43 SATU PETUNJUK

Mobil sudah terparkir di depan rumah Kinan. Tadi di pos jaga sempat menyapa Pak Dani dan Eko, Aisyah yang kebetulan mengendarai mobil Putra juga tak perlu ditanyai lagi. Pak Dani dan Eko saling tatap. Menghela nafas lalu sama-sama mengangkat bahu. Begitulah cinta, meskipun sudah tau busuknya yang dicintai, tetap saja takkan beranjak dari sisi.

Putra memasukkan mobil ke garasi rumah dan setelah itu Kinan menawarinya untuk masuk.

"Gue langsung balik aja. Aisyah ada perlu lain, jadi gue harus nganter dia balik, Nan."

Wajah Kinan berubah rona, ia cemburu. Benci sekali mengingat lelakinya berduaan dengan gadis lain. Kinan mengintip Aisyah yang bersandar di sisi mobil dari balik pagar.

"Loe nggak mau denger kelanjutan cerita yang tadi. Ada hal yang perlu gue kasih tau, Tra. Loe tinggal dulu aja, dia suruh pulang naik taksi kek, apa kek!"

Putra menggeleng, tak mungkin itu ia lakukan. Maya akan marah besar, kalau sempat Aisyah pulang ke rumah sendiri dan memberi tahu dimana dia. Hubungannya dan Kinan sudah dipastikan takkan pernah mendapat lampu hijau untuk selamanya.

"Nan, loe istirahat aja dulu ya. Besok gue bakal curi-curi waktu ke sini."

Kinan tetap merungut, kenapa jadi begini hubungannya dan Putra? Kenapa harus ada si Aisyah itu? Apa sih masalahnya? Gadis itu kesal sendiri.

"Gue balik dulu ya."

Aisyah seperti sudah tak sabar, berkali-kali ia bunyikan klakson, membuat Putra jadi resah sendiri, dan Kinan gerah seketika.

"Ya udah pergi sana! Besok-besok jangan ada dia lagi di antara kita!"

Kinan sampai mendorong Putra saking kesalnya. Ia mengikuti hingga pagar, dengan tampang yang tak bersahabat melihat Putra dan Aisyah masuk ke dalam mobil yang sama.

Pikiran buruk bermain-main manja di kepalanya.

'Hei Kinan! Putra tak setercela dirimu, menyentuhmu saja dia tak berani, apalagi Aisyah, yang notabene tak ada perasaan apa-apa antara keduanya.'

"Mana mungkin tak ada perasaan apa-apa, pasti si Aisyah itu suka sama cowok gue!"

Gerutu Kinan sambil membanting pagar lalu menguncinya, menjawab suara hati yang seolah menjatuhkan.

***

***

"Mau traktir gue dimana loe? Gue udah laper. Malah gerah lagi."

Aisyah melipat tangan di dada.

"Loe mau di mana?"

Putra balik bertanya.

"Pulang aja. Gue nggak mood makan sama loe!" ketus Aisyah kesal.

Bisa berubah-ubah minatnya. Ia benar-benar sangat emosional. Benci sekali harus terlibat dalam romansa menjijikkan antara Kinan dan Putra.

"Loe nggak laper?"

"Nggak!"

Ini demi gengsi, ia sudah terlatih menahan lapar saat dinas. Jadi, tak terlalu masalah melakukannya sekarang.

"Tadi loe nanya, kirain loe laper. Tapi gue laper banget ni Ai."

"Ya loe makan aja sendiri!"

"Aisyah, nyokap ntar ngira gue peritungan banget sampe nggak ngajak loe makan di luar, malah milih makan di rumah."

"Gue nggak nyuruh loe makan di rumah, makan aja sendiri di luar."

"Tapi Ai, kalau gue udah balik ke rumah nggak mungkin gue keluar lagi cuma buat makan!"

"Ya pandai-pandai loe lah, gue nggak mau makan sama loe! Ntar ketiban sial lagi, males gue. Ini aja gondok, gedeg banget perasaan gue."

"Kenapa? salahnya dimana?"

"Eh, loe norak banget tau nggak? peluk-pelukkan di tepi jalan, loe nggak punya adat apa gimana? urat malu udah putus?"

"Lah kan bukan gue yang meluk, dia yang nyosor."

"Tetep aja kan loe nikmatin. Udah ngerusak mood gue itu namanya!"

"Loe kenapa sih Ai? Kayak nggak normal aja deh. Itu namanya cinta, loe pernah ngerasain nggak sih?"

Aisyah kembali terdiam. Pertanyaan itu lagi.

"Ah, serah loe deh!"

"Berarti kita makan dulu ya!"

"Serah!"

Putra tersenyum penuh kemenangan. Beberapa saat hening disibukkan dengan pikiran masing-masing. Aisyah seperti mengingat sesuatu.

"Namanya Kinan ya?"

Putra menoleh sebentar, "Iya, kenapa?"

Aisyah tampak seperti memanggil memori lama untuk ia ingat lagi. "Nama sepupu gue juga Kinan rasanya."

"Masa?"

Aisyah mengangguk, "Cuma gue nggak pernah ketemu sich. Kalau Ayah dan Ibu ke rumah Tante gue itu, Kinan nggak pernah di rumah."

"Kemana?"

"Jogja katanya, tempat nenek buyut."

Putra tersentak. Tak salah lagi, itu benar-benar Kinan yang ia kenal.

^^'Kalau ada sodara yang datang, gue aja nggak tau siapa kerabat dia di kota ini, yang pernah beberapa kali ke rumah, nanyain gue, dia pun selalu bilang gue di Jogja, tempat Nenek Buyut, ibu dari Nenek gue^^.

Sama persis dengan apa yang tadi diceritakan Kinan.

"Apa nama sepupu loe itu Kinanti Maya?"

Aisyah menggeleng, "Nggak tau gue, yang gue tau Kinan aja. Kenapa? Nama cewek loe itu?"

"Tante loe kan Tante Farah, Divisi Humas Malik Estate, iya kan? Sahabat bokap kita."

Aisyah mengangguk. "Iya, siapa lagi."

"Ai, tadi Kinan cerita ke gue masalah itu. Dia nggak pernah kemana-mana Ai, cuma diumpetin sama Tante Farah di rumahnya, nggak boleh keluar ketemu siapapun!"

Aisyah tertawa tak percaya, "Mana mungkin, Tante Farah orangnya baik. Nggak mungkin kek gitu ke anaknya! Lagian tujuannya apa coba? Aneh loe!"

Putra tetap yakin, Kinan anak Farah. Tak mungkin itu sebuah kebetulan, Aisyah mengatakan hal yang sama dengan apa yang sudah Kinan ceritakan.

"Loe sampai kapan di sini?"

"Kenapa emang?"

"Gue butuh bantuan loe!"

Aisyah melirik Putra tajam, "Nggak! Gue nggak mau berurusan lagi sama loe!"

"Tolong gue Aisyah. Kakak gue yang paling manis!"

Putra mencoba menggombali Aisyah dengan kata-kata yang menohok.

"Kakak loe! Gue nggak mau jadi kakak loe, Sipit!"

Aisyah berteriak protes. Ia tak ingin dianggap tua, apalagi sama Putra, yang tak ada hubungan darah apa pun dengannya.

"Trus mau jadi apa? Istri gue?"

Putra keceplosan bercanda, membuat suasana berubah kikuk.

"Nggak lucu loe."

Aisyah menukas dengan suara yang terdengar pelan dan tak nyaman.

Putra berusaha melebur ketidaknyamanan yang ia ciptakan dengan suara tawa yang jelas dibuat-buat.

"Makan ayam katsu yuk!"

Ajak Putra kemudian.

Aisyah hanya mengangguk menjawab ajakan itu.

***

***

Kinan menghidupkan kembali handphone yang ia tinggalkan di rumah.

Banyak sekali pesan yang masuk, termasuk dari staf Divisi Pengawasan Kantor Pusat.

[Ibu Kinanti Maya, diharapkan kedatangannya ke Kantor Pusat untuk memenuhi panggilan dari Divisi Pengawasan terkait video yang beredar. Selambat-lambatnya satu minggu sejak panggilan ini kami kirimkan.]

Begitulah isi pesan dari aplikasi berwarna hijau yang masuk ke dalam ponselnya. Dari siapa? Kinan sama sekali tidak menyimpan nomornya.

Setelah hampir satu minggu berlalu, masih saja ada yang membuka tabir itu lagi.

Hah! Apa Toni sudah tau tentang pemanggilan ini.

Kinan mengubek-ngubek rambutnya. Kenapa harus selalu bergantung pada Toni untuk urusan kantor. Bukankah ia sudah bertekad, dan akan ia selesaikan sendiri.

"Gue nggak butuh dia!"

Kinan berteriak pada dirinya sendiri. Ia lalu bangkit hendak menuju kamar mandi. Dan tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal? Agak ragu Kinan mengangkat.

"Hallo."

{Hallo Nona cantik.}

Kinan tersentak, ia seperti mengenal suara ini. Mau apa dia menelpon.

***

***

avataravatar
Next chapter