webnovel

Semuanya, Terima Kasih

Pak Adi menatap lembut anak tirinya yang dengan ikhlas merawat dan mengobati dirinya, rasa sakit dan perih pada luka yang terkena obat merah seakan tidak terasa. Semua luka dibadannya tidak sebanding dengan luka batin yang dirasakan Ana sewaktu kedua orang tuanya meninggalkan dirinya secara bergantian. Ditinggal wafat oleh ayah kandungnya saat berusia 10 tahun dalam sebuah kecelakaan tunggal, truk dengan pengemudi yang mengantuk menabrak gerobak angkringan hingga menyeret tubuh Danu sejauh 3 meter yang membuatnya harus pergi meninggalkan dunia dengan tangis istri dan putri semata wayangnya. Selang berapa tahun Ana tumbuh dewasa menjadi gadis remaja yang penuh dengan cita-cita, dirinya dihadapkan dengan keputusan ibunya menikahi seorang pria tanggung yang usianya tak jauh beda dengan Hera. Adi, dirinya tahu betul saat pertama kali bertemu Ana yang sudah nampak dewasa dengan pemikirannya yang menerima Adi sebagai bapak tirinya. Dinikahinyalah Hera dengan seorang putri yang cerdas dan penuh tata krama sopan santun, dua tahun berselang lahirnya seorang putri dari rahim Hera. Mereka berdua cukup matang saat memiliki Alma sebagai putri kedua mereka, sukacita dan gembira mereka rayakan dengan berdoa bersama saat tali pusar Alma telah sepenuhnya lepas. Acara ini biasa dilakukan oleh orang yang berasal dari tanah Jawa yang kental dengan adat istiadat dan budaya, namun sayangnya Hera harus segera meninggalkan suaminya dan kedua putrinya karena sakit yang ia derita. Semuanya seperti bumi yang berputar tidak pada porosnya, Adi yang sangat mencintai istrinya berubah menjadi orang yang tak pernah pulang dan mengurus kedua putrinya. Dirinya sibuk bekerja dipabrik dan meninggalkan usaha angkringan yang dirintis Hera bersama Danu, rasa bersalah selalu saja menggelayuti dirinya hingga suatu ketika bertemu dengan rekan kerjanya dipabrik.

Seorang perempuan muda dan belum juga mendapatkan suami, mungkin inilah saatnya kembali hidup normal dan menjalani indahnya berumah tangga. Pernikahannya yang sekarang dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Arslan, tubuhnya putih dan rambutnya lebat. Membuat keluarga kecilnya terasa makin lengkap, namun perubahan Lia, ibu dari Arslan nampak berbeda. Dirinya mulai kasar dan sering menyuruh Ana seenaknya, bukan karena berubah, tapi watak aslinya mulai terlihat. Dengan angkuhnya dirinya pergi meninggalkan rumah Adi dan kembali kerumah orang tuanya membawa Arslan tanpa bermatian ke suami dan kedua anak tirinya.

"Ana! Alma! Arslan! Maaa! Bapak pulang" seru Adi memasuki rumah sembari menenteng bungkusan martabak kesukaan istri dan anak-anaknya.

"Mamak pergi, pak" ucap Ana keluar dari kamar dengan kantuk di matanya.

"Kemana perginya mamak mu, Na?" tanya Adi bingung.

"Nggak tau, pak. Itu ada surat di atas meja kamar kayaknya" ucap Ana memposisikan duduknya di kursi meja makan.

Bapak segera menuju kamarnya dan meletakan martabak diatas meja makan, betapa kagetnya ia ketika membaca surat itu. Ia lalu bergegas meninggalkan rumah tanpa berpamitan dengan Alma yang masih terlelap dikamarnya.

"Jaga adek mu, Ana. Bapak mau nyusul mamak mu ke rumah nenek" ucap bapak yang kemudian berlalu meninggalkan Ana dan Alma sendirian.

Sejak saat itulah Ana dan Alma kehilangan bapak serta mamak yang harusnya melindungi mereka, rasa lapar yang menghampiri keduanya pun membuat mereka memutuskan mencari pekerjaan serabutan. Mencuci piring, berjualan rokok, hingga membuat kantung teh mereka lakukan. Hingga hal nahas terjadi pada mereka berdua, Alma jatuh sakit dan perlu ditangani oleh medis. Badannya panas namun keadaanya menggigil, Ana kebingungan mencari dana untuk membawa adiknya ke dokter. Dijanjikan mendapat pekerjaan disuatu tempat, Ana menyetujui hal itu dan menerima tawaran seseorang yang berniat menjual Ana pada sindikat penjual belian manusia yang akan digunakan sebagai alat penghasil uang. Menjadi pengemis, pencopet bahkan ditawarkan pada laki-laki hidung belang lainnya.

"Haduh, bannya kempes lagi. Bentar ya, om cek ban dulu" ucap laki-laki yang mengaku mengenal Pak Adi, bapak tiri Ana.

"Iya, halo" ucap laki-laki itu mengangkat telponnya.

"Iya, ini udah gue bawa. Masih mulus tanpa cacat, masih prawan juga" ucap laki-laki itu lagi.

Ana mendengar percakapan itu, ia tak ingin melanjutkan mendengar percakapan selanjutnya, tanpa membuang waktu. Dirinya kumpulkan keberanian, dibukanya pintu mobil dengan sangat hati-hati. Dengan segala kekuatan yang ia punya, langkah demi langkah dirinya menjauh dari mobil. Namun, kepergiannya diketahui laki-laki itu. Sekuat tenaga Ana berlari menuju kerumunan, setidaknya kalaupun tidak ada yang membantunya, ia masih bisa bersembunyi dibanyaknya orang yang berkumpul. Lemas dan lelah, Ana berjalan menuju rumah dengan perut yang kelaparan, kemana lagi dirinya harus mencari uang sedangkan dirinya saja masih duduk dibangku SMP. Sudah terlihat jelas raut wajah kelaparan Alma jika Ana sampai dirumah, dikantongnya hanya tersisa dua ribu rupiah, dibelikannya sebungkus nasi dengan lauk tempe dan tahu. Namun, ibu penjual nasi yang merasa kasihan dengan kedua kakak beradik ini pun memberikan tambahan lauk berupa sayur dan sepotong ayam goreng dengan menambahkan porsi nasi sehingga cukup dimakan mereka berdua.

"Ana.." sapa Bu Yuli mengagetkan Ana yang masih mengingat masa lalunya.

"Eh, iya. Dari mana bu?" tanya Ana basa-basi setelah sadar dari lamunannya.

"Ini, beli gula sama teh. Duluan ya, Na" ucap Bu Yuli berlalu meninggalkan Ana.

Bu Yuli, salah satu orang yang membantu Ana dengan memasukkannya ketempat kerja Bu Yuli di pabrik teh. Meski hanya menjadi menjadi buruh kantong teh, setidaknya Aana dapat mencukupi rasa lapar dia dan adiknya. Tidak hanya itu, Ana yang pintar menabung pun akhirnya bisa menjalankan usaha angkringan orang tuanya. Dengan gerobak yang hanya harus dibenahi rodanya, Ana tekadkan niat berjualan. Awalnya cukup sulit dan sepi, tak jarang makanan sisa angkringan yang banyak ia bagikan pada tetangga dan anak-anak dijalan dan sebagiannya dijadikan lauk makan esok hari. Namun, itulah marketing yang sesungguhnya. Beberapa tukang becak, tukang ojek bahkan anak-anak putus sekolah dipinggir jalan ikut merekomendasikan angkringan Ana sebagai tempat makan atau hanya jajan-jajan ringan dimalam hari. Tetangga yang merasakan makanan Ana cukup enak pun sering meminta Ana membuatkan beberapa porsi khusus untuk stok cemilan atau bahkan menjadi lauk makan malam dan sarapan esok hari. Rasa syukur dan terima kasih sering Ana ucapkan pada siapa saja yang mau membantunya. Ia juga tak lupa mengucapkan terima kasih pada dirinya sendiri yang sanggup menjalani hidup hingga saat ini.