webnovel

Curhatan Toni 5

"Percuma kalau kamu menyalahkan Ayah karena itu tidak akan merubah keadaan. Kamu tahu sendiri kan bahwa Ayah itu orangnya keras kepala dan suka seenaknya sendiri," ujar Tiya. 

"Iya sih," sahut Surya. 

"Sudah sana mandi! Setelah itu, bantuin Kakak nutu beras ya."

Mereka memang memiliki banyak simpanan beras yang selalu Siti kumpulkan dalam bentuk gabah. Namun, bentuknya kebanyakan kecil karena Siti mengambil dari sisa-sisa panen di sawah seseorang ketika dirinya bekerja. Ketika ingin menanak nasi, maka mereka harus menutu terlebih dahulu. Sebab, jika menggunakan alat bantu yang sudah modern, maka harus mengeluarkan uang dan itu sangat dihindari oleh keluarga Siti. Mereka lebih memilih mengeluarkan tenaga daripada harus mengeluarkan banyak uang. Lebih baik jika memiliki uang disimpan untuk cadangan kapan saja ketika membutuhkan.

"Nutu lagi ya?" Tanya Surya lalu menghela napas.

"Iya, kenapa? Kamu takut capek?" Tiya menaikkan alis kanannya seperti orang sedang bertanya.

"Nggak sih, Kak," jawab Surya bohong karena dia tahu kalau dirinya menjawab jujur, maka Tiya akan memarahi dirinya. 

Posisi Surya memang serba salah. Berkata jujur akan dimarahi, sedangkan melakukan pun dia merasa seperti sudah tidak sanggup karena dia sudah merasa lelah. Padahal hari sudah petang yang seharusnya di waktu malam hari adalah waktu untuk bersantai tanpa banyak kegiatan. Kini Surya akan menghabiskan waktu malamnya dengan menutu gabah.

"Ya sudah kalau nggak mau langsung mandi terus laksanakan apa perintah kakak tadi!" Suruh Tiya. 

Mau tidak mau maka Surya harus mau. Dia pasrah saja atas apa yang telah diperintahkan Tiya. Dia tahu kalau dirinya melawan ataupun menolak, maka akan dimarahi oleh Tiya. Mengalah adalah salah satu cara untuk menghindari emosi yang memang timbul dalam diri Tiya. Sebagai adik, Surya berusaha untuk menurut selagi perintah yang diberikan tidak menyimpang.

Kini Surya berjalan menuju ke kamar mandi. Setiap langkahnya memikirkan nasibnya yang sejak dulu tidak pernah berubah, yaitu seringkali diliputi oleh rasa tekanan batin, terutama ketika mengingat perilaku Sholeh yang tidak tanggung jawab kepada keluarga. Bahkan hal itu sudah biasa Surya rasakan setiap hari, bukan hanya sekali maupun dua kali yang bisa dihitung menggunakan jari.

Tiap sore hari, Surya tidak tega menatap Siti kecapekan karena memikul banyak beban. Baik beban pekerjaan maupun beban pikiran. Surya tidak bisa membayangkan ketika tenaga seorang perempuan harus membawa bakul berisi gabah dengan cara dipikul di punggung dengan bantuan selendang. Apalagi Siti harus jalan kaki tanpa beralaskan sandal. Siti hanya menggunakan kaos kaki saja. Padahal jarak yang ditempuh cukup jauh, bahkan terkadang Siti harus meneduh di bawah pohon maupun rumah warga ketika hujan mengguyur bumi.

Terkadang Surya sangat benci dengan kehidupan dan merasakan lelah. Namun, ketika mengingat ataupun melihat perjuangan Siti membuatnya sadar diri bahwa ada orang yang lebih lelah daripada dirinya. Dia selalu mengingat bahwa suatu hari kemudian bahwa dirinya juga akan menjadi orang tua, sebagaimana pada akhirnya perannya akan seperti Siti, yaitu harus banting tulang untuk keluarga. Surya juga sudah berjanji kepada dirinya tidak akan menjadi orang tua yang tidak bertanggung jawab, seperti halnya Sholeh. 

"Punya Ayah kok jahat banget, huft!" Keluh Surya ketika menyampirkan handuk di punggungnya.

Ketika Surya menampakkan kaki di pintu kamar mandi, dia merasakan ada sesuatu yang aneh. Dia memutuskan untuk berhenti terlebih dahulu untuk memastikan keadaan baik-baik saja. Sorot matanya menuju pohon besar yang berada di sebelah kamar mandi. Dia merasa ada sosok yang mengintai dirinya. Surya bisa yakin akan hal itu karena melihat dari celah pagar. 

"Hah, apaan tuh?" Tanya Surya, meskipun dia yakin tidak akan ada yang menyahutinya.

Surya melihat ada sosok besar berwarna hitam, rambutnya keriting kribo, ada asap yang keluar dari mulutnya, lebih tepatnya persis seperti orang yang sedang merokok. Surya mengerutkan kening dan menyipitkan kedua matanya untuk memperjelas penglihatannya hingga keningnya tercetak gelombang-gelombang kecil. Surya mengucek kedua matanya untuk memastikan bahwa yang dilihatnya itu tidak salah.

"Aku sedang mimpi lagi nggak ya?"

Pada saat mengucek mata yang kedua kalinya, sorot mata Surya dan sosok besar tersebut saling bertemu. Surya dalam melihat jelas bahwa sosok tersebut bermata merah tajam. Namun, Surya masih tidak percaya hingga dia kembali mengucek kedua matanya.

"Argh!" Pekik Surya ketika kedua mata sosok tersebut melotot menatap ke arahnya. Hampir saja Surya terjungkal jika tidak bisa mengimbangi dirinya. Untung saja ada kayu sebagai pintu, sehingga Surya bisa berpegangan di bagian pintu tersebut. 

"Ada apa, Kak?" Tanya Anes panik ketika mendengar suara Surya. 

"Ah, nggak apa-apa kok, Nes. Hanya terkejut saja karena tadi aku lihat ada tikus besar banget," jawab Surya bohong. Dia tidak ingin kalau Anes ketakutan ketika dirinya mengatakan kebenaran yang dirinya lihat. Dirinya saja sudah ketakutan dan mustahil saja kalau akan ditambah kepanikan Anes. Sudah bisa Surya tebak jika nanti kondisinya akan kacau. Apalagi Anes adalah seorang penakut.

"Yakin nggak apa-apa, Kak? Aku lihat sepertinya Kak Surya sedang panik deh. Kalau ada apa-apa cerita saja, Kak. Siapa tahu Anes bisa bantu Kakak."

"Nggak ada apa-apa, Anes. Sudah ya aku mau mandi dulu, takut keburu malam soalnya aku mau nutu gabah buat menanak nasi besok."

"Oh ya sudah deh, kalau gitu Anes mau bantu Kak Tiya dulu," pamit Anes langsung meninggalkan Surya. 

Akhirnya Surya bisa bernapas lega. Dia kembali menatap ke celah pagar tadi. Namun, sosok besar tadi sudah tidak ada.

"Kok aneh ya?" Gumam Surya.

"Apa jangan-jangan dia benar-benar hantu?" Tebak Surya sambil terus mengamati di setiap celah pagar agar rasa penasarannya bisa terjawab.

Tubuh Surya tiba-tiba merinding. Hembusan angin menusuk pori-porinya. Pikiran Surya pun semakin mengarah ke hal negatif.

"Aduh, padahal aku mau mandi. Bagaimana nanti kalau ada yang ngintip ya," keluh Surya gusar. Dia takut kalau hantu tadi mengintip ketika dirinya sedang mandi. Dia bergidik ngeri ketika membayangkan hal tersebut.

Surya masih ingat bahwa hantu bisa seenaknya sendiri, terutama dalam hal menunjukkan sosok wajah dan menghilang begitu saja. Dia mengerti hal tersebut karena curhatan Toni. Semenjak berteman dengan Toni, Surya jadi lebih banyak mengenal beberapa karakter hantu. Namun, namanya beda alam tentu berhubungan dengan kematian, Surya masih saja ketakutan.

"Aduh bagaimana ini? Aku kok jadi takut seperti ini ya. Hm, bagaimana kalau nggak cuma ngintip saja atau malah muncul tiba-tiba di dalam sumur?" Setiap kali akan mandi, Surya memang harus menimba air terlebih dahulu karena sumber air yang didapatkan dari sumur.

"Nggak! Aku nggak boleh berpikir negatif."