webnovel

ADA TAMU

"Han, kenalin ini Kompol Daniel Devanno. Beliau dari Satuan Reskrim," kata Adam padaku saat memperkenalkan seseorang yang katanya sahabatnya itu. Dan dia, si Daniel itu, ternyata adalah lelaki yang aku jumpai diparkiran tadi. Jadi, lelaki tadi adalah seorang polisi?

Aku bangkit dari dudukku saat lelaki itu mengulurkan tangannya hendak menyalamiku. Rasanya aku seperti kehilangan muka saat dia menatapku sangat lekat dengan kedua matanya. Ternyata mata yang tadi sempat membuatku penasaran, yang ditutupinya dengan kacamata itu, memiliki sorot yang begitu tajam hingga seolah jantungku berhenti berdetak seketika saat telapak tangannya berhasil mendarat di telapak tanganku. Pemandangan yang terjadi selanjutnya adalah bahwa tangan kokoh itu kini seperti tangan raksasa yang akan meremukkan tulang-tulang tanganku yang kecil.

Mendadak aku bergidik ngeri saat dalam beberapa detik tangan itu tak jua dilepaskannya dariku. Kurasa sepertinya dia memang berniat ingin meremukkan tulangku karena cengkeramannya yang begitu kuat membuatku merasakan sakit pada telapak tanganku. 'Sepertinya orang ini sudah gila,' kataku dalam hati.

Sekian detik kemudian aku mulai balik menatap tajam ke arahnya yang terus menatapku dengan hingga akhirnya entah karena apa tiba-tiba saja dia melepaskan jabat tangan kami. Aku mendecih sangat pelan untuk menghindari sepasang sahabat itu mendengarnya. Lalu mengibaskan pelan telapak tanganku yang terasa sakit. Apakah orang ini yang akan menolongku? Tapi kenapa justru aku merasa dia seperti sedang ingin menelanku hidup hidup?

Mungkinkah dia marah dengan sikapku yang kasar mendorongnya di parkiran tadi? Sebagai seorang penegak hukum, kenapa aku malah merasa sikapnya sama sekali tidak melindungi? Tapi justru seolah memusuhi? Ini sangat berbeda saat dia sedang menatap ke arah Adam, lebih santai dan sangat bersahabat.

Lepas dari tangan Daniel, aku segera mendudukkan diri kembali ke sofa dengan lutut yang tiba-tiba terasa lemas. Sungguh orang ini begitu menakutiku.

Dan beberapa menit kemudian, Adam pun segera terlibat pembicaraan serius dengan Daniel. Sementara aku hanya mendengarkan saja mereka bercakap sambil sesekali menjawab saat Adam menanyaiku. Daniel sendiri terlihat cuek, bahkan sikapnya terkesan seolah aku tak berada di ruangan bersama dengan mereka.

Dia hanya sesekali saja menoleh ke arahku saat Adam sedang mengajakku bicara. Tapi lagi-lagi dengan wajahnya yang tanpa ekspresi. Saat kemudian pertemuan kami berakhir, dia hanya mengucapkan satu pesan pada Adam.

"Untuk sementara, kamu jangan hubungi bu Hani dulu. Jangan menimbulkan kecurigaan," katanya sambil menepuk bahu sahabatnya.

Bu Hani? Sejak berada di ruangan ini tadi, baru kali ini dia menyebutkan namaku.

"Oke, Dan," sahut Adam.

Setelah itu dia berpamitan dan meninggalkan ruangan.

"Tunggu disini sebentar ya Han, aku antar Daniel dulu kebawah," pamit Adam. Dan aku pun mengangguk.

Aku benar-benar masih keheranan dengan sikap lelaki tanpa ekspresi bernama Daniel itu. Bukankah aku yang sedang meminta bantuan? Seharusnya kan dia menanyaiku sesuatu atau apa saja? Tapi sepanjang kami berada di ruang kerja Adam tadi dia bahkan sama sekali tidak mengajakku bicara.

Saat Adam kembali, aku masih sibuk berpikir keras tentang lelaki yang menurutku sangat aneh itu.

"Temen kamu itu kenapa sih, Dam? Kok aneh ya?" tanyaku setelah menghabiskan sisa kopi dalam cangkirku yang tinggal seteguk.

"Siapa? Daniel?" tanyanya. Aku mengangguk. "Ya memang begitu orangnya." Adam terkekeh.

"Masa' orang ngga' bisa senyum sama sekali begitu? Aneh," gumamku. Mendengar kalimatku, Adam jadi menatapku penuh selidik.

"Kenapa? Kamu suka ya?" Nada bicaranya seperti sedang menggodaku.

"Kok bisa? Suka sama orang yang nggak bisa tersenyum seperti itu?" Aku terkekeh, menatap Adam sambil menggelengkan kepalaku. "No way!" kataku lagi. Dan Adam hanya tersenyum simpul ke arahku.

"Dulunya sih dia nggak gitu-gitu amat sama cewek. Nggak tau deh kenapa sekarang jadi kayak gitu." Kembali Adam terkekeh.

"Jadi dia begitu cuma sama cewek aja?" Aku semakin keheranan. Apa dia pikir dia tidak membutuhkan wanita dalam hidupnya? Istrinya, misalnya. Benar-benar lelaki yang merendahkan harga diri wanita.

"Oya, Dam. nanti apakah aku juga akan dipanggil ke kepolisian kalau suamiku ditahan?" Jengah membicarakan lelaki arogan bernama Daniel itu, aku segera mengganti topik pembicaraan.

"Kita liat saja nanti. Kata Daniel kalau bukti-buktinya sudah cukup sih kamu nggak perlu dilibatkan."

"Aku takut, Dam," kataku.

"Takut kenapa?"

"Ya takut.. Aku nggak pernah berurusan dengan masalah seperti ini. Apalagi berurusan dengan polisi, pengadilan. Sepertinya menakutkan," ujarku bergidik.

"Sudah tenang saja. Serahkan sama Daniel. Biar dia yang bereskan. Dia bisa diandalkan kok." Adam mencoba memberiku keberanian. Aku menghela nafas sedikit lega mendengar ucapan Adam. Salut dengan lelaki di depanku ini. Setiap kalimatnya selalu saja membuatku tenang. Yang kuingat pembawaan Adam memang tenang dari dulu. Dia bukan orang yang mudah tersulut emosi atau pertengkaran.

"Kamu sudah makan, Han?" tanyanya kemudian. Oh, aku sampai lupa, hari sudah sore dan aku memang belum mengisi perutku seharian ini. "Aku traktir ya? tanyanya.

"Apa apaan kamu, Dam? Aku yang minta tolong, seharusnya kan aku yang mentraktirmu."

"Nggak papa. Anggap saja kita kencan, jadi lelaki yang harus bayar," katanya dengan wajah sumringah. Dan lagi-lagi sambil terkekeh.

"Apa? Kencan? Dasar aneh kamu, Dam." Aku melotot ke arahnya.

"Enggak Haniii, cuma bercanda. Yuk makan, aku lapar." Dia menepuk-nepuk perut datarnya.

Dan kami pun meninggalkan ruangan. Adam mengajakku ke restoran fast food terdekat di kompleks perkantoran itu untuk mengisi perut kami yang ternyata memang belum terisi sejak pagi tadi.

.

.

.

Adam menyarankan aku untuk pulang ke rumah, memperkecil kemungkinan Mas Reyfan mencurigaiku. Aku harus tetap bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Dan aku menurutinya.

Saat berpamitan dengan bapak dan ibu, aku menitipkan barang-barang berhargaku di rumah mereka. Ibu nampak begitu berat melepasku kali ini, namun bapak berhasil meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja.

Keenan sudah tertidur pulas di dalam mobil saat sampai di rumah dan hari sudah cukup larut. Mobil Mas Reyfan pun terlihat sudah terparkir di garasi rumah kami.

Aku memasuki rumah sambil membopong pangeran kecilku yang sedang tertidur pulas. Mbok Jum menyambut kedatanganku dengan antusias di teras rumah.

"Bapak mana, Mbok?" tanyaku.

"Ada di kamarnya, Bu. Dari tadi pulang belum keluar kamar." Aku mengerutkan dahi. Apa yang terjadi?

"Belum makan?" tanyaku kemudian.

"Belum, Bu. Belum mau makan." Simbok menggelengkan kepalanya

Setelah membaringkan Keenan di kamarnya, aku bergegas menemui mas Reyfan. Kubuka pintu kamar kami perlahan, dan kudapati mas Reyfan sedang berdiri mematung di dekat jendela kamar yang terbuka. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku piyama.

"Mas, belum makan?" tanyaku. Dia menoleh.

"Kamu dari mana saja?!" Aku kaget, karena dia bertanya dengan sedikit membentak. Dan tanpa tersenyum dia berjalan ke arahku. Aku menelan ludah, perasaanku mengatakan sepertinya ini tidak bagus.

"Aku kan sudah nitip pesan ke Simbok. Aku ke rumah ibu."

Mas Reyfan sepertinya tidak begitu menggubris jawaban yang kuberikan, karena dia tidak merespon apapun setelahnya. Dia justru terus melangkah semakin mendekat dan akhirnya berhenti tepat di hadapanku dengan jarak yang sangat dekat.

"Kamu menyembunyikan apa Han dari aku?" Aku terkejut dia berkata dengan wajah yang tanpa senyum, menundukkan kepalanya menatap ke bawah tepat di manik-manik mataku.

"M-maksudnya apa, Mas?" Karena tanpa persiapan, bicaraku jadi sedikit gugup.

"Hani, kamu memeriksa mobilku kan kemarin malam? Apa yang kamu temukan?" Kali ini dia menatapku dengan sinis. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri di sekitar wajahku hingga membuatku sangat takut.

"Ada apa sih, Mas? Kenapa kamu seperti ini?" Dengan segenap keberanian, aku mencoba meyakinkan dia bahwa tidak ada sesuatupun yang sudah kulakukan.

"Jangan bohong kamu! Katakan dimana kau sembunyikan ponselnya!!" Mas Reyfan mulai berteriak saat tangan kanannya tiba-tiba mencengkeram leher atasku. Aku panik, hingga refleks menjerit sangat keras. Tak berapa lama, Mbok Jum pun datang tergopoh-gopoh muncul di pintu kamar kami yang memang belum ku tutup.

"Ada apa ini? Pak, tolong lepaskan Ibu," kata Mbok Jum panik.

Mendengar kata-kata mbok Jum, Mas Reyfan seketika menghempaskan kepalaku. Aku meringis menahan sakit di leher hingga membuatku terbatuk-batuk. Mbok Jum yang melihat itu segera menghampiriku dan memegang sebelah lenganku dengan erat.

"Istighfar, Pak, istighfar!" katanya berulang kali sambil menoleh ke arah suamiku.

"Kamu sudah gila Mas! Kamu mau bunuh aku?!" teriak lantangku padanya saat sakitku sedikit reda. Kulihat dia mondar-mandir tak tenang dengan tangan di pinggangnya. Wajahnya tampak sangat putus asa.

"Jadi dimana? Siapa yang mengambilnya?!!" Dia mulai berteriak-teriak meracau lagi tak jelas. Dan aku akhirnya punya alasan untuk membalikkan keadaan.

"Kamu tuh sebenarnya nyari apa sih Mas?! Apa yang membuatmu panik seperti itu? Apa yang kamu cari?! Kenapa jadi seperti orang nggak waras seperti itu, hah?!!" teriakku padanya.

"Bu Hani, sabar Bu, sabar. Istighfar, Bu." Lagi-lagi terdengar Mbok Jum menengahi.

"Oh ya aku tau ... ternyata kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Iya kan?! Kamu menyembunyikan sesuatu dariku kan Mas? Jawab!!!" Aku kembali berteriak. Kali ini sangat keras. Hingga aku sendiri pun kaget dengan apa yang kulakukan.

Tapi diluar dugaan, mas Reyfan justru marah denganku. Dia kembali mendekatiku dengan tatapan mata nanar.

"Kamu sekarang berani ya Han sama suamimu?! Apa yang aku lakukan itu bukan urusanmu, tau kamu?"

"Apa, Mas? Bukan urusanku? Tapi aku ini istrimu!"

"Hahhh persetan! Istri macam apa kamu yang sukanya hanya menuntut dan menyalahkan suami?!"

"Mas Reyfan, apa maksudmu? Jaga bicaramu?!"

"Kamu yang jaga bicaramu, Han!"

Dan pertengkaran kamipun semakin panjang. Masing-masing dari kami saling berteriak satu sama lain. Hal-hal yang seharusnya tidak kukatakan justru semuanya keluar begitu saja dari mulutku karena terlalu emosi pada suamiku. Aku frustasi karena semakin aku berteriak, dia juga semakin lantang meneriakiku. Masing-masing dari kami tak ada yang saling mengalah untuk diam.

Sepertinya pertengkaran kami berlangsung cukup lama karena aku tiba-tiba tersadar jika mbok Jum ternyata sudah tidak ada lagi bersama kami di dalam kamar.

Tak memperdulikan itu, kami terus saja melancarkan aksi caci-maki dan sumpah serapah. Dan rasanya aku semakin jijik saja dengan suamiku ini. Sia-sia melawannya hanya dengan kata-kata. Dia orang yang tak mau mengalah sama sekali. Perseteruan kami baru berhenti ketika tiba-tiba mbok Jum kembali muncul di pintu kamar.

"Pak, Bu. Tolong hentikan, sudah, istighfar. Simbok mohon. Di luar sedang ada tamu." Mbok Jum menghentikan bicaranya saat kami berdua serentak menoleh ke arahnya. Lalu Mbok Jum pun melanjutkan bicaranya. "Di luar ada polisi yang mencari Bapak."

Jantungku seketika rasanya seperti berhenti berdetak. Apakah ini akhir dari semuanya? Secepat inikah?