webnovel

Gisti

Gisti, gadis kuat, tangguh, dan pemberani. Di usianya yang baru menginjak 19 tahun sekitar dua minggu yang lalu, ia sudah menjadi anggota TNI, terlebih dirinya adalah satu-satunya perempuan di sana. Sifatnya yang keras membuat para pria enggan mendekatinya, sebenarnya ingin, hanya saja nyali mereka terlalu ciut untuk sekadar menyapa gadis itu jika tidak berkepentingan. Surat tanpa nama yang ia dapatkan hampir setiap hari, membuatnya bingung dan harus berpikir dengan keras. Berusaha mencari siapa sebenarnya yang mengirimkan surat aneh seperti itu. Awalnya ia mengira bahwa Patih lah yang mengirimkannya surat, mengingat hanya Patih satu-satunya teman lelaki yang ia punya. Namun dengan tegas Patih menjawab, "Tidak." Hingga akhirnya semesta menjawab semua pertanyaan yang membutuhkan jawaban tersebut. Semua telah terungkap, kala sesuatu terjadi kepada sang pengirim surat–Dewa.

maandash · History
Not enough ratings
14 Chs

04

Gisti berteriak, memanggil-manggil Darmi. Namun Darmi tak menyahut, padahal ini sangat penting sekali.

"Buk, ibuk di mana?"

"Ada apa toh, Nduk? Kok teriak-teriak."

Gisti menoleh, melihat Darmi yang baru saja masuk rumah. Sepertinya dari ladang, karena Darmi membawa bakul berisikan sayur-sayuran. Gisti menghampiri sang Ibu,  "Buk, Gisti ada tugas."

Darmi yang tengah meletakkan bakulnya lantas menoleh ke arah Gisti, "Jangan bilang kalau kamu mau ke Ambarawa, Nduk."

"Buk, Gisti harus ke sana. Patih juga ikut, Gisti ndak bisa menolak tugas dari negara. Ibuk ndak apa-apa, kan, kalau Gisti tinggal?"

"Nduk, belum lama ini kamu pulang dari Surabaya. Bapakmu belum genap sebulan pergi, Ibuk ndak mau kalau kamu juga tiba-tiba pergi. Ibuk sama siapa di sini?" ucap Darmi lemah.

"Percaya sama Gisti, Buk, Gisti ndak akan kenapa-kenapa. Kalaupun Gisti harus menyusul bapak, Ibuk masih punya bu Ani–ibunya Patih–yang masih bisa jagain Ibuk."

Darmi menghela napas, menyentuh surai rambut Gisti, "Ndak bisa kalau kamu ndak ikut?" Gisti menggeleng seraya tersenyum pedih. Tak tega sebenarnya jika ingin meninggalkan Ibunya sendiri di rumah. Apalagi dirinya yang tidak tahu akan berapa lama berada di Ambarawa. Dirinya juga tidak tahu, apakah ia akan selamat pulang ke sini, atau harus mati dan pulang ke pangkuan Sang Pencipta.

Darmi memeluk putrinya, "Jaga diri baik-baik, Ibuk merestui." Darmi menangis, begitupula dengan Gisti yang mulai terisak dalam rengkuhan Ibunda. Malam ini sebelum keberangkatannya besok pagi, ia akan menghabiskan waktunya untuk sang Ibu.

"Buk, Gisti tidur sama Ibuk boleh ndak?" Darmi mengangguk cepat, "Makan dulu ya, Ibuk masakkan sebentar. Mau makan apa?"

"Apa aja," jawabnya seraya tersenyum manis yang jatuhnya malah membuat sakit hati Darmi.

"Ya sudah, Ibuk masakkan yang enak buat kamu. Bersih-bersih dulu sana."

Gisti mengangguk, masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil beberapa helai pakaian yang akan ia gunakan. Darmi menghela napas kala punggung Gisti telah hilang di balik tirai kamar sang putri. Mengusap air mata yang dengan nakalnya mulai turun kembali, membasahi pipi Darmi yang mulai keriput.

"Wah, wangi banget, Buk," kata Gisti ketika ia keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badannya. Darmi tersenyum seraya terus mengoseng masakannya di atas wajan, menatap Gisti yang kini tengah memeperhatikannya.

"Kesukaan kamu, Nduk. Oseng-oseng kangkung. Makan yang banyak ya nanti."

Gisti mengangguk, menatap sang Ibu yang kini masih subuk meniup-niup api pada tungku. Menghela napasnya berat, menguatkan batinnya agar tidak menangis.

"Sudah matang. Ayo makan," ajak Darmi seraya berdiri. Gisti tersadar dari kegiatan melamunnya tadi, mengangguk dang merangkul pinggang Darmi seraya berjalan ke arah tempat makan.

Duduk lesehan beralaskan tikar, dengan suara hujan yang entah turun sejak kapan. Suasana makan malamnya saat ini benar-benar menggambarkan sekali perasaan Gisti dan Darmi. Hujan yang turun mewakilkan perasaan mereka yang sebenarnya menangis dalam diam. Suasana malam yang mencekam pula, mewakilkan perasaan Darmi yang takut jika Gisti akan pergi selamanya.

Darmi menatap putrinya yang kini tengah makan dengan lahap, tersenyum simpul ketika gadis itu menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Mengunyahnya pelan, kemudian menelannya.

Gisti yang merasa diperhatikan sang Ibu perlahan mendongak, "Buk, kok ndak makan?" tanyanya. Karena nasi dan lauk milik Darmi terlihat sama sekali belum disentuh.

"Lihat kamu makan saja sudah kenyang, Nduk."

"Tapi Ibuk harus makan. Gisti suapin, nggih?"

Darmi mengangguk cepat, sedangkan Gisti tersenyum senang. Perlahan mendekatkan tubuhnya ke arah Darmi, menyuapkan nasi ke mulut sang Ibu menggunakan tangan kanannya. Darmi tetap menatap lekat manik putrinya, merapalkan segala doa dalam hati. Ia sangat berharap, semoga semesta melambatkan waktu malam ini, tidak perlu menghentikannya cukup melambatkan saja tidak apa-apa, agar ia bisa menikmati waktunya dengan Gisti sedikit lebih lama.

"Sudah, ayo tidur, Buk. Ibuk pasti lelah sekali karena seharian bekerja di ladang," ajak Gisti ketika mereka selesai makan.

"Kamu juga pasti lelah sekali, ayo tidur." Darmi merangkul Gisti, menuntunnya menuju kamar Darmi karena putrinya itu ingin tidur bersamanya malam ini.

Darmi mengusap pelan gadis yang tengah berada di pelukannya, berharap gadis itu akan tertidur pulas dengannya malam ini. Batin Darmi menangis tertahan, bibirnya ia gigit kuat-kuat agar tak terisak. Berat rasanya melepaskan putri sematawayangnya untuk pergi, apalagi dengan waktu yang belum pasti.

Darmi berdoa, semoga ini bukan malam terakhir ia tidur memeluk putrinya.

***

"Apa ini?" gumam Gisti seraya mengangkat sebuah kotak kecil yang tergeletak di depan pintu rumahnya.

"Coba buka, Nduk."

Gisti membuka kotak kecil tersebut, beberapa amplop yang entah berapa jumlahnya ada dalam kotak kecil itu. Lagi-lagi Gisti harus menghela napas, "Buk, sebenarnya ini surat dari siapa, toh? Gisti kok bingung," tanyanya pada Darmi.

Darmi yang tidak tahu menahu hanya bisa menggeleng, "Ibuk juga ndak tahu. Tapi sepertinya orsng yang mengirimkan, benar-benar pengin mempersuntingmu, Nduk."

"Tapi ndak gini juga toh caranya. Gisti, kan, jadi bingung. Namanya ndak ada. Isinya selalu bikin kaget terus."

Darmi hanya mampu mengusap punggung putrinya yang kini tengah menggerutu sebal. Gisti meraih secarik kertas berwarna putih. Dibacanya kata demi kata yang terukir di dalamnya.

Gisti, bacalah surat saya setiap hari ketika kamu berada di Ambarawa. Jumlah surat ini sama dengan hari ketika pertempuran itu akan selesai. Percayalah, Gisti.

Baca satu surat setiap harinya. Di pojok amplop sudah tertera nomor kecil. Kamu bisa membacanya mulai esok, ketika sudah sampai di Ambarawa.

Selamat berjuang, calon istriku.

Gisti menutup kotak itu dengan kasar. Berniat untuk membuangnya ke tempat sampah, namun Darmi mencegahnya.

"Jangan dibuang, Nduk. Ibuk, kan, sudah pernah pesan sama kamu. Hargai pemberian seseorang, jangan dibuang seperti itu. Apa, toh, isinya?"

Gisti dengan bibir mengerucut dan raut wajah yang sebal lantas menyodorkan secarik kertas yang ia baca tadi. Darmi menerimanya, mendekatkan kertas tersebut ke wajahnya agar dirinya dapat membacanya.

"Gimana Gisti ndak marah. Memang dia siapa, berani memerintah Gisti untuk membaca suratnya setiap hari saat di Ambarawa nanti."

"Kalau dia benar Dewa, kamu mau membantah perintahnya?"

"Ibuk ... kok jadi belain si pengirim surat?"

"Sudah. Bawa kotak itu, turuti saja, Nduk. Siapa tahu surat yang ia tuliskan bisa membantumu di Ambarawa nanti. Dia selalu mengaku bahwa dirinya adalah seorang Dewa. Surat yang ia tuliskan juga selalu terjadi ketika kamu membacanya."

Gisti memikirkan lagi matang-matang perkataan Darmi. Ada betulnya juga apa yang diucapkan oleh sang Ibu padanya. Gisti melirik kotak yang berada di genggamannya, menghela napasnya untuk kesekian kalinya hari ini kemudian mengangguk.

Darmi tersenyum, mengusap pelan surai rambut Gisti. Memeluk putrinya yang sebentar lagi akan meninggalkannya, entah sampai kapan. Semoga saja semua ini cepat berlalu, tiada pertempuran lagi, tiada kekejaman lagi, agar ia bisa hidup dengan tenang bersama putri satu-satunya.

Gisti dan Darmi menoleh, kala sebuah lonceng sepeda tertangkap oleh telinga mereka. Didapatinya Patih dan Bu Ani, menaiki sepeda ontel tua peninggalan mendiang ayah Patih yang juga seorang tentara dulunya. Beliau menghembuskan napas terakhirnya kala satu hari sebelum pembacaan proklamasi. Tepatnya 16 Agustus 1945.

Bu Ani turun, menghampiri Darmi dan memeluk erat temannya itu. Kemudian menatap Gisti dan juga memeluknya tak kalah erat.

"Gisti, hati-hati ya, Nduk, di sana. Kamu perempuan sendiri, loh," pesan Ani pada Gisti yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri. Gisti mengangguk seraya tersenyum semanis mungkin, meyakinkan kedua perempuan yang sebentar lagi akan ia tinggal, bahwa Gisti akan baik-baik saja. Semoga, ya.

"Patih, jagakan Gisti, ya. Jangan lupa kirim kabar ke Ibuk kalau sempat," ucap Ani kepada sang putra. Patih mengangguk, "Nanti ya, Buk. Kalau keadaan memungkinkan Patih buat kirim surat ke Ibuk, pasti Patih kirim."

"Gisti sama Patih berangkat ya. Bu Ani, minta tolong sekali untuk jaga Ibuk. Jangan biarkan Ibuk telat makan. Gisti sama Patih pasti akan jaga diri baik-baik di sana, doakan ya, semoga semuanya cepat berlalu. Supaya Gisti dan Patih bisa cepat-cepat kembali ke pelukan kalian."

Suasana sedih menyelimuti mereka pagi ini. Darmi dan Ani yang sama-sama akan melepas putra-putrinya untuk berjuang dalam sebuah pertempuran. Kedua perempuan paruh baya itu berdoa, mengiringi kepergian putra-putrinya, sang pejuang Indonesia ke Ambarawa. Berharap semua ini lekas berlalu dan mereka dapat berkumpul seperti biasa tanpa ada rasa takut dan cemas.