Panas yang terik dengan sedikit hembusan angin, keringat selama seharian beraktivitas membuat tubuh Ana merasa lengket dan ingin segera pulang. Jadwal pulang yang sedikit terlambat membuat Ana ketinggalan bus yang biasa ia naiki untuk pulang, dirinya kini harus menunggu bus yang harusnya datang 15 menit lagi. Dengan pasrah Ana tunggu kedatangan bus itu sembari mengotak-atik hpnya yang sebenarnya tidak ada pesan masuk. Sedang asyik dengan hpnya, Ana malah dikejutkan dengan kedatangan Alma secara tiba-tiba dan sengaja mengagetkan dirinya.
"Dooorrr" seru Alma mengagetkan Ana dari belakang.
"Hih! Nggak lucu!" jawab Ana sembari mengatur nafas karena terlalu kaget dengan kedatangan adiknya.
"Maaf, maaf. Jangan marah sih, kan cuma becanda" kata Alma yang kemudian duduk disebelah Ana yang asyik bermain hp menunggu busway di halte depan sekolahnya.
Ana hanya diam tak menjawab permintaan maaf dari adiknya, dirinya masih merasa kaget dan sedikit marah dengan tingkah adiknya tadi. Sedangkan Alma masih terkekeh kecil sembari menahan tawa yang hampir membuat kakaknya bertambah emosi. Keduanya duduk dan menunggu bus yang seharusnya sampai saat itu juga,
"Udah dong kak marahnya" bujuk Alma.
"Kak, tau nggak. Kenapa pelangi datang setelah hujan?" tanya Alma tiba-tiba berusaha mencairkan suasana.
Belum sempat Ana menjawab, datanglah bus yang akan membawa mereka pulang. Ana teringat akan satu lain hal saat bus datang dan membuatnya beranjak dari tempat duduk tanpa menjawab pertanyaan adiknya lalu masuk kedalam bus bersama adiknya.
"Oh iya, kok kamu baru pulang?" tanya Ana teringat.
"Oh, iya. Tadi ada penyuluhan dari SMP Sentosa. Biasa, promosi gitu. Trus ada jam tambahan juga" jawab Alma.
"Oh, yaudah. Kirain main" kata Ana lagi.
Alma hanya menggeleng menunjukkan ketidak setujuannya dengan tebakan kakaknya.
Selang beberapa menit, keduanya turun dari bus dan melanjutkan jalan kaki menuju rumahnya. Alma dan Ana yang sibuk bergurau tidak memperhatikan rumah yang mereka tempati telah terbakar bagian belakangnya, Ana yang kemudian menyadari hal itupun hanya terdiam dan memandang kosong kearah rumahnya. Seorang tetangga yang menyadari kedatangan keduanya pun mencoba mendekat dan memberikan kabar sebenarnya kepada kedua kakak beradik itu.
"Ana, rumah kamu tadi kebakaran. Untung cuma belakangnya aja" beritahu Pak Pardi yang kemudian berjalan meninggalkan Ana dan Alma yang kini menyadari perkataan Pak Pardi.
Dengan sigapnya Alma berlari memasuki rumah dan menuju dapur yang terlihat gosong dari ruang tamu. Beberapa alat masak yang hangus dan kursi roda tergeletak tanpa pemilik. Ana yang tersadar dari lamunannya pun bergegas menyusul Alma yang terdengar menangis dari dapur.
"Bapak mana, kak?" tanya Alma menangis.
"Ini kursi roda bapak, huhuhuhuhu" kata Alma yang terus menangis sambil mengangkat kursi roda yang telah hangus terbakar.
Ana hanya terdiam bingung, dirinya tak tau apa yang akan dilakukannya. Rasa khawatir tentu bersarang dihatinya. Baru saja bapaknya tinggal dengan mereka, kejadian yang tidak bisa dibayangkan malah menghampiri mereka. Ana terduduk lemas sambil memandangi sekeliling serta adiknya yang menangis meratapi kursi roda bapaknya. Tanpa terasa, air mata Ana kini mengalir membasahi pipinya. Alma yang sedari tadi menangis tiba-tiba berhenti karena sebuah doa yang mereka panjatkan seakan terjawab dengan cepat. Seorang laki-laki berbadan tegap berjalan tertatih-tatih mengampiri mereka berdua, langkahnya pelan sembari terus dipapah.
"Nak, bapak nggak papa" sapa Pak Adi menghampiri kedua anaknya.
Keduanya langsung memeluk Pak Adi yang duduk dikursi makan dekan dapur. Perasaan lega dan bahagia bercampur aduk. Alma yang awalnya tidak mau memaafkan bapaknya malah menangis sejadi-jadinya karena perasaan bersalahnya.
"Udah, udah. Bapak nggak papa, Untung tadi ada Mas Ibam yang nolongin bapak dan bawa bapak kerumah sakit" jelas Pak Adi memeluk Alma yang tak berhenti menangis.
"Cup, cup, cup. Alma, bapak nggak papa, nak. Nih, badan bapak nggak papa kan?" jelas Pak Adi meyakinkan anaknya.
Ana yang melihat bapaknya baik-baik saja juga merasa tenang dan bersyukur, rupanya Tuhan masih mengijinkan keluarga merasa berkumpul bersama lagi. Perihal peralatan dapur yang gosong sudah tak dipusingkan Ana lagi, karena yang terpenting orang yang mereka cintai baik-baik saja. Dibalik itu semua, Ana dan Alma sama-sama menyadari hal yang dilihat mereka, yaitu bapak yang telah kembali berjalan dan berbicara tanpa terbata-bata. Rasa syukur yang tidak ada habisnya Ana ucapkan dalam hati, dirinya bukan tak ingin memeluk bapak tirinya. Namun Alma telah sepenuhnya menguasai dada bidang Pak Adi, Pak Adi yang melihat hal itu pun berusaha merangkul putri sulungnya dengan penuh kasih sayang dan raya syukur yang sebesar-besarnya. Inilah arti pelangi setelah hujan yang siang tadi Alma tanyakan pada Ana, setelah sakit yang teramat dalam dirasakan Alma karena kepergian ibu dan bapaknya, kini dengan sendirinya hati Alma yang tertutup kembali terbukan untuk bapaknya. Segala maaf dan pengorbanan yang bapaknya tunjukan memang tak cukup menutup rasa sakit yang dirasakan Alma, namun hal itu cukup menjadi plaster yang menutup lukanya agar tak kembali menganga dan terasa sakit bisa tersentuh.