Ana tersadar dari tidur panjangnya, matanya tak bisa lagi menahan bendungan sungai yang hampir tumpah dikelopak matanya. Tangisnya terisak saat dirinya sadar bahwa dia sudah berada dirumah sakit dan merelakan sahabatnya pergi tanpa ucapan perpisahan yang jelas. Ana bukan lagi hebat menutupi rasa sakit, keahlian lain yang dimiliki Ana ialah menangis tanpa mengeluarkan suara dengan rasa sakit yang berkali-kali lipat. Beberapa kali suaranya terdengar mengernyit diujung tangisnya, namun segala sesal dan permintaan maaf tak lagi terucap dari bibirnya kepada sahabatnya. Dengan air mata yang terus mengalir, tangannya yang selalu bergetar tak menyurutkan niatnya untuk terus menghubungi Raina yang hanya membuatnya tak berhenti terisak. Matanya yang samar akibat air mata melihat seseorang memasuki ruangannya dengan berpakaian putih layaknya seorang perawat, dengan sigap dirinya mencoba menghapus air mata dan bertingkah seolah dirinya tidak sedang menangis dan baik-baik saja hingga ketika dirinya mendengar suara yang membuat tangisnya pecah dan dirinya menangis sejadi-jadinya.
"Kamu udah bangun, Ana?" tanya Raina melangkah memasuki ruangan.
Ana yang terkejut hanya menangis, dirinya tak dapat lagi mengutarakan kosakata yang sudah bercampur dikepalanya. Tangisnya semakin membuncah sembari memeluk Raina yang kini tepat berada didepannya.
"Nggak papa, Ana. Nangis aja kalo ini bisa buat kamu tenang, nggak papa" kata Raina sambil memeluk Ana dan tangannya sedikit menepuk punggung Ana.
Beberapa kali tangisnya berhenti dan kembali lagi saat memandang wajah sahabatnya yang tidak jadi meninggalkan dirinya.
Setelah hampir 30 menit berlalu, mata Ana juga sudah membengkak dan hanya tersisa sesenggukan yang membuatnya susah berbicara kepada Raina. Raina yang tau maksud Ana hanya memperhatikan wajah Ana sambil sesekali menghapus air mata Ana yang tidak sengaja jatuh dipipinya. Dengan sendu Ana balik menatap sahabatnya, dirinya berpikir keras mengenai alasan Raina yang akan pergi meninggalkan dirinya tanpa berpamitan.
"Ana, ini yang buat aku susah pamitan sama kamu. Aku yakin pasti kamu bakalan kaya gini, aku nggak mau kamu terus-terusan sedih karena kepergianku" kata Raina mencoba membuka percakapan.
"Ya makanya nggak usah pergi" jawab Ana yang diselingi sesenggukan.
"Aku juga nggak mau pergi, An. Tapi siapa yang bakal ngerawat adekku disana?" jawab Raina penuh kelembutan.
"Emang kamu mau kemana? Adek mu siapa? Yang kembar? Mereka dimana? Kenapa nggak mereka aja yang kesini?" tanya Ana berulang kali.
"Raka dan Rana harus dirawat di Singapura karena disana fasilitasnya lengkap, ada dokter yang bisa bantu Raka dan Rana cepet sembuh dan bisa kumpul lagi disini. Aku janji, kalo mereka udah sembuh pasti aku kembali kesini lagi, pastinya bareng Raka dan Rana" jelas Raina memberi pengertian.
"Kamu lama disana?" tanya Ana lagi.
"Kata dokternya, paling cepet 3 tahun dan paling lama bisa sampe 10 atau 12 tahun" jawab Raina dengan agak tidak yakin.
Ana yang mendengar kalimat itu pun kembali mengucurkan air matanya, Raina yang kebingungan hanya bisa memeluk Ana dengan maksud menenangkannya.
"Tapi kan kita masih bisa komunikasi, An" kata Raina.
"Komunikasi pake apa? Hp mu aja nggak bisa dihubungi dari kemarin-kemarin" jawab Ana dengan wajah kesal.
"Aku lupa kabarin kamu kalo hp aku rusak gara-gara keinjek aku. Ini aku ganti hp, sini hp kamu. Biar aku masukin nomor aku" kata Raina sambil memungut hp Ana yang tergeletak diatas meja samping ranjang rumah sakit.
"Udah, nggak usah nangis lagi. Malu ih, udah bangkotan masih mewek mulu. Udah yuk, kita makan. Aku laper banget, Ana" ajak Raina berusaha mencairkan suasana.
"Dih, ingusnya kemana-mana" ledek Raina yang memperhatikan Ana dari ujung kaki hingga ujung kepalanya.
"Hih, apaan sih. Yaudah, ayo. Katanya mau makan, bayarin" ucap Ana sembari menghapus air mata dan sedikit merapikan pakaian yang kembali mongering dibadannya.
Mereka memutuskan pergi ke lounge, karena disana mereka dapat menemukan beberapa kakanan yang tidak membosankan. Beberpaa makanan yang belum Ana makan sebelumnya juga membuat perut Ana keroncongan, beberapa piring Ana ambil agar dapat mencicipi keseluruhan makanan yang dapat dinikmatinya.
Mereka menikmati makanan yang mereka ambil dipiring masing-masing meskipun sesekali berbagi makanan hanya untuk bertukar selera satu sama lain. Perbincangan yang hangat serta permintaan maaf terucap dari keduanya, Raina yang merasa bersalah karena tidak berpamitan dengan Ana dan Ana yang merasa belum jadi sahabat yang baik untuk Raina. Perbincangan yang hanya menautkan keduanya hingga terbersit kalimat mangingat seseorang yang sama-sama mereka kenal.
"Gaska juga keluar dari sekolah" kata Ana yang membuat Raina tersedak oleh minumannya.
"Apa? Kok bisa?" tanya Raina penasaram.
"Aku ngga tau, kirain kamu tau. Ra" jawab Ana yang balik bertanya pada Raina.
"Aku juga nggak tau, kita nggak sedeket itu sampe bisa berbagi cerita atau masalah masing-masing" kata Raina menjelaskan.
"Yaudahlah lupain aja, malah mending gini. Aku jadi bisa lupain Gaska" kata Ana sambil tersenyum memaksa.
"Boleh aku tau masalah kamu sama Gaska? Kenapa sampe kamu harus sebenci itu sama Gaska?" tanya Raina penasaran.
"Bukan aku nggak mau kasih tau, karena emang nggak ada masalah apa-apa, Rain. Aku cuma sadar diri aja, aku siapa dan Gaska siapa? Udah, itu aja" jawab Ana menutupi masalahnya didepan Raina.
"Oke, mungkin bukan sekarang aku tau masalah itu. Tapi tolong ya, Ana. Kalo masalah itu udah terlalu berat buat kamu, aku selalu mau jadi pendengar cerita mu kok" jelas Raina mencoba menghargai privasi antara dirinya dan Ana
Sedang asiknya berbincang, pemberitahuan keberangkatan pesawat yang dinaiki Raina sudah terdengar. Rupanya Raina datang 2 jam lebih awal ke bandara karena dirinya merubah rencananya untuk berpamitan dengan Ana terlebih dahulu, namun dirinya malah dikejutkan oleh kedatangan Ana yang basah kuyup dan jatuh pingsan didepannya.
"Ana, aku harus pergi. Sebentar lagi pesawatnya bakal berangkat, aku memang bukan sahabat yang baik buat kamu. Tapi, aku bakal selalu berusaha jadi sahabat yang ada dan melindungi kamu dimanapun aku berada. Simpen ini ya, jangan sampe badan mu basah karena hujan. Aku cuma punya ini buat kamu, karena aku pikir, aku perlu barang yang bisa ingetin kamu tentang keberadaanku sebagai sahabatmu" jelas Raina yang kini mulai meneteskan air mata.
Ana yang melihat sahabatnya menangis akhirnya kembali meneteskan air mata. Mereka saling berpelukan untuk mengucapkan salam perpisahan diantara keduanya. Raina yang telah memberikan sebuah gantungan kunci yang langsung dipasang dibackpack Ana mencoba berdiri dan meninggalkan Ana yang ikut beranjak dari tempat duduknya.
"Aku pergi, An. Jaga diri baik-baik ya" ucap Raina berjalan meninggalkan Ana.
"Iya, hati-hati ya. Kamu juga jaga diri baik-baik disana, sampai jumpa lagi ya" ucap Ana yang masih meneteskan air matanya.
Tangis keduanya pecah saat keduanya saling memunggungi satu sama lain, Raina berjalan minggalkan Ana dan Ana berjalan merelakan kepergian Raina. Keduanya sama-sama pintar menutup mulut agar tangisnya tak terdengar oleh siapapun. Semuanya berpisah dengan tangis yang membanjiri pipi masing-masing. Kini tak ada lagi yang akan membantu Ana ketika kewalahan melayani pembeli di angkringan, tak ada pula Raina yang selalu mengeluh ketika mendapat tugas dari guru mapel masing-masing. Keduanya menyimpan kenangan indah yang dapat mereka lukis lagi pada kanvas kosong lembaran selanjutnya.
Aku pernah denger quote gini "sahabat bukan ditentukan dengan seberapa lama kita berteman, bukan juga tentang kita yang sering bermain bersama dan menghabiskan waktu bersama. Tapi ketika kita bertemu dan saling tau masalah masing-masing tanpa kita menjelaskan masalah itu sendiri, bagaimana kita dapat menjadi nyaman dan aman ketika saling melengkapi" seperti Raina dan Ana yang akan terus bersahabat dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun keadaannya ~
Jangan lupa bahagia :)