webnovel

GENI LANGIT [21+]

[NOVEL KONTROVERSIAL. TIDAK AKAN DIKUNCI DAN SELAMANYA AKAN MENJADI HAK MILIK AUTHOR. FOTO-FOTO PARA TOKOH (sudah izin) AKAN DIUNGGAH DI INSTAGRAM JIKA REVIEW MENCAPAI 100 DAN BARU DI UPDATE JIKA COLLECTION MENCAPAI 1000] Namanya Geni Langit. Seorang berandal, santri, dan manusia biasa. Dia pernah menjalani semua peran itu dalam hidupnya. Perawakannya tajam seperti pisau, matanya hampir tak pernah tidur, dan hatinya melihat kebenaran setiap waktu. Dia memang baru di pesantren. Dia bukan orang suci. Hanya mantan manusia urakan yang tangannya sudah berlumuran darah para korban-korban rampok dan begalnya. Namun, saat orang-orang menunjuknya dengan amarah dan prasangka yang buruk, dia berjalan tak kenal ampun menuju keyakinan yang tak berujung. Geni Langit, jangan pernah menganggapnya sebelah mata jika mampu! Pada kenyataannya dia sanggup mengungkapkan rahasia kotor seorang munafik dan membuat semua mata melihat mana kebenaran yang harus diketahui. WARNING!! Novel ini akan mengandung sarat konflik yang mungkin tidak akan sanggup diterima setiap khalayak. Di dalamnya terdapat intrik dan LGBT. Jika anda tidak suka jenis karya yang seperti ini, diharap mundur saja sejak sekarang!! NB: Cek karya LGBT saya yang lain!! Konflik tidak berhenti hanya pada satu novel XD Follow IG Saya: @Mimpi_work Terima kasih :")

Om_Rengginnang · LGBT+
Not enough ratings
23 Chs

TIPU MUSLIHAT 20

Geni diam sebentar. Dia mengusap tengkuk saat menanyakan hal selanjutnya. Pertanda sebenarnya segan. "Jadi itu sudah lama ya, Kang?"

"Tepatnya dua tahun lalu," cerita Mirza pada akhirnya. Dia menghempas napas dan menegakkan tubuh kali ini. "Tapi terserah kamu mau percaya atau ndak. Yang pasti, aku Cuma ingin membenarkan apapun yang kamu lihat. Sebab memang itulah faktanya."

"Begitu," gumam Geni. "Tapi kenapa malah diam kalau Kang Mirza sudah tahu lama?"

"Apa?"

Seolah tuli. Tapi Geni tahu Mirza tidak separah itu.

"Anu, maksud saya itu kan keliru—"

"Astaghfirullah..."

Mirza memijit kedua pelipis. Tampak sangat frustasi.

"Kang?"

"Kamu bener, Gen," kata Mirza. "Tapi jujur juga aku ndak mampu mengatakannya pada siapapun selama ini."

Geni pun bingung. "Kenapa, Kang?"

Mirza tersenyum masam. "Tahu ndak? Aku bahkan sempet pengen mbedal dari pesantren waktu itu," katanya getir. "Maksudku, saat pertama kali mengetahuinya."

"Berarti waktu itu..."

"Hanin masih 14 tahun. Pun adalah tahun pertamaku menjadi Pengurus Divisi Penerangan."

Garis bibir Geni membentuk lurus. Dia benar-benar tidak tahu harus berkomentar apa atas berita yang baru didengarnya.

"Kamu tahu? Waktu itu aku Cuma ingin mengganti lampu halaman kantor yang mendadak konslet," kata Mirza. "Biasanya mudah saja. Tapi setelah ku-cek sekali lagi ternyata malah presto-nya yang rusak. Karena itu, aku harus mengambil cadangannya di loker kantor..."

Melihat tremor parah di jemari Mirza, Geni pun menghampiri dan menepuk bahunya. "Kamu ndak papa, Kang?" tanyanya cemas.

Mirza mendongak. Dan mereka bertatapan.

"Aku bahkan langsung berlari ke kamar, Gen," aku Mirza. Kalut. "Kukemasi barang-barangku. Semua saja tanpa kecuali. Tapi Abah Yai jutru memanggilku menghadap saat itu," katanya. Lalu tertawa getir. "Dan—Hahaha...! Aku dinaikkan jadi abdi kantin malahan. Bagaimana menurutmu? Lucu sekali, kan?"

Geni diam sejenak. "Lalu kenapa samean ndak cerita ke siapapun?" tanyanya kemudian.

Jawaban Mirza secepat angin.

"Kamu pikir mudah saja melakukannya?"

Geni diam lagi.

"Sementara siapapun tahu seberapa bagus kesan Kang Zaki sampai sekarang..."

Ya. Tentu. Bahkan sejak awal, Geni sudah mendengar tentang hal itu.

Para santri yang mengelukan Zaki layaknya pangeran. Sebab sosok itu sudah mulai nyantri pada umur 8 tahun. Jadi dia mengenal semua generasi senior sepantar Kang Zuhri dan dekat dengan Gus Fatih sejak tingkat Sifir. Belum lagi, dia tak pernah pulang kecuali hari raya lebaran, berprestasi, dan berasal dari keluarga berada yang sering menyumbang ke dalam banyak organisasi agama, termasuk pesantren Darul Amin ini.

Dan sekarang dia sudah duduk di sistem rantai paling tinggi setelah Kiai Nasiruddin dan segenap keluarga Ndalem. Jadi, memang sulit sekali seperti yang Mirza katakan.

"Salah-salah malah nanti aku yang dianggap gila karena cerita hal-hal itu." Kata Mirza. "Sekarang kamu paham?"

Mereka sama-sama diam. Dan tetap seperti itu.

TEEEET...

TEEEET...

TEEEET...

Hingga jeritan bel dari aula itu terdengar. Membuat suara langkah gaduh para santri Tsanawi mulai mendekat. Menuju kantin. Memenuhi meja-meja yang tersedia untuk memesan kopi dan makan malam yang tertunda.

"Sudah, ya... aku mau siap-siap dulu biar ndak telat," kata Mirza. Padahal raut wajahnya masih tampak menanggung beban yang begitu berat. "Pokoknya kusarankan diam dulu dan jangan gegabah. Soalnya ini bukan masalah sepele, mengerti kan?"

"Nggih, Kang."

"Nggih-mu itu tenan to?"

Ditanya begitu, Geni justru diam.

"Pikirkan Hanin juga, Gen," kata Mirza. "Dia itu hanya korban. Terus perasaan Khilmy yang peduli padanya, Kang Zuhri yang mengangkatnya ke Divisi Pengairan, Bapaknya yang sakit parah dan masih opname di rumah sakit, reputasi pesantren, dan terutama... Abah Yai."

"Tapi, Kang—"

"Yakin, Gen," sela Mirza tegas. "Pada saat yang tepat pasti ada becik ketitik olo ketoro dalam kehidupan kita."

Geni pun diam lagi. Tapi kali ini dia baru menerima saran Mirza. Yakni jangan gegabah. Meski dia berpikir... jangan gegabah bukan berarti diam saja, kan?

Bersambung...

NB: CEK PROFIL SAYA SEGERA!

Setelah ini baru "Bab 2: TOPENG SANDIWARA." (Yang akan saya pecah juga menjadi 20 bab ke depan) tapi, saya melihat respon pembaca dulu.

Jika ternyata banyak hujatan ke novel kontroversial satu ini, saya akan take down dan hapus 20 Bab pertama ini dengan karya LGBT saya yang lainnya.

NB: Jika kalian suka dan mendukung novel ini, add collection segera agar saya tahu!!

Terima kasih :")