webnovel

TERDUGA

"Di luar ada polisi yang mencari Bapak," kata Mbok Jum memberi tahu.

Mas Reyfan dan aku saling berpandangan, dan aku yakin aku tak salah lihat kalau wajah suamiku saat ini berubah pucat.

Tak berapa lama kemudian kami bertiga menuruni tangga menuju lantai bawah berurutan dengan saling membisu. Kami seperti larut dalam pikiran masing-masing.

Dan saat sampai di ruang tamu, aku melihatnya. Daniel, si manusia tanpa senyum itu, sedang berdiri di sana berbicara dengan tiga orang berseragam polisi lengkap. Sementara dia sendiri, masih mengenakan blue jeans dan atasan kaosnya yang sore tadi dia kenakan, hanya saja telah terbungkus rapat dengan jaket warna hitam.

"Selamat Malam, Pak Reyfan. Saya Daniel Devanno dari Polresta. Kakak Anda, ibu Tantri Kusuma, beberapa saat yang lalu telah tertangkap tangan tengah melakukan kagiatan prostitusi. Dan anda diduga terlibat dalam kasus ini. Untuk itu, Anda harus ikut dengan kami untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di kantor."

Wajah Mas Reyfan nampak semakin pucat, sekilas kulihat tadi kakinya seperti refleks akan melangkah, tapi dua orang berseragam polisi yang bersama Daniel dengan sigap menahannya. Seolah tahu akan kepanikan suamiku, Daniel pun segera menjelaskan.

"Ini hanya pemeriksaan, Pak. Jika dalam waktu 24 jam tidak ada bukti bahwa Anda bersalah, Anda diperbolehkan kembali ke rumah," kata Daniel lagi.

Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir suamiku, namun matanya seperti menatapku penuh curiga. Entah apa aku yang terlalu perasa atau memang seperti itu yang dia pikirkan saat ini.

Daniel, yang berdiri tak jauh dariku tiba-tiba mendekat ke arahku dan menyodorkan sebuah surat padaku.

"Kami akan mengadakan pemeriksaan di rumah ini untuk menemukan bukti lebih lanjut. Ini surat tugas penggeledahannya, Bu," katanya padaku. Kurasa dia sedikit menyunggingkan senyum saat menatapku dan menyerahkan surat penggeledahan itu, tapi aku tidak terlalu yakin. Mungkin aku salah lihat.

Sebelum sempat kubaca surat itu, dia sudah memberikan kode pada dua anak buahnya untuk bergerak. Aku mendadak panik saat dua polisi yang ditugaskan menggeledah itu berjalan cepat menuju tangga rumah kami. Dengan refleks kakiku langsung melangkah maju bermaksud ikut naik ke lantai atas juga.

Tapi baru dua pijakan aku melangkah, tiba-tiba Daniel menangkap pergelangan tanganku, menarikku untuk berhenti.

"Anda mau kemana? Tidak ada yang boleh meninggalkan ruang ini sebelum penggeledahan selesai ... Bu," ucapnya dengan nada dingin, dengan menekankan pada kata 'Bu'. Sontak aku menatap wajahnya.

"Anak saya sedang tidur di atas sendirian, Pak. Saya takut dia terbangun dan kaget," jelasku setengah meminta, berharap dia bisa mengerti.

"Oke, silahkan." Dia memberikan kode dengan tangannya untukku melangkah. Segera saja kutinggalkan ruang tamuku dengan setengah berlari, meninggalkan Mas Reyfan yang sedang diawasi oleh seorang petugas polisi dan Mbok Jum yang berdiri takut-takut di dekat sofa.

Aku menghentikan langkahku di tengah tangga saat kusadari seperti ada yang mengikutiku di belakang. Aku menoleh, dan terkejut ketika melihatnya berdiri sangat dekat dengan tempatku. Ternyata si Daniel itu sedang mengikutiku naik ke lantai atas.

"Bapak mau kemana?" tanyaku.

"Tugas saya memastikan tidak ada barang yang disembunyikan di rumah ini yang akan menghambat proses pemeriksaan, Bu," jawabnya santai. Dahiku mengernyit mendengar itu. Apa dia mencurigaiku? Bagaimana mungkin dia bisa berpikir seperti itu? Bukankah aku yang melapor padanya? Dasar gila! Umpatku dalam hati.

Merasa sedikit aneh, aku memutar bola mataku ke arahnya. Dan dia membalasnya dengan tatapan mata tajamnya, mendelik ke arahku. Kenapa pria ini begitu menjengkelkan? Dengusku sebal.

"Oke, baiklah," kataku akhirnya. Tak kuhiraukan lagi dia yang terus saja mengikuti langkahku menuju kamar anak semata wayangku. Saat sampai di depan kamar Keenan, aku segera membuka pintu kamar yang memang tak pernah kami tutup rapat itu.

Perasaanku menjadi lega karena melihat pangeranku itu masih tertidur lelap. Tak terganggu dengan berisik dari luar kamar. Perlahan ku mendekat ke ranjang pendek tempatnya tidur. Berlutut di samping tempat tidur itu dan membenarkan letak selimutnya yang sedikit melorot.

Beruntung kedua petugas itu belum sampai ke kamar Keenan. Tak tahu bagaimana jadinya jika saja dia terbangun dalam keadaan kaget. Pasti akan sangat susah untuk menenangkannya.

Tak ingin membangunkannya, aku menggeser dudukku bersimpuh ke bagian atas ranjang. Lalu mengusap-usapkan tanganku ke kepalanya. Menjaganya agar dia tetap merasa nyaman walaupun terdengar suara-suara berisik dari luar.

Saat kudengar ada langkah kaki bersepatu yang mendekati kamar, aku segera menoleh ke arah pintu. Dan betapa terkejutnya aku mendapati pria itu ternyata sedang berdiri di ambang pintu sambil memandangi tempatku bersimpuh di dekat anakku. Apa yang dia lakukan disana dari tadi? Batinku.

"Kamar ini juga diperiksa, Ndan?" Lalu seorang anak buahnya datang untuk bertanya. Dia menggeleng pelan.

"Tidak perlu, periksa yang lainnya saja," jawab Daniel. Lalu segera saja petugas polisi itu berlalu meninggalkannya.

Dengan masih tetap menatapku, Daniel bergerak ke dalam, melangkahkan kakinya dengan pelan, sepertinya tidak ingin menimbulkan suara. Perlahan dia mulai mendekati barang-barang di kamar Keenan satu per satu, memeriksanya dengan teliti tanpa bersuara.

Aku yang melihat tingkahnya seperti itu sedikit tersinggung. Segera aku bangkit dari posisiku bersimpuh di samping anakku dan mendekatinya.

"Apa yang anda lakukan?" tanyaku setengah berbisik saat sampai di dekatnya. Dia menoleh, memicingkan matanya padaku. Sepertinya keheranan karena tiba-tiba aku sudah berada di dekatnya.

Tanpa menghiraukan pertanyaanku, dia terus saja melanjutkan aktifitasnya memeriksa benda-benda di kamar Keenan.

"Pak Daniel, anda mencurigai saya?" tanyaku lagi tetap dengan berbisik.

"Jangan mempersulit pemeriksaan! Lanjutkan saja pekerjaanmu tadi!" katanya berbisik pula, tapi dengan nada memerintah. Dan itu terdengar sangat seram di telingaku. Karena dia tidak lagi memakai kata 'Anda' atau 'Ibu'. Dengan nyali ciut aku kembali ke tempatku semula. Hingga saat dia sudah menyelesaikan tugasnya, pria itu kembali lagi berdiri di ambang pintu dan menatapku dengan sangat intens tanpa berkedip.

Aku yang bingung dengan semua tingkahnya itu hanya balas memandangnya sesekali dengan sedikit gugup sambil terus memberi kenyamanan pada Keenan yang masih tertidur pulas.

Satu setengah jam kemudian akhirnya semua selesai. Mereka membawa ponsel, laptop dan beberapa flasdisk yang ditemukan di meja kerja Mas Reyfan. Dan dadaku mendadak sesak ketika para petugas kepolisian itu pergi dengan membawa Mas Reyfan bersama mereka.

Perasaanku semakin tak enak ketika beberapa tetangga mulai berdatangan ke halaman rumah kami. Tiba-tiba kepalaku menjadi sakit karena harus menjawab pertanyaan orang-orang yang tengah penasaran itu.

Saat ketua RT berhasil membuat warga kembali ke rumah mereka masing-masing, aku dan Mbok Jum sedikit bisa bernafas lega. Lalu kemudian kami berdua berjalan gontai beriringan memasuki rumah.

Sampai di kamar tengah, segera saja ku meringsek ke sudut sofa. Rasanya sangat lelah sekali badan ini setelah tersadar jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Sementara Mbok Jum segera naik ke atas memeriksa Keenan.

Beberapa menit kemudian, kantuk yang tiba-tiba menyerang membuatku ketiduran di sofa empukku. Aku tersentak kaget saat ponsel yang ternyata masih kupegang di tanganku tiba-tiba bergetar. Kubuka mata pelan. Mengerjap sebentar sebelum akhirnya membuka layar ponsel. Dahiku sontak mengernyit melihat ada sebuah pesan masuk dari nomer tak dikenal.

[Istirahat saja. Jika tak ada bukti kuat, dia akan kembali pulang besok.]

Siapa ini? Apa pesan salah kirim lagi? Tapi sepertinya tidak. Kalimat itu seperti sedang membicarakan tentang suamiku, Mas Reyfan.

Karena penasaran kucoba memeriksa foto profil dari nomer pengirim tersebut. Dan ah ... dia lagi. Ternyata Wajah tak berekspresi itu yang nampak di dalam profil whatsapp-nya.

Keningku berkerut keheranan, merasa tak pernah memberikan nomer ponselku padanya. Kenapa dia bisa mengirimiku pesan?

Aku sama sekali tak berniat untuk membalas pesan itu. Pikiranku justru teringat Adam. Dibanding bertanya pada pria aneh yang tak pernah senyum itu, lebih baik aku bertanya pada Adam.

[Dam, barusan Mas Reyfan dibawa ke kantor polisi.]

[Iya Han, aku sudah dengar kabar dari Daniel. Tapi tadi kata Daniel, suamimu belum pasti terlibat karena sepertinya dia belum pernah melakukan transaksi. Tapi masih terus diselidiki.]

[Maksudnya?]

[Jadi suamimu itu sering ke rumah kakak iparmu untuk menemui perempuan itu. Kamu ingat dia kan?]

[Perempuan yang kuliah di kampusmu itu?]

[Iya Han. Kamu yang sabar ya. Besok mungkin kamu akan sudah tau yang sebenarnya.]

Jadi, mas Reyfan kemungkinan tidak terlibat prostitusi? Lalu ngapain dia kesana? Ke rumah Mbak Ratri? Apa hubungannya dia dengan si gadis kampus itu sebenarnya? Di tengah rasa kantuk yang masih menyerang, aku semakin bingung dengan semua yang terjadi ini.

.

.

.

Usai mengerjakan shalat subuh, aku kembali meringkuk di sofa ruang tengah bergelung dengan selimut tebal membiarkan Mbok Jum berkutat sendirian di dapur menyiapkan sarapan. Sepertinya aku sedang tak enak badan. Badanku menggigil sepagian dan rasa mual tiba-tiba menyerang.

Entah sudah berapa lama aku tidur saat tiba-tiba kudengar suara berisik di sekitarku. Dengan mata masih setengah terpejam aku bangkit dari tidur. Mencoba duduk dengan baik dan merapikan pakaianku yang pastinya sudah kusut.

"Ada apa sih Mbok, kok rame sekali?" tanyaku dengan suara serak. Kenapa tak bisa membiarkan orang tidur barang sebentar saja sih, gerutuku.

"Hani! Wah ... wah ... bagus ya kamu. Suami kamu ditangkap polisi, kamu malah enak-enakan tidur disini!" kata seorang perempuan.

Aku terperanjat, mencoba mengingat bahwa suara yang kudengar barusan adalah suara mami. Iya, ibunya mas Reyfan, mertuaku, yang memang selama ini aku panggil dengan sebutan 'mami'.

Segera saja aku membuka mata lebar-lebar. Dan benar saja, mami sudah berdiri di dekat sofa tempatku tidur dengan mata nyalang menatapku tak suka. Sementara di sampingnya, anak bungsunya, Irwan, juga sedang menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Ada apa dengan mereka? Kenapa tiba-tiba datang ke rumahku dengan marah marah seperti ini?