webnovel

7. Impian Rani

"Mbaknya juga sayang, kan?" Pertanyaan beralih ke Aneska.

"Di depan ada tiang listrik?" tanyanya ketus.

"Banyak, Mbak. Kenapa?"

"Tabrakin satu. Pilih yang gede, Mas."

Sang sopir terdiam telak, tidak berani menggoda lagi. Memilih fokus ke jalanan di depan.

Reygan justru terkekeh. Sambil melirik gadis di sampingnya yang bersidekap tangan. Bahasa tubuh yang menandakan dia marah. Juga ekspresi sebal di wajahnya.

Dia tidak menyangka jika membuat Aneska marah akan semenyenangkan ini.

Bu Ida sudah menunggu di depan gerbang. Seolah tahu jika 'murid kesayangannya' datang terlambat pagi ini. Reygan merasa tersanjung.

Tapi tidak dengan Aneska. Dari sekian banyak guru di sekolah in, dia enggan mencari masalah dengan Bu Ida. Kalau bisa menghindari sebisa mungkin. Bukan malah menyemplungkan diri seperti ini.

Semua gara-gara makhluk menyebalkan di sebelahnya!

"Ibu bingung mau hukum kamu apalagi, Rey." Bu Ida bahkanmengeluh, menggelengkan kepalanya tidak habsi pikir. Dia bosan harus bertemu Reygan lagi. Lebih lagi, dia pusing harus memikirkan hukuman untuk anak itu.

"Samain aja kayak Anes, Bu."

Aneska mengeluh dalam hati. Sekaligus mengutuk Reygan jadi monyet. Tentu saja kutukan yang sia-sia. Reygan masih berwujud manusia yang menyebalkan.

"Kalian masuk kelas dulu. Menghadap ke Ibu pas jam istirahat. Ibu akan carikan hukuman yang cocok buat kalian." Bu Ida berlalu ke kantor.

Gerbang dibuka oleh Pak Dodo, Aneska segera melesat ke kelasnya. Berbeda dengan Reygan yang berjalan santai di belakangnya.

Di anak tangga Reyga berpapasan dengan seorang murid perempuan yang membawa bertumpuk-tumpuk buku dari perpustakaan.

"Mau dibantuin?" Nada bicaranya biasa, tidak untuk menggoda. Murid itu terlihat cantik, tapi Reygan niat membantu.

"Eh, nggak usah. Kelasku cuma di situ." Tunjuknya dengan dagu.

Kelas X-3

"Di kelasmu nggak ada anak cowok apa?" Reygan mengambil seluruh buku dari tagan gadis itu. Dia menuju kelas yang dimaksud.

Tanpa bicara apa-apa, Reygan meletakkan tumpukan buku di meja dekat pintu. Lalu pergi tanpa sempat gadis itu bilang terimakasih.

****

Kantin siang itu penuh sesak. Cuaca memang sedang mendukung untuk mencari pengganjal perut di kantin. Sampai setiap bangkunya penuh. Kalau saja lantainya masih luas, mungkin terpaksa akan digelar tikar.

Aneska sedang mneikmati bakso super pedasnya dengan khidmat. Selama pelajaran, dia sudah memimpikannya. Dan terwujud. Kenikmatan hakiki.

Kenikmatan hakiki itu lenyap hanya dengan sekali tepukan di bahunya. Dia menoleh pelan. Mendapati reygan berdiri di sebelahnya.

"Enak ya makan bakso. Lo lupa harus ketemu Bu Ida?"

"Kena masalah apa lo?" Rani bertanya.

"Telat tadi pagi."

Rani hanya ber-oh pelan dan melanjutkan makannya.

Dengan berat hati, Aneska meninggalkan bangkunya dan semangkuk bakso yang baru berkurang lima sendok.

Tapi baru sampai di depan ruangan Bu Ida, langkah mereka terhenti begitu melihat siapa yang baru saja keluar dari sana.

"Kamu kena masalah, Son?" Reygan menatap cemas. Dia sudah bisa menebak. Karea semua yang berurusan dengan Bu Ida, pasti telah membuat sesuatu yang melanggar aturan sekolah.

"Kamu ditunggu Bu Ida."

Reygan mencekal lengannya. "Ada masalah?"

"Aku nggak apa-apa, Rey." Sonia mengalihkan. "Hai, Nes. Kamu telat juga tadi?"

Aneska hanya mengangguk. Dia sibuk memikirkan perannya dalam cerita ini. Mungkin hanya figuran yang dijadikan objek kejailan Reygan. Fakta itu mendekati bukan? Dan sekarang dia harus menyaksikan drama khas anak muda.

"Nggak apa-apa gimana? Terus kamu ngapain ketemu Bu Ida?" Reygan belum menyerah.

Aneska menatap keduanya secara bergantian. Bisakah dia menghentikan drama di depannya?

"Jawab, Sonia!"

Sonia terkejut. Aneska juga membelalak kaget.

"Kita ke sini mau ketemu Bu Ida, Reygan. Jangan drama begini deh." Aneska mencoba peruntungan.

Yang diabaikan oleh Reygan. Nyatanya lelaki itu masih mencekal lengan Sonia, yang sepertinya tidak akan dilepas sebelum Sonia menjawa pertanyaannya.

Aneska menggaruk hidunya dengan sebal. "Kalau nggak mau jawab, jangan dipaksa!"

"Bukan urusan lo!" bentaknya. Kesempatan itu digunakan Sonia untuk melepaskan diri dan kabur.

"Posesif banget lo! Kabur kan dia."

Reygan membuka pintu dengan kesal. Pertanyaannya belum dijawab Sonia. Apa pun yang terjadi dengan Sonia, apa pun itu membuatnya cemas.

"Kalian kenapa ribut-ribut di depan ruangan Ibu?"

"Ini nih, Bu. Reygan yang bikin drama dadakan di depan." Aneska mengadu.

"Sonia kenapa, Bu?"

"Ngerokok. Kamu yang ajarin, kan?" Bu Ida terlihat serius. Aneska yang baru duduk di kursi depan mejanya mendadak kaku.

Reygan pias sendiri. Sonia merokok?

"Iya nih, Bu. Pasti Reygan yang ngajarin." Aneska memanasi.

Reygan tidak peduli anggapan Aneska akan dirinya. juga tatapan curiga milik Bu Ida. Kalimat selanjutnya membuat Reygan tercekat. "Ibu menemukan sebungkus rokok di tasnya. Ada saksi juga yang melihat dia merokok di atap gedung."

Sejak tahu permasalahan Sonia, dia berusaha menjaga gadis itu. Dari apa pun yang bisa merusak masa depannya.

Akhirnya, Reygan hanya terduduk lesu di depan Bu Ida. Pikirannya tertuju pada Sonia. Bukan pada nasihat Bu Ida yang mewanti-wanti banyak hal. Melarang ini-itu. Bilang kalau masa depan kalian masih panjang. Dan sebagainya. Hanya Aneska yang mengangguk, menyimak dan mendengarkan.

"Ibu belum kepikiran hukuman buat kalian. Besok saja. Hari ini sepertinya akan hujan. Ibu tadinya ingin kalian menyapu lapangan."

Aneska sudah bersorak senang di dalam hati. Reygan biasa saja. Lalu mereka berpamitan ketika bel masuk berbunyi.

Karena kelas Reygan melewati kelas Aneska, jadi dia berhenti lama di sana. Bukan ingin memastikan Aneska masuk ke dalam kelas dan duduk tenang. Tapi dia menyapukan pandangan dan berhenti di bangku Sonia. Gadis itu menatap sendu keluar jendela.

Aneska yang sudah duduk, menatap heran Reygan yang masih berdiri di depan kelasnya. Tapi dia tahu tatapan lelaki itu mengarah ke siapa.

"Gue yakin mereka lebih dari teman." Rani rupanya juga heran melihat Reygan.

"Bener, kan? Gue mikirnya juga gitu. Apa sih namanya kalau laki-laki sama perempuan dekat, tapi cuma sahabatan? Naif namanya." Aneska dengan percaya diri, langsung menyimpulkan.

Rani bergeser lebih dekat ke Aneska dan berbisik. "Tadi Sonia dipanggil ke ruangan Bu Ida. Kata anak-anak, dia ketahuan ngerokok."

Aneska balas berbisik. "Reygan kali yang ngajarin dia ngerokok."

"Hah? Reygan?" Rani berjengit, nyaris kelepasan kalau Aneska tidak melotot. "Setahu gue di antara sahabatnya, dia yang nggak pernah nyentuh rokok."

"Nggak mungkin."

"Yee, ngeyel dibilangin." Rani kembali ke posisi semula.

Aneska menatap ke pintu. Reygan sudah menghilang dari sana.

"Anak berandal macam dia nggak ngerokok?" Aneska masih belum percaya/

"Mau taruhan, Nes?"

"Siapa takut!"

"Yang kalah cium pipi Reygan, ya."

"Bilang aja itu impian lo, kan?" sungutnya.

"Lo takut kan, Nes?" Rani mengejeknya.

"Taruhan yang sehat dong, Ran. Itu namanya lo ngorbanin temen."

"Cuma pipi, Nes. Nggak akan ngaruh banyak," yakinnya.

"Nggak jadi aja. Taruhan itu dosa."

Tapi Rani tidak mau mendengarkan. "Gue punya impian akhir-akhir ini. Baru kepikiran aja. Tapi agak gila, sih."

"Tumben lo punya impian?"

"Yang kali ini mungkin gila. Tapi mungkin jadi kenyataan."

"Apa?" Aneska menoleh.

"Impian gue sederhana. Lo sama Reygan akur. Udah."

"Terus?"

Rani mendengus sebal. "Akur gitu. Kalau bisa nanti berjodoh."

Aneska menyesal sudah meladeni impian gila Rani.

****

Next chapter