webnovel

8. Kebetulan

"Nah kan, nah kan! Ini nih yang kemarin nyangkal nggak pulang bareng." Ryan meledek dari pintu minimarket. Menangkap basah kedua remaja berjalan beriringan.

Reygan mengernyit dalam. Berapa umut lelaki dewasa ini? Hampir kepala tiga, kan? Kelakukannya bahkan lebih kekanakan dari Aneska. Bahkan mereka di level yang sama. Reygan curiga mereka lebih dari teman.

"Sana, Nes. jauh-jauh." Reygan mendorong bahu Aneska di sampingnya. Aneska bisa masuk ke selokan kalau refleknya tidak bagus.

Hujan turun seketika. Aneska belum sempat marah-marah. Dia segera berlari ke minimarket. Berteduh di kanopi yang terpasang di halaman, Reygan juga terpaksa mampir di sana.

Ryan keluar membawa tiga kaleng soda. Menyusul duduk di salah satu bangku di sana.

Meletakkan soda itu di meja. "Kabar Maya gimana, Nes?"

"Baik." Aneska meraih soda miliknya dan menggumam terimakasih.

Ryan menggaruk dahinya. Ingin bertanya langusng namun gengsi. Aneska menyadari ekspresi itu.

"Mas Ryan cukup baik-baikin adeknya aja." Aneska meletakkan kedua jarinya di bawah dagu dan berkedip. Reygan yang melihatnya bergidik.

Ryan hanya tertawa. Lalu beralih ke Reygan, dia jadi ingat sesuatu. "Mamamu tadi udah pulang, Rey. Mampir minimarket sebentar."

"Sendiri kan, Bang?"

Ryan mencoba mengingat. "Berdua. Tapi aku nggak lihat sama siapa."

Reygan menatap kaleng soda di tangannya. Ryan berlari masuk, ada orang yang hendak membayar.

Aneska melihat keterdiaman Reygan. Menebak apa yang dipikirkan lelaki itu. Sonia atau mamanya?

Bicara soal Sonia, dia jadi ingat dengan tempo hari. Ketika dia diajak makan siang oleh Tante Diana. Lalu bertemu dengan Om Danu.

Aneska ragu ingin bicara hal ini dengan Reygan. Dia tahu lelaki itu lebih dekat dengan Sonia ketimbang dirinya. Seharusnya Reygan sudah tahu.

"Terpesona sama gue?" Reygan tahu-tahu menoleh. Melebarkan sudut bibirnya hingga kedua matanya menyipit. Lalu ketika senyumnya perlahan hilang, dia melihat kedua mata itu tersenyum.

Jadi senyum ini yang membuat para gadis di sekolah memuja Reygan?

Tapi tidak berlaku bagi Aneska. Dia sudah membuang hal itu jauh-jauh. Dia tidak mau menjadi korban Reygan yang ke sekian.

Tidak akan dia biarkan Reygan masuk hidupnya. Apalagi meninggalkan kenangan yang buruk.

Reygan juga merasakan hal itu. Segala sikap defensif yang coba Aneska tunjukkan jika bersama dirinya. Mungkin bagi gadis itu, Reygan adalah virus yang harus dijauhi.

Aneska memalingkan wajahnya. Enggan ditatap seperti itu oleh Reygan.

"Sonia cerita kalau di kelas dia nggak punya teman," katanya tiba-tiba menyomot topik soal Sonia.

"Sebagian dari kita nggak ada maksud buat ngucilin dia. Serius. Tapi mungkin Sonia merasa kita memandang dia sebelah mata."

"Tapi itu kan yang kalian lakukan?" potong Reygan.

"Sama sekali nggak. Gue anggap dia sama kayak yang lain. Tapi berhubung Sonia sendiri yang memilih menjauh, ambil jarak, jadi kesannya kami yang jahat." Aneska meluruskan.

Reygan mencoba mencari kejujuran di mata gadis itu. Dia menemukannya. "Alasan lo nggak jauhin dia?"

"Perlu alasan?"

Reygan memperbaiki posisi duduknya, mencari nyaman. Sepertinya hujan akan lama turun. "Dia bilang cuma lo yang masih anggap dia di kelas."

"Gue nggak masalah sama hidup dia. Itu urusan orangtua dia. Sonia ya Sonia. Bukan kesalahan orangtua dia terus dibebankan ke Sonia. Itu nggak adil."

Kehidupan Sonia sudah menjadi rahasia umum di sekolah. Bagaimana kehidupan kedua orangtuanya. Bagaimana Sonia yang paginya muncul di sekolah dengan luka lebam di wajah. Bagaimana Sonia yang menarik diri dari pergaulan di sekolah. Dunia Sonia yang mendadak jungkir balik.

"Sonia orang yang positif. Itu kesan pertama gue pas kenal dia. Lalu naik ke kelas dua, dia mulai menyendiri. Kita belum tahu apa-apa. Kelas tiga, kita tahu alasan di balik perubahan dia."

Reygan menatap gadis di depannya dengan berbeda. "Gue kenal Sonia tiga bulan lalu. Nggak sengaja lihat dia nangis di belakang sekolah."

"Itu alasan kalian bisa dekat?"

"Orang nyangka kita dekat karena saling suka."

"Soal Sonia ngerokok?"

"Gue kecolongan." Reygan menjawab jujur. Dia sama terkejutnya dengan fakta itu.

"Kenapa nggak pacaran aja?" celetuknya.

"Pacaran?" Reygan tertawa pelan. "Nggak kepikiran."

"Iya sih, Yang suka lo banyak. Nggak perlu pacaran juga."

"Pacaran itu repot. Lo harus kasih kabar ke pacar. Dicariin. Diteleponin. Dismsin. Ganggu."

Aneska jadi heran. Siapa orang pertama yang bilang Reygan playboy hingga semua orang beranggapan hal yang sama? Didukung oleh beberapa murid perempuan yang hadir di sekelilingnya. Kalau orangnya sendiri justru menganggap sebuah hubungan itu sendiri sebagai hal yang merepotkan.

"Ya tapi kan kalau punya pacar itu, hidup lo jadi berwarna. Nggak monoton. Ada masalah setidaknya."

"Lo sendiri punya pacar?"

Aneska terdiam telak. Kalimat Reygan langsung menohoknya.

"Suka sama Bang Ryan?" tanyanya sambil melirik ke dinding kaca. "Orangnya suka sama Kakak lo, tuh."

Rasanya Aneska ingin menyumpal mulut Reygan dengan kaleng bekas miliknya.

****

"Masih ingat sama Reygan, Ma?" Aneska sudah memastikan kalau rumah sepi tidak ada Papa, Mas Kinan, dan Mbak Maya.

Kalau ada kedua kakaknya, dia pasti akan diejek habis-habisan.

Mama yang sedang mencuci cumi-cumi menoleh. "Reygan siapa?"

"Anaknya Tante Diana. Katanya dulu aku sama Reygan temenan. Tapi kok aku lupa, ya?"

"Diana..." Mama berusaha mengingat. Nama itu tidak asing di telinganya. "Ciri-cirinya?"

"Cantik banget, Ma. Ibu-ibu muda gitu."

"Nanti deh kalau Mama ingat Mama bilang ke kamu."

"Kinan!" Suara Papa terdengar di ruang depan. Memanggil anak sulungnya.

Aneska berlari ke depan. "Mas Kinan belum pulang, Pa. Kenapa?"

"Itu mobil Papa mogok. Kalau Kinan bisa benerin, Papa nggak panggil tukang bengkel. Untung ada yang bantu dorong ke sini. Kamu ambilkan minum, Nes. Bawa ke teras." Papa melangkah keluar lagi.

Selang beberapa menit, Aneska muncul di teras membawa nampan di tangan. Berisi air putih dingin dan brownis buatan Mama. Niat Aneska hanya meletakkan nampan di meja dan kembali ke dapur membantu Mama. Tapi dia penasaran Papa mengobrol dengan siapa. Jadilah dia mendekat ke halaman, tempat mobil Papa yang mogok terparkir.

"Aku coba benerin dulu ya, Om. Nggak apa-apa?"

Papa menjawab antusias. "Oh, nggak apa-apa. Kamu nggak buru-buru pulang, kan?"

Di balik kap mobil yang terbuka, muncul wajah Reygan. Aneska sedikit kaget. Niatnya untuk mendekat jadi urung.

Tapi Reygan sudah melihatnya. Pura-pura tidak lihat tidak dosa, kan? Dia sudah berbalik, hendak kabur.

"Anes?"

"Kamu kenal Anes?" Papa bertanya.

"Aku bantuin Mama masak dulu, Pa. Itu minuman aku taruh di meja teras." Aneska sungguhan kabur dari sana.

"Siapa, Nes?"

"Hah?"

"Itu orang di depan siapa? Suara Papa sampai kedengaran dari sini. Ngobrolin apa mereka?"

"Reygan." Aneska kelepasan.

"Oh, ya?" Mama menggodanya.

"Tahulah, ngobrolin apa. Mobil kayaknya." Aneska mengaduk tumis cumi ketika Mama membuat bumbu tempe.

"Mama jadi penasaran anaknya kayak gimana. Nanti ajak makan malam, Nes. Ini juga udah mau maghrib."

Apalah daya Aneska yang tidak bisa melawan titah Mama.