aku tahan kini jatuh membasahi pipi, aku menyekanya dengan kain gendongan Ayla, aku malu saat tukang parkir memperhatikanku yang tiba-tiba menangis.

Sepanjang perjalanan pulang, bang Anwar cuek saja seperti tidak merasa bersalah atau malu dilihat oleh orang-orang di minimarket tadi. Ini bukan kali pertama ia membentakku di depan umum.

***

"Bang, ini kembalian beli rokoknya." Denis anak bu Yuli pemilik warung dekat rumahku lari tergopoh-gopoh.

"Eh, iya. Makasih ya, Nis!" bang Anwar mengambil uang yang diberikan Denis.

"Tuh, giliran buat rokok ada. Giliran gue beli handbody sampe dibentak depan umum, lo tahu gak sih tuh handbody cuma lima ribu, itu pun gue bisa pakai lebih dari dua bulan dan niatnya juga gue minjem, bukan minta beliin!" cerocosku yang sudah tak tahan dengan sikap suamiku yang terlampau pelit.

Begitulah aku, aku memang cengeng namun tetap berani melawan bila suamiku sudah sangat keterlaluan. Aku juga bisa berkata kasar padanya, jangan berharap aku akan terima begitu saja semua perlakuan buruk bang Anwar.

"Nih, ambil nih! Beli sekalian yang banyak buat stock," bang Anwar mengeluarkan kembali uang kembalian rokok yang tadi sudah ia masukan saku celananya.

Aku melengos saja, memangnya aku semudah itu dibujuk? Aku tinggalkan uang dua puluh ribuan itu di lantai.

***

Sampai malam, aku mengacuhkan bang Anwar. Ia mencoba menanyakan banyak hal, entah itu remote tv yang jelas-jelas ada di depan matanya dan beberapa pertanyaan tidak penting lainnya yang aku tahu, semua itu hanya digunakan sebagai alasan dia memulai pembicaraan lagi denganku, karena kalau sudah marah, aku bisa tahan berhari-hari tidak bicara padanya, melayaninya pun aku tak sudi.

Bang Anwar mendekatiku saat aku melipat pakaian kering. Si kembar belum mau pulang katanya, saat beberapa menit yang lalu aku telpon. Ayla pun sudah tertidur pulas usai mandi sore tadi, mungkin perutnya kenyang setelah makan bubur instan yang ternyata dia suka.

"Mir, handbodynya mau aku yang beli atau aku kasih aja uangnya?!" bang Anwar duduk di sebelahku, aku tahu dia sedang membujukku.

Aku masih diam tak bergeming, masih sibuk melipat baju yang membentuk gundukan seperti bukit.

"Udah ah, jangan marah! Nih uangnya!" bang Anwar menarik tanganku, uang dua puluh ribu tadi ia taruh di sana.

Tak lupa ia mengecup pipiku namun segera kuhapus, aku masih kesal padanya namun tetap aku maafkan. Seperti itulah keadaan rumah tangga ku, bertengkar lalu berbaikan kembali. Kalau sedang datang warasnya, bang Anwar akan berusaha mengajakku berbaikan dan meminta maaf namun tak jarang juga ia luput meminta maaf sampai akhirnya kami bersikap biasa kembali. Walaupun sering bertengkar namun kami termasuk cepat berbaikan, mungkin karena ada anak, yang menuntut kami harus tetap berkomunikasi walau ada segan. Dan semua itu sudah berlangsung selama lima tahun, selama usia pernikahan kami.

"Mir, tolong kerok aku ya? Kayaknya masuk angin nih!" bang Anwar meringis.

Aku pun melakukan kewajibanku sebagai istri. Aku lakukan perintahnya walau sambil menggerutu "Tuh kan, kalau sakit tetep aja ke istri!"

"Bang, kok luka gatel-gatel kamu makin banyak?!" ucapku saat bang Anwar membuka baju.

Bintik-bintik merah yang katanya gatal itu kian melebar di bagian punggung kirinya, membuatku rada jijik saat melihatnya.

"Kamu sih jarang mandi! Dari kemarin kan gak mandi?" aku mendelik kasar padanya.

Bang Anwar memang orang yang jorok, ia bisa tahan berhari-hari tidak mandi padahal postur tubuhnya yang gemuk itu tentu saja sering berkeringat tapi ia bisa tahan saja. Padahal di bagian lipatan tubuhnya sering aku dapati luka kemerahan dan sering ia garuk. Seringkali aku melarangnya karena takut gatalnya semakin melebar bila terus digaruk namun ia selalu berkilah, rasa gatalnya tak tahan katanya. Tentu saja gatal karena ia jarang berganti pakaian dan jarang mandi walaupun setiap hari sampai berbusa rasanya mulut ini untuk mengingatkannya mandi.

Selain sifatnya yang pelit, kebiasaan joroknya itu juga yang sangat aku benci, membuatku semakin ilfeel!

****

avataravatar
Next chapter