Devano menjadi tertutup usai mendengar jika kedua orang tuanya bertahan hanya karena dirinya. Semuanya benar-benar tak bisa terbilang baik di dalam hatinya, perasaannya terluka.
Di saat kamu membutuhkan motivasi atau semangat hidup dann kasih sayang dari Ibu, Ayah. Di saat itu pula kamu kembali diuji dengan cobaan yang tiada henti. Bagaimana kamu akan menghadapinya.
Berharap mereka akan menjadi pengobat luka, tetapi menambah luka. Perih di kaki masih bisa ditahan, namun perih di hati siapa yang tahu. Sulit menemukan obatnya apalagi penawar.
****
Ia menyendiri dan tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Hal itu membuat Melati khawatir.
Dari semalaman Tuannya belum makan sama sekali. Lalu bagaimana jika ia memerlukan yang lainnya. Seperti ke toilet atau inginkan sesuatu?
Dia mencari akal agar bisa tahu dan terus mengawasi Tuannya. Bak sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
Devano tiba-tiba memanggilnya. Dengan langkah kaki seribu ia segera datang. "Hai, siang Tuan. Apa Tuan memerlukan sesuatu?" tanyanya dengan napas yang tidak biasa.
"Bagaimana keadaan di luar sana?!"
Dengan celingak-celinguk Melati mengintip dari jendela. Rumahnya sudah mulai sepi, mungkin karena hujan. Jadi para wartawan memilih untuk tidak datang dulu, pikirnya.
"Syukurlah sepi. Apa Tuan ingin keluar?" tawarnya.
Jawaban iya dari Devano membuat Melati mengucap syukur lagi. Mereka keluar dan Devano ingin pergi ke suatu tempat.
Tempat yang dulunya selalu menjadi curahan hati sekaligus pelipur lara. Kawasan hijau yang panjang, sebuah pohon besar. Di atasnya terdapat rumah pohon.
Devano mulai menghirup udara segar sambil memejamkan mata. Mengingat kembali masa yang menyenangkan bersama kedua orang tuanya.
Tiada lara, tiada sedih dan amarah pun enggan untuk bertamu.
"Wah, tempatnya indah sekali, Tuan. Udaranya bersih, hmp," kata Melati melihat sekelilingnya.
"Ini rumah Tuan yang ke berapa? Sudah banyak sekali tempat yang kita datangi. Hanya di sini Tuan yang cukup lama."
Pertanyaan itu dijawab cepat oleh si pemilik mata almond, "rumah utamaku."
Kedua alis Melati mengernyit, bingung. Bagaimana bisa rumah kecil, usang dan jauh dari perkotaan ini rumah utamanya? Sedangkan rumah di sana sangat mewah dan megah tidak diakui.
Waktu berjalan cukup cepat. Melati dan Devano sudah harus kembali ke rumah mewah. "Melati, ambilkan saya air minum hangat. Tolong!"
Devano tahu bahwa Ayah dan Ibunya sedang beradu mulut. Karena itu ia meminta Melati keluar, agar ia bisa mendengar secara langsung. Apakah benar dia penyebab kepalsuan yang ada dalam rumah tangga mereka.
"Apa? Kamu khilaf! Haha, ini sudah yang ke berapa kalinya kamu berkilah!" teriak si Ibu dengan emosi sambil menahan tangisnya.
Mall yang megah. Serta ternama di kota itu. Ibu Devano yang tengah berkumpul bersama temannya. Mereka membahas mengenai putra dan putrinya.
Saat acara perkumpulan itu selesai, sang Ibu berencana untuk membelikan sebuah liontin keluaran terbaru sebagai hadiah pernikahan mereka.
Dengan senyum yang manis, ia melangkah menuju tempat di mana barang itu berada.
"Nyonya, apa yang sedang Nyonya cari?" tanya si karyawan dengan ramah.
"Liontin ini!" Ia menunjuk barang utama itu. Lalu dipersilakan untuk duduk agar barang itu dibawakan kepada dirinya.
Dengan senang hati ia menunggu sambil melihat-lihat foto pernikahan mereka.
Teringat akan janji-janji yang dulu diucapkan. Berjanji di depan saksi dan memulai kehidupan dari nol.
Meski tinggal di rumah yang sederhana, tidak membuat hubungan mereka memiliki jarak. Hingga kemunculan orang ketiga ini merubah suasana dan keadaan.
"Silakan duduk Tuan dan Nyonya."
"Baik."
Netra mereka saling beradu dan bulatan yang sama serta rasa deg-degan yang tak terhingga. Istri sah amat tertekan dan tidak percaya. Ia segera mendatangi suami dan selingkuhannya.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana bisa kamu berpelukan dengan sekretarismu?!" Ia terlampaui emosi dan menampar si perempuan sekuat tenaga.
Tak terima wanita pujaannya dipermalukan, ia balik menampar wanita itu. Hingga semua mata menatap iba pada Ibu Devano.
Lalu memilih pergi dari sana. Kala itu ia ingin mengatakan kepada anaknya bahwa ia akan segera berpisah dengan sang Ayah.
Tetapi takdir berkata lain, di saat itu pulalah Devano mendapatkan musibah.
Alhasil dia harus mengurungkan niatnya untuk berpisah demi kesembuhan sang buah hati.
"Apa kamu ingin berpisah denganku?" tanya pria itu tanpa memikirkan perasaan istrinya yang hancur parah.
"Tentu. Tetapi aku tidak sejahat kamu. Aku masih memikirkan anakku yang terkena bencana. Laki-laki biadap!" cecarnya.
Perselingkuhan kedua kembali didapatinya. Di saat ia harus mengantarkan Devano terapi bersama. "Aku ada pertemuan penting dengan kelian dari Amerika. Kamu saja yang menemani Devano ya."
Yang pada akhirnya adalah menemui si wanita perusak. Hatinya begitu hancur, namun ia harus kuat demi Devano.
Ia tak mungkin menampakkan kesedihannya dihadapan Devano yang juga mengalami kesedihan, bukan?
Kasih Ibu sepanjang jalan. Semuanya terbukti di kehidupan nyata. Tiada nego-nego maupun kepalsuan.
"Masa depan? Haha, kamu bercanda. Bagaimana bisa anak yang sudah cacat itu memiliki masa depan?" caci sang Ayah.
"Hentikan semuanya!" teriak Devano.
Ibunya terkejut melihat Devano yang dibantu oleh Melati, mendekat. Si Ayah merasa tak bersalah, ia mengangkat kaki di saat si istri berdiri dan mencoba menjelaskan pada anaknya.
"Bu, apa benar semua yang tadi aku dengar?!" jeritnya. Urat nadi yang menempel di leher Devano terlihat sangat tegang sama halnya dengan suasana yang sedang berlangsung.
"Ah berisik! Bisa tidak mulutmu itu diam"! bsntaknya kepada Devano.
Naluri seorang Ibu, harinya terasa perih. Bak luka yang ditetesi dengan jeruk. Tak dapat diungkapkan. Ia dengan spontan menampar pipi suaminya.
"Beraninya kau berteriak kepada anakku!"
"Rendah!" Lalu ia pergi meninggalkan anak seta istrinya. Melati juga ikut menyingkir, sebab ini urusan keluarga. Ia tak memiliki hak untuk ikut atau sekedar menjadi pendengar.
"Kenapa Ibu tidak memberitahuku semuanya!" jeritnya.
Sang Ibu yang tak berdaya tak bisa menjawabnya. Ia hanya memikirkan kesehatan putranya. "Bukan tangisanmu yang ingin kudengarkan, melainkan alasannya."
"Melati! Antarkan aku ke kamar!" Gadis itu mendorong kursi tuannya. Seperti biasanya, Devano mogok makan dan membuat semua anggota keluarga panik, tapi tidak dengan si Ayah. Ia malah bersantai dan keluar. Pergi ke tempat wanita ke tiga.
Sungguh malang nasibnya, Devano. Semoga kau dikuatkan dan diberi ketabahan.
Melati adalah pertolongan pertama. Ibu Devano meminta agar dirinya membujuk Devano makan dan menjaga kesehatan. Sebab, hanya gadis itu kini yang dekat dengannya.
Bisa saja Devano akan mengikuti ucapan Melati dibandingkan dirinya. "Tuan, makan ya. Sedikit saja." Melati mulai lelah menghadapi Devano yang mogok makan.
"Stop! Jangan bertingkah layaknya anak kecil. Aku capek menghadapi kamu. Kamu pernah mikir gak sih?! Gimana orang miskin di luaran sana ngais tong sampah demi buat sesuap nasi!" berang Melati.