Kurasakan belaiannya.
Hangat. Penuh kasih.
Kubuka mata.
Aku duduk di sisinya, memandang sebuah lahan.
"Kamu suka lahannya, Darren?"
Aku tidak kenal suara itu apalagi mengingat siapa gerangan yang bicara saat ini. Aneh, aku malah mengiakan ucapannya.
Suaranya seperti wanita, meski agak serak, membuatku meragukan kesehatannya. Dia duduk tepat di sisiku dengan senyuman lembut.
"Ibu dulu sering bermain di sini bersama teman," ujarnya. "Sekarang kalian bermain di sini hampir setiap hari."
"Siapa teman yang Ibu maksud?" tanyaku pada wanita yang baru kujumpai ini.
Dia tersenyum. Beliau tunjuk sekumpulan anak yang ada di gedung bertuliskan 'Panti Asuhan.'
"Tunggu, apa?!" kagetku. "Mama–"
Beliau berkata. "Ah, malam ini, Ibu tidak pulang. Mungkin minggu depan kita bisa bertemu lagi."
Tunggu, ada apa?
Sekelilingku seketika gelap.
***
Aku berdiri di tempat yang anehnya tidak asing.
Aku berada di serambi panti. Sekelilingku penuh dengan anak-anak bermain ria hingga aku takut kalau ada yang menabrak. Begitu menatap lurus, ternyata ada dia. Sosok kedua yang kutemui di Ezilis.
Mata emasnya menatap kalungku yang bercahaya. Namun, tidak bicara sama sekali. Hanya mengawas dari kejauhan.
Entah kenapa, tubuhku bergerak mendekatinya. Tapi–
Bruk!
"Tangkap aku, Darren!" Seorang bocah lalu tertawa.
Aku tentu tidak marah. Dia hanya mengajak bermain.
Ketika menoleh lagi, sosok itu menghilang.
***
Tidak sengaja, aku dengar suara dari kantor. Itu adalah Kepala Panti, kalau kulihat dari papan nama. Sepertinya, terjadi perdebatan di sana.
"Aku melihatnya di sini, orang yang kucari."
"Ah, kebetulan sekali kalian pernah besar di tempat yang sama. Kamu mau mengadopsinya? Tapi, dia punya seorang ibu."
"Bilang padanya kalau aku akan mengurusnya. Dia tidak bisa membesarkan anak dengan profesi itu."
"Apa yang kautahu?"
"Dia pelacur, bukan?"
Apa itu pelacur? Kalau kudengar dari nada suara Arsene, sepertinya itu tidak baik. Apa sama seperti maling? Anak nakal?
Setelah hening sejenak, suara Kepala Panti kembali terdengar. "Baik, dia memang tidak bisa mengurusnya. Awalnya hendak diaborsi, tetapi dia lebih memilih untuk mempertahankan."
Apa itu aborsi? Sesuatu yang buruk juga? Apa Mama jahat?
"Kalau begitu," kata Arsene. "Izinkan aku membesarkannya."
"Atas dasar apa, Monsieur?"
"Dia tanggung jawabku."
Lalu ...
***
Semua kembali.
Dalam sekejap.
Bagai putaran film.
Potongan gambar bertebaran. Di antaranya wajah Arsene tersenyum padaku. Melayang bagai debu beterbangan.
Di antaranya ...
Ilmu yang perlahan kudapatkan, entah dari mana.
Arsene ...
Ia separuh warlock. Memanfaatkan kekuatan sihir hitamnya guna melawan sihir hitam juga.
Namun, itulah awal dari petaka.
Duk! Duk! Duk!
Aku tersentak.
Kini tengah duduk bersamanya. Ibu yang tengah menikmati makan malam, beringsut melindungiku.
Sosok itu berdiri. Aku mengenalinya.
Brak!
Sosok pucat aneh di depan kami melotot. Ia mendesis, menerjang.
Dunia bagai berputar.
"Darren!" Ibu menjerit.
Tubuhku terpental. Mengantam lantai.
Aku hendak bangkit. Meringis kala sesuatu menggores punggung.
Ibu menjerit lagi. "Darren!"
Duk!
Gelap.
Hanya kegelapan menyertai.
Kukira aku telah tiada.
***
Aku terbangun di sisi Ibu. Beliau belum siuman, tampak damai dalam mimpi.
Kalungku memancarkan sinar.
Ada apa ini? Siapa itu?
"Siapa ... Kamu?" tanyaku.
Rambut kelabu, bermata emas serta baju gelap dipenuhi darah dan gumpalan hitam. Ia tampak payah, nyaris roboh.
Ia menoleh. Tampak kaget dengan pertanyaanku.
.
.
.
Kabur.
Hanya itu yang dilakukan.
Membiarkan rumah berantakan dengan darah serta gumpalan hitam.
Aku tertelan kegelapan.
***
Sorak sorai menggema.
Aku berdiri di kerumunan. Lautan manusia dan campuran makhluk asing lainnya beradu suara. Dari yang bersayap hingga mengubah wujud menjadi seekor kucing demi melihat sosok itu.
Ada dua lebih tepatnya. Tampak kontras dibandingkan penjuru negeri. Kulit kuning langsat di antara rakyat Ezilis yang putih. Beragam bunga mulai tumbuh menghiasi jalan hingga jadi bahan rebutan.
"Itu Raja Safar al-Khidir, raja Aibarab," bisik Ibu yang tengah mengendongku agar aku bisa mendengarnya. "Beliau dikenal sebagai Guardian asal Shan, negeri di atas awan itu. Ia bahkan menjadikan putri Ratu Jin Yamlica sebagai penerusnya."
Ah, aku tahu siapa yang dimaksud. Khidir dan Zahra, bukan?
Kedua sosok yang kulihat di depan bagai dua tangkai bunga bersinar di bawah sinar mentari lembut negeri ini. Hanya Khidir yang membalas lambaian rakyat Ezilis dengan tatapan manis, berbeda dengan Zahra yang hanya menatap tanpa ekspresi, lebih tepatnya berusaha agar tidak jauh dari sosok pria di sisinya.
Kata Ibu, mereka berkunjung ke Ezilis mewakili Aibarab setelah lama tak memunculkan diri. Kurasa, sosok Khidir bisa menghidupkan suasana negeri "mati" Ezilis.
Di samping mereka, ada pria berambut putih menatap ke kerumunan. Dia seolah mengawal mereka. Ya, itu jelas Idris.
Sebuah pohon tumbuh di samping kanan kami disertai decak kagum. Tumbuh buah apel matang yang siap santap. Beberapa rakyat Ezilis berebut, memanjat dan membagi buahnya.
Ketika buah itu jatuh ke tangan lalu kugigit, rasanya sungguh manis.
Aku lantas tersenyum lalu menatap Khidir dan Zahra.
Kurasa hanya perasaanku saja, tapi Khidir menghadap ke arahku lalu tersenyum.
Tanpa sadar, aku membalasnya. Tanpa menyadari cahaya biru lembut bersinar dari balik pakaianku.
Kurasa dari situlah pertemuan pertama kami.
***
"Remi? Remi?"
Suara itu membangunkanku. Siapa?
Aku mengerjapkan mata. Sinar rembulan menusuk mata hingga aku menggerang pelan.
Seseorang mendudukanku. Ia berbisik pelan, "Pangeran?"
"Nemy?" Nyawaku langsung terkumpul. Kutolehkan kepala.
Mata merahnya menatap lurus ke relung jiwa. Entah untuk menenangkan atau justru mengintimidasi–tanpa ekspresi yang jelas. Aku tidak bisa membaca wajahnya.
"Ini di mana?" Aku menatap sekeliling.
Hanya ada pohon, pohon dan pohon. Serangkaian semak belukar serta rumput liar menghiasi setiap tanah. Hanya sinar rembulan yang membuat hutan ini tampak indah meski dicekam kegelapan.
"Aku tidak tahu," jawab Nemesis. "Ini seperti hutan Arey, tapi ..."
"Asing?"
Ia mengiakan.
Kudengar suara desisan.
Aku lalu berlindung di balik punggung Nemesis.
Nemesis menatap sekeliling dengan waspada.
"Kalian ..."
Aku kenal suara itu.
"Pembunuh."
Siapa itu?
Nemesis diam saja.
Aku hendak membela, namun lidahku kelu dan pikiran berkecamuk.
Krak! Bruk!
Sesuatu jatuh, tapi tidak terlihat.
Nemesis menggendongku.
Kulihat sosok wanita, jatuh tersungkur nyaris menerkamku. Dia berdiri, memamerkan serangkaian taring.
Nemesis berdiri di depan, terlihat tenang meski lawannya bagai kesetanan, siap merenggut nyawa.
Tatapannya memancarkan kebencian mendalam. Tapi, ada yang salah dengannya. Dia berjalan sempoyongan ke arah kami, tampak tidak ada jiwa di dalam tatapan itu.
Wanita itu bahkan terlihat tidak terluka dari tadi. Justru tampak sehat walafiat meski tatapannya membuatku ragu apakah ia benar-benar telah pulih.
Terdengar suara gesekan antara daun.
Ia mendesis. "Kau ..."
Aku yakin ia bicara pada Nemesis alih-alih aku.
Nemesis mundur. Aku tahu ia sudah kewalahan dan tidak bisa melawan.
Sosok itu melangkah. Melotot, menatap lurus ke relung jiwa. Dia menggeram, lalu menjerit.
Syuut! Nemesis melesat ke pohon dan melompatinya.
Aku melirik ke bawah.
Lawan kami tidak berkata-kata, meneruskan langkah meski harus tertatih-tatih. Aneh, justru kecepatannya menyamai kami. Aku yakin dia lebih dikendalikan daripada bergerak sesuai hatinya. Bagaimana mungkin Nemesis yang melompat secepat itu bisa disusul?
Setitik cairan merah mencuat dari dadanya. Dia memuntahkan darah lalu ambruk.
Hening lama.
"Otōsan, dia sudah mati?"