42 SEPENGGAL KISAH PAHIT

Kinan menghela nafas. Ia rasa, sudah saatnya bagi Putra mengetahui sekelumit kisah pahit masa kecil hingga ia akhirnya keluar dari rumah, tempat segala prahara hidup melanda.

"Gue lahir dari keluarga yang menurut gue penuh dengan kejanggalan."

Mengawali untuk bercerita, Kinan meremas tisu yang ia ambil di mobil Putra. Rasanya payah untuk dikuak lagi. Tak ada sesiapapun yang ia beri tahu, apa yang dirasakan selama hidup bersama keluarga yang janggal menurutnya itu.

Jika pun ada yang telah tahu, itu bukan berasal dari pengakuannya. Orang-orang banyak yang membenci, lebih tepatnya, menaruh rasa iri pada kelebihan raga Kinan. Sebab itulah, banyak sekali yang 'kepo', ingin tahu yang berlebihan terhadap latar belakangnya. Dari mana ia berasal, keluarga macam apa yang telah memberinya kehidupan di dunia ini.

Putra hanya melirik dari sudut mata. Ia belum meminta untuk diceritakan hal semacam ini. Namun, karena Kinan sudah terlanjur bercerita, ya sudah, mari dengarkan saja.

"Gue punya adik, cowok. Bejadnya sama kayak bokap gue, ah entahlah laki-laki itu bener-bener bokap kandung gue atau bukan. Tapi, gue rasa bukan!"

Kinan melempar pandangan sejauh yang ia bisa, kemudian, menunduk sesaat. Perjalanan menuju rumahnya masih lebih kurang tiga puluh menit lagi. Cukuplah untuk bercerita, apalagi Putra sengaja memelankan laju kendaraan, membuat Aisyah yang mengikuti di belakang mengutuk berkali-kali.

"Kelahiran gue di dunia ini emang nggak diharepin sama nyokap gue. Sejak gue kecil atau saat gue udah bisa menilai sesuatu dan mengingatnya, gue ngerasa nyokap emang bener-bener nggak sudi punya anak kaya gue. Setiap kali ada orang yang datang ke rumah, dia selalu nyuruh gue masuk kamar, dan nggak boleh keluar sampai tamu-tamunya pergi."

"Kalau ada sodara yang datang, gue aja nggak tau siapa kerabat dia di kota ini, yang pernah beberapa kali ke rumah, nanyain gue, dia pun selalu bilang gue di Jogja, tempat Nenek Buyut, ibu dari Nenek gue."

"Dan setiap ada acara gathering kantornya, gue nggak pernah dibawa. Nggak ngerti lagi deh, salah gue dimana. Mungkin gue anak haram kali, yang nggak diinginin sama dia."

Putra melirik Kinan, lalu menggenggam jemari gadis itu, yang ia letakkan di atas paha. Sebentar saja, Putra kembali beralih ke stir.

"Dan untuk urusan keagamaan. Hah! Nggak sedikit pun tergerak hatinya nganter gue belajar ngaji ke Masjid, TPA atau semacamnya. Bahkan, demi terhindar dari desakan gue waktu itu yang pengen banget belajar mengaji, dia masukin gue ke sekolah global, yang nggak ada pelajaran agamanya, tepatnya agama islam."

Putra pun menarik nafas pelan, tapi tetap diam dan mendengarkan.

"Gue tumbuh jadi begini karena andil mereka juga. Dan parahnya, bokap, laki-laki taik itu malah mau nyetubuhin gue pas lagi tidur. Nyokap ada di rumah, tapi dia diem aja. Sampai akhirnya gue benar-benar bertekat buat keluar dari rumah itu."

"Dia berhasil ngelakuinnya?" tanya Putra emosi.

Kinan lalu menggeleng, "Nggak, gue ancem bakal kaduin dia ke cowok gue waktu itu." Gadis itu tersenyum masam, "Cowok gue… Siapa dia, gue aja nggak inget yang mana."

Putra tak ingin menggubris, ia hanya memejamkan mata saat mendengarkan pengakuan itu. Skip saja! Tak perlu menganggap hal semacam itu serius.

"Sekarang, gue benar-benar putus komunikasi sama keluarga gue, kecuali nyokap, yang baru-baru ini nelpon gue balik."

"Nyokap masih nelpon?"

Kinan mengangguk, "Ya, dia beberapa kali pernah nelpon gue. Bahkan juga pengen ke rumah nyamperin, tapi nggak gue kasih tau alamatnya. Nggak penting! Setiap kali ketemu dia, gue pasti bakal inget sumpah serapahnya ke gue. Padahal, gue berharap, dia ibu yang katanya ada surga di telapak kakinya. Bullshit aja semua. Gue nggak pernah ngerasain sayang yang bener-bener tulus dari orangtua ke anaknya. Cuma Andi, ah si keparat itu yang udah ngasih gue perhatian berlebihan. Eh, nyatanya bangsat! Dia ngancurin hidup gue sampe sehancur-hancurnya kayak gini!"

Andi! Putra akhirnya mengetahui nama cowok itu. Dalam hati pemuda itu bertekad, kalau sampai bertemu dengan si keparat Jahannam Andi, ia takkan melepaskannya. Putra meremas stir kuat.

Kinan terdengar menghela nafas dan mengangkat wajah. Ia lalu memutar kepala ke arah Putra sambil berusaha tersenyum, "Karena itulah, waktu itu gue pernah bilang, nggak pengen ada keluarga di saat hari penting dalam hidup gue."

Putra merasa tak enak jika ingat akhir dari percakapan waktu itu adalah pertengkaran.

"Tapi, mungkin semua ada alasannya kenapa keluarga loe kayak gitu ke loe, Nan."

Kinan mengangguk, "Ya karena gue emang bukan anak yang diharapkan. Terakhir kali dia bilang, gue nggak lahir dari rahimnya. Ada ya, ibu kayak gitu!" lagi-lagi gadis itu tersenyum masygul.

"Hidup gue kayak nggak ada artinya, Tra. Nyokap gue sendiri aja tega bilang hal menyakitkan kayak gitu. Gimana hati gue nggak hancur coba? Semua yang gue lakuin ini cuma pelarian aja. Gue mencari kesenangan, dan kesenangan yang gue tahu itu ya, gini! Duit. Dengan banyak duit, gue bisa lakuin apa aja."

Putra tak menanggapi, hening sejenak. Seolah ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya. Hah! Kenapa harus Kinan yang seperti ini?

"Maafin gue, Tra."

Kinan kembali teringat kesalahannya pada Putra. Mengkhianati cinta demi menjaga nama baik, dan posisi amannya di dunia ini.

"Buat?" tanya Putra seolah-olah tidak tahu untuk apa maaf itu diucapkan, padahal ia tahu betul, masih perkara yang sama. Soal Toni.

"Gue nggak perlu bilang lagi kan? Loe pasti tau buat apa, Sayang."

Kinan merengek sambil menyentuh lengan Putra lembut.

"Kan gue bilang lupain aja, Nan. Apa yang loe lakuin pasti ada sebabnya? Kalau nggak, loe nggak mungkin mau ngelakuin itu lagi."

"Loe nggak mau nanya penyebabnya apa?"

Putra menghela nafas. Ia sempat berpikir untuk mengobati kelainan sex Kinan. Mungkin itulah penyebab yang mendasari kenapa Kinan kembali melakukan hal tercela itu.

"Apa yang loe pikirin, Tra?"

Putra menoleh lalu kembali memindahkan pandangan ke arah jalan. "Nggak ada." Jawabnya datar.

Kinan pun kembali menghela nafas, dan menyandarkan tubuh ke sandaran jok. Apa ia kadukan saja ke Putra, kalau Toni mengancamnya. Lalu yang terjadi setelah itu apa? Kinan membayangkan hal terburuk yang tergapai otaknya. Keselamatan Putra. Ah, tidak. Mugkinkah Toni akan menyelakakan Putra? Jika dirinya saja yang terluka tak masalah, anggap saja sebagai penebusan dosa. Lalu, apa akan sanggup menanggung penderitaan sepanjang hidup? Kinan menghela nafas lebih dalam.

"Kenapa, Nan?"

Kinan tersentak. Ia menatap Putra lekat. Ah, ia benar-benar tak ingin Putra kenapa-napa baik fisik maupun hati.

Putra tampak tak nyaman dengan tatapan Kinan yang sulit ia artikan itu.

"O iya, nomor loe kenapa loe matiin?"

Pemuda itu lalu melontarkan pertanyaan yang lugu sekali. Padahal ia tahu kenapa Kinan melakukan itu semua, termasuk dugaannya yang tak meleset mengenai orang dibalik ini semua.

Kinan tersenyum masam, senyum yang menyelipkan kesusahan hati.

"Dia yang minta gue lakuin itu." Kinan memutar kembali tubuhnya ke arah Putra, menghadap pemuda itu. "Sayang, gue nggak perlu bilang dia siapa kan? loe pasti udah tau! Tra… kali ini gue bener-bener janji, nggak bakal nurut lagi sama dia, gue lebih baik kehilangan semuanya, dari pada harus jauh dari loe. Tapi…"

Kinan menghentikan kata-katanya.

"Tapi…?" Putra menyahut. Katakan Kinan!

"Kalau sesuatu terjadi, loe janji akan baik-baik aja!"

"Apa?" Putra penasaran. Ini terdengar seperti sesuatu yang cukup mengerikan, dan sebagai laki-laki ia merasa tertantang untuk itu.

"Kalau ada hal yang terungkap dari diri gue, loe mesti janji bakal baik-baik aja dan nggak berubah sama gue, Tra."

Putra mengernyitkan dahi. Dan menatap Kinan penuh tanda tanya.

***

***

avataravatar
Next chapter