webnovel

GENI LANGIT [21+]

[NOVEL KONTROVERSIAL. TIDAK AKAN DIKUNCI DAN SELAMANYA AKAN MENJADI HAK MILIK AUTHOR. FOTO-FOTO PARA TOKOH (sudah izin) AKAN DIUNGGAH DI INSTAGRAM JIKA REVIEW MENCAPAI 100 DAN BARU DI UPDATE JIKA COLLECTION MENCAPAI 1000] Namanya Geni Langit. Seorang berandal, santri, dan manusia biasa. Dia pernah menjalani semua peran itu dalam hidupnya. Perawakannya tajam seperti pisau, matanya hampir tak pernah tidur, dan hatinya melihat kebenaran setiap waktu. Dia memang baru di pesantren. Dia bukan orang suci. Hanya mantan manusia urakan yang tangannya sudah berlumuran darah para korban-korban rampok dan begalnya. Namun, saat orang-orang menunjuknya dengan amarah dan prasangka yang buruk, dia berjalan tak kenal ampun menuju keyakinan yang tak berujung. Geni Langit, jangan pernah menganggapnya sebelah mata jika mampu! Pada kenyataannya dia sanggup mengungkapkan rahasia kotor seorang munafik dan membuat semua mata melihat mana kebenaran yang harus diketahui. WARNING!! Novel ini akan mengandung sarat konflik yang mungkin tidak akan sanggup diterima setiap khalayak. Di dalamnya terdapat intrik dan LGBT. Jika anda tidak suka jenis karya yang seperti ini, diharap mundur saja sejak sekarang!! NB: Cek karya LGBT saya yang lain!! Konflik tidak berhenti hanya pada satu novel XD Follow IG Saya: @Mimpi_work Terima kasih :")

Om_Rengginnang · LGBT+
Not enough ratings
23 Chs

TIPU MUSLIHAT 19

Sebab salah satu dari mereka adalah petinggi besar dalam pesantren ini. Pun satu yang lain hanya pemuda kikuk yang terkenal sukar berteman meski telah bertahan selama tiga tahun.

"Iya. Saya pasti hanya salah lihat." Gumam Geni. Sekali lagi. Mencoba terus meyakinkan diri, tapi malah kepikiran sampai di dapur kantin.

"Salah lihat, katamu?" tanya Mirza. Yang entah sejak kapan, sudah mulai memplastiki donat-donatnya yag berhasil jadi. "Salah lihat apa memangnya?"

"Eh, Kang Mirza?" kaget Geni.

"Iya, kenapa?" tanya Mirza. Tanpa alih fokus pada pekerjaannya samasekali.

"Ah, ndak... Kang," gumam Geni ling-lung.

"Bagaimana, sih? Aneh sekali..." cibir Mirza sekenanya. "Yang penting lampu-lampunya sudah beres, kan?"

"Nggih, Kang."

"Kalau begitu suwun ya, Gen," kata Mirza. Tapi Geni malah tak menyahut samasekali. "Gen?" panggilnya. Lalu menoleh ke belakang dan melihat Geni yang tampak resah.

"Anu, Kang..." kata Geni. "Kalau boleh, saya pengen tanya sesuatu boleh ndak?"

"Soal apa?" tanya Mirza balik.

"Anu..." gumam Geni hati-hati. "Mn..." tapi dia tetap ragu sampai akhir.

Mirza pun menaikkan sebelah alisnya. "Soal apa? Bilang saja..." katanya. "Mungkin aku bisa memberi tahumu sebagai senior di pesantren ini. Iya, kan?"

"Begitu, ya..." desah Geni.

Mirza mengangguk mantap. "He-em."

Geni pun menatap punggung itu lekat. "Kalau begitu, soal Kang Zaki dan Hanin, Kang..."

DEG

BRAKH!

"Apa?"

Mirza refleks berbalik ketika nampan donatnya jatuh ke lantai. Dia menatap Geni marah. Tapi anehnya, tak ada gurat kebencian di dalam sana.

"Kenapa, Kang?"

"Ndak—maksudku, sebentar..."

Mirza segera menutup pintu dapur kantin.

"Kang Mirza?"

Mirza berbalik. "Kamu mau tanya soal mereka, hah?!" bentaknya dalam bisikan.

"Anu... sebelum itu, kenapa mendadak samean pengen marah ke saya—"

"Sudah katakan saja pertanyaanmu!" bentak Mirza lagi.

"Hah?" bingung Geni.

"Dan sebaiknya cepat sebelum Khilmy dan para santri datang ke kantin, mengerti?" tegas Mirza urgen.

Geni justru menggeleng. "Ndak ngerti samasekali, Kang..." jawabnya jujur.

"Geni..." desah Mirza. Sampai-sampai dia meremas kedua bahu Geni. Kalut sekali. "Jangan bilang pertanyaanmu itu seperti dugaanku?"

Geni menatap Mirza.

Mirza menatap Geni.

Bersitegang. Dan jujur... Mirza ingin sekali menggampar Geni saat itu juga.

"Soal Kang Zaki dan Hanin kan, katamu?" tanya Mirza sekali lagi.

"Nggih, Kang," angguk Geni. "Mn, jadi mereka itu benar-benar masih sepupu dan sama laki-laki, kan?"

DEG

Seketika, Mirza pun mundur beberapa langkah. "Ah... sudah berakhir..." desahnya pasrah.

Geni justru menaikkan oktaf suaranya. "Nggih, kan?" tanyanya. Butuh kepastian. Padahal Mirza sudah duduk sempoyongan di kursi belakangnya saat itu. Wajahnya pucat. Dan dia menangkup seluruhnya dengan kedua tangan yang gemetar.

"Soalnya barusan saya ndak sengaja melihat mereka di dalam kantor," kata Geni. Mencoba menjelaskan. "Maksud saya, sedang melakukan seperti yang laki-laki dan perempuan—"

"Begitu," sela Mirza pelan.

"Eh? Kang Mirza tahu?" kaget Geni.

"Lebih tepatnya Cuma aku yang tahu," aku Mirza. "...sampai kamu melihat semuanya malam ini."