Pada langkah mereka kembali memasuki mobil, Leandra terhenti seketika. Membuat tubuh ramping Selaras yang sibuk memastikan bawaannya tidak tumpah, tak sengaja menubruk punggung pria berpostur tinggi kokoh, Leandra. Tubrukan sederhana itu mengakibatkan dua buah pisang jatuh dari pelukan Selaras.
"Hai! Kau?" Protes gadis berambut panjang.
Sejenak kemudian dia penasaran apa yang mengakibatkan mata Leandra begitu berbinar. Ternyata pria ini dan tiga teman barunya yang kedapatan tak lagi mengambil foto diri (swafoto). Melainkan kini sibuk mengamati dan menangkap kerumunan anak-anak kampung berbaris se-kenanya, berkeliling sambil membawa oncor[1].
Mereka kian takjub setelah sepaket gamelan walau tidak selengkap pertunjukan wayang, akan tetapi suaranya sudah lebih dari kata menakjubkan, melintasi empat muda mudi asing dari kota metropolitan. Alat musik tradisional tersebut di arak berceceran dengan menggunakan becak, gerobak dan komponen yang lebih lengkap di naikkan di atas civrolet[2].
Selaras memaklumi mereka, mereda keinginannya untuk mendebat Leandra, dia memilih segera kembali memasuki mobil. Lama dirinya menunggu teman-teman barunya itu mau melepaskan pengamatan yang terlihat seru.
Dengan gerak enggan akhirnya mobil Rush melaju. Membawa mereka kembali menyusuri jalanan yang makin lama makin sepi saja. Hingga sebuah gang dengan lebar tak lebih dari satu mobil di minta pemandunya untuk melintasi.
Jalan berguncang sebab bukan lagi beralaskan aspal, mampu mengusik penghuni mobil mencari-cari ke mana langkah mobil ini akan menepi. Benar saja setelah belokan ke tiganya dia berhenti.
Rumah joglo dengan konsep sederhana yang terkesan tua, menghadirkan dua perempuan yang tak kalah tua bahkan satunya di atas kursi roda usang.
Si perempuan yang di awal perjalanan sempat di temukan Rio meneteskan Air mata kini berlari dengan air mata yang sama. Tampaknya kali ini agak berbeda, bukan duka atau resah. Rio yang keluar paling awal setelah meraih tasnya, turut membuntuti Selaras. Berdiri di belakang punggung gadis yang kini mencium tangan dua perempuan lalu memeluknya berulang.
"Moggo, monggo.. Sa-estu melebet mawon[3]," seorang ibu Jawa dengan gelungan di kepala mempersilakan mereka masuk menggunakan bahasa yang sesungguhnya tak di mengerti. Hanya terpahami bahwa ekspresi dan gerak mimik yang di usung adalah sopan santun khas pedesaan Jawa Timuran.
"Ngapunten omahe Selaras suae sanget ngantos bingung minarakne mas mbak niki teng pundi[4]," kembali perempuan ramah itu berceloteh dengan bahasa yang tak mampu mereka cerna. Senyam-senyum adalah cara terbaik untuk mengimbanginya.
.
Di sisi lain Leandra mencoba membenarkan posisi parkir mobil yang setia menemani perjalanan panjang Jakarta-Trenggalek. Dia yang keluar paling akhir masih mendapati kasir Bee market setia di posisi yang sama. Bersama tas yang terjatuh di permukaan tanah di tekuk kakinya untuk menyejajarkan dengan perempuan sepuh berada di atas kursi roda.
Sabil berulang kali menghapus air mata, Selaras mengusung pula senyum janggal di paksakan. Dia sepertinya sedang bertukar cerita dengan perempuan yang umurnya mungkin lebih dari 80 tahun, dugaan Leandra si ringkih itu neneknya.
Gadis ini tak se-jutek atau sedingin dugaan yang sempat terpatri pada kepala pemuda berwajah semi Belanda. Leandra ikut tertegun, berdiri mematung menatap dua anggota keluarga saling bersua.
Pemuda yang jadi buronan keluarganya sendiri, mengingat sejenak tiap-tiap anggota keluarga yang dia hindari hingga berlari sampai pada tempat nan-jauh ini.
Mencukupkan dan menamatkan pandangan pada adegan yang demikian mengharukan sambil menerka-nerka kemungkinan. Apakah dalam keluarganya akan ada adegan serupa?
Bukan karena mahalnya berdamai atau apalah, yang pasti dalam kamus tradisi keluarga Baz tidak akan dan tidak mungkin di temukan peluk memeluk atau mengharu biru seperti yang tertangkap pandangan matanya. Sebab keluarga Leandra tidak memiliki sosok perempuan di dalamnya. Hanya kakak perempuan yang sejenis dengannya 'sama tak jelasnya' .
Pegangan hidup dalam keluarga lelaki yang kini merenungi keadaannya sendiri adalah dua orang laki-laki yang terdefinisi sebagai kakek dan ayah.
Sayangnya sang ayah mengundurkan diri dari dunianya, dengan alasan ingin melanjutkan hidup setelah lima belas tahun mengabdi pada keluarga sang istri yang telah lama berpulang. Leandra tidak terima, dia tak ingin semua tanggungjawab yang belum terpahami di limpahkan padanya begitu saja. Sejujurnya pemuda buronan keluarga ini sedang kecewa, harusnya sang ayah memberi tahu alasan mendasar kepergiannya.
Perjalanan menuju Surabaya bukan sekedar untuk melarikan diri semata, dia punya tujuan primer yakni mencari pria bernama Hiyugo Pratama. Sang ayah yang pergi sepihak begitu saja, bulan syawal bahkan jadi bulan ke lima kepergiannya.
Pemuda berambut panjang masih sibuk dengan perenungan, belum mau beranjak ketika Selaras mendorong roda dari kursi yang menopang neneknya. Dia menamatkan rumah sederhana yang belum tampak sosok laki-lakinya.
Selain itu pemuda yang memiliki bulu mata lentik mirip noni-noni VOC ini ternyata sedang tergelitik dengan rumah Joglo berbentuk kotak persisi yang memiliki atap menjulang seirama bangun Trapesium. Tempat tinggal di depannya tertangkap terlalu asing. Dinding bagian muka berbahan kayu penuh dari atas hingga dasar. Sedangkan bagian sisi kiri yang kini tertangkap matanya lebih unik lagi, separuh berbahan batu bata separuh lagi kayu dengan pelitur mirip sisi muka.
Leandra terlalu menikmati pengamatan tak menyadari pemilik rumah kembali mendekat, memintanya masuk dengan gerak-gerik sopan tak mirip lagak sebelumnya yakni galak campur menawan.
Gadis berambut hitam pekat yang di tekuk sembarangan sempat menggerakkan dua jemarinya menyisihkan helai rambut yang berserabut acak menutupi daun telinga. Gerakan Selaras menghasilkan senyuman si pemuda: "Aku tak melihat ayahmu?" Leandra memang demikian orangnya. Berpikir belakangan bertanya dulu-an, dia tipe penasaran sejak jadi bocah yang usianya masih satu digit angka. Jadi jangan heran kalau dia terkesan resek.
Selaras hanya mengangkat bahu tanpa menjawab, meninggalkan pria yang akhirnya mengambil langkah terpaksa, turut serta membuntuti kaki tegas tangkas Selaras.
.
Baru saja memasuki rumah kotak persisi, ternyata ruang tamunya juga kotak dengan luas yang sulit di terka. Lebih lebar dari dugaan. Tak ada mirip-miripnya dari ruang tamu standar kota metropolitan. Ruang ini seolah terbagi dua secara kasat mata. Karena memang tidak ada partisi sama sekali, akan tetapi jelas pada sisi kiri terdapat lingkaran kursi dari anyaman rotan yang biasa di sebut kursi 'menjalin', tentu saja dilengkapi dengan meja kayu kuno di tengah-tengahnya. Bahkan lampu di atasnya juga kuno, lampu gantung klasik unik dan sering di jumpai di toko-toko yang berjajar di Jalan Ir. H. Juanda, Ciputat.
Leandra seperti anak laki-laki kosong yang sedang memainkan matanya, dia melakukan pengamatan dengan lamat-lamat. Bisa jadi karena dunia pemuda ini jauh berbeda, atau dia merasa terdampar masuk ke dalam film kolosal.
Nana nyengir melihatnya, "Hai sini! Atau kita habiskan saja makanannya," gadis semi Arab berseru.
Leandra baru sadar teman-teman yang lain sedang makan dengan raut muka bahagia, duduk di atas tikar lebar warna-warni dengan mangkuk-piring tergeletak berisi sayuran, lauk pauk, kolak pisang bercampur mutiara pink yang menawan. Belum lagi gerakan tangan mereka tanpa sendok yang kelihatan rakus sekali. Buru-buru pemuda ini berlari tidak mau lengah setelah tiga bulan terakhir hidupnya kekurangan makan dan uang.
"Gila! Ini enak sekali!"
Lupa di luar sana ada suara takbir pertama bersahut-sahutan tanda idul fitri telah datang dan siap di sabut esok pagi.
.
.
.
[1] Oncor merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti "Obor". sehingga "Festival Oncor" artinya acara berkeliling kampung untuk memperingati hari-hari tertentu yang menggunakan obor.
[2] civrolet kata generalisasi dari jenis mobil pick up. Atau Metonimia adalah sebuah majas yang menggunakan sepatah-dua patah kata yang merupakan merek, macam atau lainnya yang merupakan satu kesatuan dari sebuah kata. Contoh: Rokok diganti Djarum atau Gudang Garam. Untuk masyarakat Jawa timur bagian 'Kulonan', mobil pick up di ganti civrolet.
[3] Bahasa Jawa timur 'kulonan': "Silahkan, silahkan.. sungguh dipersilahkan masuk saja,"
[4] "Mohon maaf rumahnya Selaras terlalu bagus, sampai bingung mau mempersilakan kakak-kakak di mana,"