webnovel

Curhatan Toni 4

Surya menyandarkan tubuhnya di pagar rumah. Kedua kakinya diselonjorkan di atas tanah. Dia menggunakan kardus bekas untuk dijadikan kipas dengan cara mengibaskan potongan kardus secara berulang-ulang.

"Huft, panas banget!" Keluh Surya sambil memejamkan kedua matanya. Tangannya mengusap keringatnya, meskipun tangannya kotor. Dia tidak terlalu memikirkan kebersihan karena rumahnya saja masih beralaskan tanah dengan tembok terbuat dari pagar yang keduanya sudah jelas menjadi sarang penyakit. Terkadang makanan yang Surya makan juga tidak higienis. Dia hanya mempercayakan takdir. Sesakit apapun seseorang jika sudah tiba pada takdirnya maka semua akan terjadi.

"Hari ini banyak banget masalah. Heran banget deh sama hantu Kuntilanak tadi kok bisa-bisanya jahil banget. Padahal aku dan teman-teman nggak mengusiknya," gumam Surya mengingat kejadian tadi. 

Mengingat darah Sindi yang terus mengalir membuatnya sedikit bergidik ngeri. Padahal Surya tidak menginginkan hal itu terjadi, tapi mau bagaimana lagi karena dirinya juga tidak mengetahui keberadaan Kuntilanak secara tiba-tiba. Andai Surya tahu, maka dia akan bertindak untuk menghindari hal-hal yang seharusnya tidak terjadi.

Kejadian tersebut membuat acara bermain telah selesai secara tiba-tiba. Bahkan diselimuti oleh rasa khawatir dan ketakutan. Ketika tiba di rumah Sindi pun keadaannya makin kacau karena tangisan orang tua Sindi. 

"Andai orang tua ku perhatian banget seperti orang tua Sindi."

"Memangnya orang tua kamu kenapa nggak perhatian sama kamu?" Tanya Toni tiba-tiba berada di sampingnya.

Surya memutar bola matanya malas. Dia menatap Toni hanya sekejap saja lalu kembali memalingkan muka. Kini hidupnya seringkali diikuti oleh Toni, meskipun Surya tidak meminta. Padahal Surya merasa tidak nyaman ketika Toni berada di sampingnya terus. Sebab, posisinya cukup mudah karena Toni tidak dapat dilihat oleh orang lain. Kalau Toni memiliki niat untuk menunjukkan raganya sih maka hal itu tidak akan menjadikan masalah baru.

"Sur!" Panggil Toni.

"Apaan sih? Kenapa kamu selalu ngikutin aku terus? Aku nggak nyaman kalau ada kamu yang terus mengintai mengenai diriku."

Toni terdiam. Dia menundukkan kepala sedih. Tanpa terasa air matanya menetes membasahi kedua pipi. Suara isak tangisnya juga dapat didengar oleh Surya.

"Kamu nangis?" Tanya Surya. Awalnya dia memang mengusir, tapi dia malah merasa tidak enak karena telah membuat Toni menangis. 

Toni masih saja diam tanpa merespon Surya. Suara Isak tangisnya semakin terdengar jelas. Hidungnya memerah selagi ingusnya terus keluar. Air mata yang dikeluarkan oleh Toni cukup deras. Hal itu cukup membuat Surya ketakutan karena takut salah berbicara. 

Terkadang lidah adalah salah satu hal yang bisa membuat orang lain sangat tersinggung. Bukan hanya itu saja, dari lidah bisa mengakibatkan pertengkaran. Sebab, tak jarang seseorang berbicara tanpa memikirkan perasaan orang lain atau bahkan salah berbicara saja ketika sedang bergurau, maka hal itu bisa mengakibatkan permasalahan. Oleh karena itu, banyak pepatah yang mengatakan bahwa mulutmu harimaumu. 

Surya melihat ke lingkungan sekitar untuk memastikan bahwa kondisinya aman karena keluarganya banyak agar tidak dicurigai. Setelah dirasa cukup aman, Surya mengelus pundak Toni berusaha untuk meredakan tangisnya. Dia merasa tidak enak hati ketika melihat Toni sedih. Sebab, selama ini Toni selalu ceria, meskipun diomeli oleh Surya.

"Ton, kamu nggak apa-apa?" Tanya Surya. 

Bukannya menjawab, Toni semakin menangis menjadi-jadi. Suara tangisnya semakin terdengar kencang membuat Surya semakin panik. Surya panik karena takut didengar oleh keluarganya, tapi dia juga takut kalau Toni semakin sakit hati. Rasa bersalah Surya semakin menyelimuti dirinya.

"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Surya tidak putus asa.

"Kenapa sih dunia sangat kejam, baik dunia nyata maupun dunia kematian?" Tangisan Toni agak mereda ketika Toni menjawab pertanyaan Surya.

"Aku nggak tahu kalau dunia setelah mati juga kejam karena aku belum pernah mati. Hm, tapi kalau dunia nyata memanglah sangat kejam dan kamu bisa lihat sendiri keseharianku bagaimana. Aku selalu dibully sama teman sekolah ketika tidak sengaja bertemu di jalan, aku harus banting tulang untuk makan, dan yang paling parah ketika aku dimarahi oleh Ibu, badanku sakit semua karena ibu selalu memukuli diriku untuk melampiaskan kemarahannya," ujar Surya mengingat kejadian terpahit yang paling tidak bisa dia lupakan.

"Aku kehilangan kasih sayang sejak kecil dan semenjak itu aku selalu kesepian."

"Maksudnya?"

"Kamu tahu sendiri kan bahwa diriku mati sejak kecil? Dari semenjak kematian aku selalu kesepian karena tidak ada satupun hantu yang cocok dengan diriku. Apalagi manusia, mereka tidak bisa melihat diriku seperti halnya dirimu karena yang bisa melihat diriku adalah manusia indigo," jelas Toni.

"Lalu?" 

"Semenjak aku bertemu dengan kamu, hidupku kembali terwarnai. Aku tahu bahwa kita beda alam, sehingga membuatmu ketakutan dianggap gila oleh orang lain. Oleh karena itu, aku selalu berusaha untuk bisa mengkondisikan keadaan, di mana sepi maka disitulah aku muncul. Aku ingin berteman denganmu, Sur," ujar Toni berkaca-kaca. Kedua matanya membendung air mata. Mungkin sekali kedip saja air matanya akan lolos membasahi kedua pipi.

"Maaf, aku nggak tahu."

"Nggak apa-apa kok, wajar kalau kamu marah sama aku dan nggak mau lihat aku," kata Toni masih saja sesenggukan.

"Surya!" Panggil Tiya sambil berkacak pinggang. 

Jantung Surya langsung berdetak kencang. Dia takut karena sudah memiliki firasat buruk mengenai kehadiran Tiya. Lebih tepatnya bahwa Surya sadar diri telah melakukan kesalahan.

"Darimana saja kamu?!" Tanya Tiya.

"Aku dari main."

"Kamu ini nggak punya otak! Kamu nggak mikir kalau kakak kesusahan karena nggak ada yang bantu? Dari bersih-bersih rumah, cari barang untuk dimasak, masak sendiri, dan masih banyak lagi pekerjaan lainnya. Kamu malah enak-enakan main sampai nggak ingat waktu!" Bentak Tiya ketika emosinya sudah berada di puncak. Wajar jika keluarganya mudah marah karena dari asal mula orang tuanya saja memang mudah marah. 

"Tapi kan aku juga ingin main seperti teman-temanku, Kak. Aku juga ingin sedikit merasakan kebebasan!" 

"Kamu pikir cuma kamu saja? Kakak juga ingin, tapi kembali lagi kepada kondisi ekonomi kita. Adik kamu masih kecil dan mereka butuh makan."

Surya pun akhirnya menangis. Dia merasakan tekanan batin karena kondisi keluarganya. Baru saja ada masalah dengan Toni dan kini ditambah masalah dengan Tiya. Hidup sehari tanpa masalah seperti sangat mustahil bagi Surya. Setiap hari pasti ada saja masalah, baik masalah batin ataupun masalah dengan orang lain.

"Kamu nggak boleh egois karena Kakak bisa saja egois, tapi kakak selalu ingat kamu dan adik-adikmu. Jadi, kakak nggak ingin kalian menderita karena kelaparan. Belajarlah untuk bersikap dewasa, Surya," nasihat Tiya.

"Bukan itu, Kak, yang egois itu Ayah. Dia nggak pernah memikirkan nasib kita sebagai anak. Kenapa sih kita harus terlahir dalam keadaan sudah seperti ini? Bahkan makan pun sangat susah."

Next chapter