webnovel

Guide To Our Marriage

Iinas Huuriya Darpa. Perempuan 27 tahun, dan belum menikah. Dan sudah bisa ditebak, pasti semua orang memaksanya untuk segera menikah. Maukah? Tidak ada pilihan lain, tentu saja. Jika tidak, cerita tidak akan berlanjut. .......... Abiseka Arya. 28 tahun, juga belum menikah. Wajarkan? Toh dia laki - laki. Tapi Abi juga tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita. Lalu dengan laki laki? Entahlah. "Jangan sampai keturunan keluarga Arya berhenti di kamu ya? Mama kutuk kamu!" Ini kata Mamanya yang kejam. "Kalau kamu tidak mau menikahi gadis itu, dan menghentikan garis keturunan keluarga Arya, Papa tunggu kamu di depan pintu neraka!" Kalau ini kata Papanya yang.. I don't know, can't describe it yet. Kenapa Abi yang disalahkan? Karena Mamanya tidak mau hamil lagi! ......... Agus Purnomo. 30 tahun. Lajang. Sedang mengejar karir kesuksesannya. "Kamu tunggu Mas ya dek, nanti kalau Mas sudah sukses, kita menikah." katanya pada gadis yang dipacarinya sejak dua tahun yang lalu itu. .......... "Ngapain sih kamu nungguin cowok pengecut kayak dia! Kena pelet apa kamu? Dia itu nggak serius, Nas! Udah, tinggalin aja!" - Fahim "Kak Nanas! Gila, kemarin aku liat fotonya. Cakep banget kak! Kalau aja si om belum nikahin aku, udah aku embat deh pokoknya!" - Arwaa

Sinnadwi · General
Not enough ratings
6 Chs

Prolog

Cuaca hari ini sangat panas. Sepertinya Mentari sedang bersemangat menyinari bumi. Memberikan semua nutrisinya pada makhluk bumi ini.

Iinas, yang lebih sering dipanggil Nanas oleh teman - temannya - karena menurut mereka, nama Iinas itu alay dan berat. Susah manggilnya, harus pakai mad tabi'i - berjalan tergesa ke sebuah kedai minuman di kantin kantornya. Tenggorokannya sudah berteriak minta dibasahi sejak tadi. Nanas baru saja menemui salah satu kliennya. Bukan di sebuah kafe atau resto melainkan di sebuah tempat proyek konstruksi yang sedang berjalan.

Bukan juga di area indoor proyek itu, tapi langsung outdoornya. Bahkan ia juga harus menggunakan safety helmet untuk menemui kliennya itu. Untung hari ini dia memakai celana.

Dan, panasnya itu loh gaes yang buat Iinaas enggak kuat. Tengah hari bolong, di luar ruangan, tempat konstruksi, dan di ibu kota. Syukur Iinas tidak pingsan karena dehidrasi.

"Milshake Stawberry-nya satu, Mbak."

"Baik kak, ditunggu ya." Pramusaji itu tersenyum manis.

"Jangan lama - lama ya mbak, saya udah mau pingsan nih!"

"Siap!"

Lima menit kemudian, Iinas mendapat panggilannya. Buru - buru kakinya melangkah ke area kasir. Mengambil minumannya.

"Semuanya tujuh belas ribu, Kak."

Iinas memberikan selembar dua puluh ribuan. "Ambil aja kembaliannya."

Tanpa menunggu lama, Iinas segera membalikkan tubuhnya. Sebelah tangannya sibuk memasukkan dompet kedalam tasnya. Langkahnya terus berjalan, dan tentu saja membuatnya lalai. Kepalanya membentur sesuatu yang keras, minuman yang belum disedotnya terhuyung ke depan, lalu memantul ke belakang.

Astaga!

Matanya membola melihat penampakan di depannya. Kemeja putih bersih itu seketika ternodai dengan cairan pink nya. Tak terkecuali blouse toska yang digunakannya.

"Maaf. Maaf." Iinas tak menghiraukan milshake yang telah dinanti-nantikannya selama lima menit itu. Minuman itu sudah berceceran tak berdaya di lantai. Fokusnya kini hanya pada korban ketidaksengajaannya.

Tangannya segera mengusap-usap dada si pemilik kemeja putih. Berniat membersihkan, atau setidaknya mengurangi bekas noda pink di kemeja itu.

Memang sungguh sial harinya. Tanpa diduganya, si pemilik kemeja yang berusaha ditolongnya, malah menepis kasar tangannya. Tak hanya itu, pemuda itu juga mendorong bahunya hingga pantat seksinya bertubrukan dengan sisa tumpahan milshakenya di lantai.

Untuk sesaat, Iinas hanya bisa melongo. Memandangi laki-laki yang baru saja memperlakukannya dengan kasar. Mulutnya semakin menganga melihat laki-laki itu segera berbalik, dan keluar dari kantin itu. Bokongnya semakin dingin saja.

"Kak? Kakak tidak apa - apa?" tanya pramusaji yang kebetulan melayaninya tadi.

"Mbak punya cermin?"

"Ha?"

"Saya merasa gagal menjadi manusia. Apa tampang saya begitu buruk hingga dia memperlakukan saya seperti ini?"

Pramusaji itu hanya diam dan tertawa sumbang. Kedua tangannya mencoba membantu Iinas untuk berdiri.

"Saya kan tidak sengaja mbak." lanjut Nanas mencoba menumpahkan isi hatinya. "Saya hanya merasa bertanggung jawab dan mencoba menolongnya. Tapi dia malah seperti itu."

Pramusaji itu tetap diam. Tangannya mengambil tissu terdekat, dan mencoba mengelap telapak tangan juga bokong Nanas yang basah. "Kok saya merasa menjadi tissu bekas yang harus segera dibuang setelah digunakan untuk mengelap ingus karena saking banyak kuman yang mengendap di situ. Memang saya seburuk itu mbak?" Nanas tidak marah, dia hanya tidak habis pikir dengan perlakuan yang baru saja diterimanya.

"Sabar ya Kak! Cowok cakep memang seperti itu. Sombongnya nggak ketulungan."

"Bahkan saya tidak sempat melihat wajahnya. Atau karena dia cakep, makanya dia menganggap saya buruk rupa seperti kuman atau penyakit menular yang harus dijauhi?"

Pramusaji itu berpikir. Tidak. Dia yakin kalau customernya yang cantik ini sedang PMS atau baru saja ditinggal nikah sama pacarnya sehingga dia mengalami krisis kepercayaan diri.

"Makasih ya mbak, atas pertolongannya. Saya pesan satu lagi deh minumnya. Tenggorokan saya belum sempat dibasahi." Iinas mengeluarkan dompetnya lagi. Mengambil selembar lima puluh ribu dari dalamnya. "Ini mbak uangnya. Tolong antarkan ke sini ya, baju saya basah semua. Nggak enak diliatin orang. Kembaliannya buat mbak aja. Maaf lantainya jadi kotor gara-gara saya."

"Oh, I-ya kak!" kata pramusaji itu gugup. Baru kali ini dia mendapat customer yang begitu baiknya. Lumayan kan dia dapat tips tiga puluh ribu lebih. Bisa buat membelikan adik-adiknya martabak manis nanti malam.

Iinas memberikan senyuman pada orang-orang disekitarnya. Dia merasa bersalah karena mengganggu kenyamanan pelanggan kantin lain. Padahal orang-orang itu seperti mendapatkan hiburan gratis di siang hari bolong. Mereka hanya menonton, tapi tak ada yang menolong.

Dan ya, begitulah Iinas Huuriya Darpa. Dia terlalu baik untuk berprasangka buruk pada orang-orang yang mulai hilang kesensitifannya itu.

tbc-