webnovel

EP. 074 - Surat

"Maafkan aku! Maafkan aku! Andaikan saat itu aku bersamamu. Andaikan saat itu aku menemanimu. Tidak akan aku biarkan kamu seperti ini" ucap Jenderal Yoshi tiba-tiba.

Mendengar ucapan Jenderal Yoshi, mendadak air mata Raefal berhenti. Raefal bangun dan berdiri tegak. Dia menatap Jenderal Yoshi dengan tatapan tajam.

"Apa maksud Anda?" tanya Raefal.

"Sebelum Xavier meninggal, aku sempat bertemu dengannya. Ini hukuman. Hukuman karena aku telah mengatakan bahwa semua anggota timnya bisa dipercaya di hadapan anda, Yang Mulia!" kata Jenderal Yoshi.

"Aku?" tanya Raja Ehren bingung.

"Apa maksudnya?" tanya Raefal.

"Dia meninggal karena dia ingin mengatakan dan mengantarkan sesuatu pada Yang Mulia. Harusnya aku mengantarnya ke sana, bukan malah membiarkannya sendiri", kata Jenderal Yoshi yang menyesal.

"Tapi ngomong-ngomong, di mana Yudanta? Kalian berlima satu sub unit, kan?" tanya Raja Ehren.

Di kamarnya, Yudanta sibuk mengumpulkan buah kesemek segar. Buah kesemek adalah buah khas musim gugur di Tirtanu. Dia mencelupkan buah kesemek ke sebuah cairan yang bening, sebening air. Kemudian, dia meniriskan buah yang sudah dicelup hingga kering. Tidak semua buah kesemek dicelupkan ke dalam cairan misterius. Yudanta melipat kelopak buah yang tidak dicelupkan ke dalam cairan.

Beberapa saat kemudian, buah-buah kesemek dimasukkan ke sebuah keranjang. Yudanta menenteng keranjang buah dan keluar dari kamarnya. Dia terus berjalan hingga keluar markas dan berjalan ke suatu tempat.

"Ada pengkhianat di sini! Ada pengkhianat di tim akas! Kemungkinan, dia yang menggagalkan kegiatan patroli di Desa Kaliko. Yang Mulia masih ingat sebuah surat yang saya berikan tadi?" tanya Jenderal Yoshi.

"Iya, ada apa dengan surat itu?" tanya Raja Ehren.

"Orang yang menulis surat itu adalah orang yang sama dengan orang yang menyerang Xavier dan Dimas. Kemungkinan, orang itu juga orang yang membunuh warga Kaliko yang diotopsi di Varignan", kata Jenderal Yoshi.

"Siapa?" tanya Raefal.

"Orang yang segera tiba ke sini", jawab Jenderal Yoshi.

Yudanta tiba di sebuah ruangan. Di sana ada Dimas yang baru saja sadar. Dimas sendirian di ruangan itu. Dimas berbaring lemas dengan mata terbuka. Tangan dan kaki Dimas masih terlalu sakit untuk digerakkan.

"Bagaimana kabarmu, Dimas?" tanya Yudanta.

Dimas hanya melirik ke arah Yudanta. Ternyata Dimas masih ingat bahwa Yudanta yang menulis surat itu. Dimas hanya diam menatap Yudanta dengan penuh siaga. Yudanta berjalan mendekati tempat tidur Dimas. Dia meletakkan sekeranjang buah kesemek di atas meja di samping Dimas.

"Aku datang ke sini untuk menjenguk teman tersayangku! Bukankah keterlaluan kalau kau menatapku seperti itu? Ini aku bawakan buah kesemek segar", kata Yudanta sambil menunjuk sekeranjang buah.

"Kkkkrrrrkkkk", terdengar suara kayu yang bergesekan.

Yudanta menggeser kursi kayu ke samping Dimas. Lalu, Yudanta duduk di atas kursi itu dan mulai mengusap dahi Dimas. Dimas ingin menepis tangan Yudanta tapi tangannya terlalu lemas dan sakit untuk digerakkan. Dimas hanya pasrah saat Yudanta membelai rambut bagian depannya.

"Tanganmu sulit digerakkan ya? Apa perlu aku menyuapimu?" tanya Yudanta.

Yudanta mengambil satu buah kesemek. Kelopak buah kesemek itu mulus, tidak ada yang terlipat. Dia menyodorkan buah itu ke mulut Dimas. Dimas hanya diam dan menoleh ke arah lain untuk menghindari buah kesemek itu. Yudanta terus menerus memaksa Dimas agar mau memakan buah kesemek.

"Kalau Dimas tidak mau, ya jangan dipaksa", ucap seseorang dari belakang Yudanta.

Yudanta segera menoleh ke belakang. Ternyata itu Dawn. Dawn berjalan mendekati Yudanta dan Dimas. Lalu, dia merebut buah kesemek yang dipegang oleh Yudanta dan mengembalikan lagi ke keranjang buah.

"Dimas baru sadar dari operasinya. Dia masih harus berpuasa. Kenapa kamu baru ke sini?" tanya Dawn.

"Tadi sore aku masih cuci baju di sungai. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku baru tahu kejadian ini dari anak-anak yang sedang bercerita di markas. Lalu aku segera ke sini. Oh ya, Bang Dawn. Ini buah kesemek dariku untuk siapapun yang berjaga di sini. Bang Dawn kalau mau, ambil saja tidak apa-apa", ucap Yudanta.

"Terima kasih, ya. Kau memang rekan kerja rasa adik kandung", ucap Dawn sambil memeluk Yudanta.

Dimas melirik Dawn dan Yudanta yang sedang berpelukan dengan senyum sinis. Dimas menoleh ke arah lain karena terlalu malas melihat mereka berdua. Kemudian, Dimas berpura-pura tidur.

"Dimas sepertinya tertidur. Tidak baik kalau saya mengganggu tidurnya. Jadi saya pamit dulu ya, Bang!" pamit Yudanta.

"Baiklah. Hati-hati ya! Terkadang apa yang kita lihat tidak seperti kelihatannya", jawab Dawn.

Yudanta berjalan keluar ruangan. Setelah suara kaki Yudanta menjauh, Dimas kembali membuka matanya. Begitu membuka mata, dia langsung melihat Dawn sedang duduk memegang sebuah kesemek. Dengan sigap, Dimas langsung memegang tangan Dawn. Dimas menahan tangannya agar Dawn tidak memakan buah kesemek itu.

"Kenapa?" tanya Dawn.

"Aaarrgh… au… au… au", teriak Dimas kesakitan.

Dawn mengembalikan kesemek itu ke keranjang. Dia membantu Dimas untuk meluruskan tangannya kembali ke tempat berbaringnya. Tangan Dimas yang masih sakit tiba-tiba bergerak sendiri. Dimas tidak ingin Dawn memakan kesemek. Dimas mengerahkan semua energinya untuk menahan Dawn. Dia baru merasakan rasa sakit itu saat mendengar suara Dawn.

"Bang Dawn, Abang masih ingat dengan warga Kaliko yang diotopsi di Varignan?", tanya Dimas.

"Ya", jawab Dawn singkat.

"Karena ada teror di Desa Kaliko dan teror itu membawa korban. Yang Mulia memberi kita tugas untuk berpatroli di Desa Kaliko. Ternyata, patroli itu gagal. Ternyata, kegagalan itu disebabkan oleh sebuah surat", jawab Dimas.

"Surat?", tanya Dawn keheranan.

"Nanti ada patroli. Kembalilah. Jangan kirim barang hari ini. Itulah isi suratnya. Bang Dawn tahu siapa yang menulis surat itu?", jawab Dimas.

"Siapa memangnya?" tanya Dawn.

"Yudanta", jawab Dimas.

"Yudanta? Yang baru saja ke sini?" ucap Dawn tak percaya.

"Dia mungkin tak percaya kalau aku masih hidup. Itulah mengapa dia memberikan buah kesemek itu. Akan lebih baik jika Bang Dawn tidak memakan atau meminum apapun yang diberikan Yudanta", jawab Dimas.

"Baiklah. Jadi, barang apa yang dimaksud surat itu?" tanya Dawn.

"Kemungkinan barang itu adalah sarin. Warga Kaliko yang diotopsi di Varignan meninggal karena sarin. Kemungkinan, teror ketuk pintu di Kaliko didalangi oleh mereka yang menyuplai sarin ke Tirtanu. Tapi itu hanya dugaanku saja agar kita lebih berhati-hati. Sama seperti yang selalu Bang Dawn ajarkan pada kami. Terkadang sesuatu yang terlihat, tidak seperti kelihatannya", jawab Dimas panjang.

"Siapa yang akan datang ke sini?" tanya Raja Ehren.

"Tok.. Tok… Tok…", suara ketukan pintu tiba-tiba muncul tak berselang lama setelah Raja bertanya.

Semua orang yang ada di sana segera berbalik menatap pintu. Pintu yang tertutup dibuka, ada Yudanta yang berbalik ke arah pintu. Yudanta melihat jasad yang tertutup kain putih.

"XAVIIIERR…!" teriak Yudanta.

Yudanta yang histeris segera berlari ke arah jenazah berbaring. Wajahnya sangat tegang, kaget, dan tak percaya bahwa Xavier telah meninggal. Raja, Raefal, dan Jenderal Yoshi terus melihat ke arah Yudanta dengan tatapan bingung.

Yudanta segera membuka kain penutup. Terlihat wajah Xavier yang sudah berwarna putih pucat. Bibir Xavier sudah memutih. Tanda bahwa tidak ada lagi darah yang mengalir ke bibirnya. Menyadari bahwa Xavier sudah meninggal, Yudanta menangis sejadi-jadinya.

Melihat Yudanta menangis seperti itu, sontak mengingatkan Raja Ehren pada dirinya sendiri pada saat ayahnya meninggal. Saat Yudanta menunduk dan memeluk Xavier, Raja menatap ke arah Jenderal Yoshi. Jenderal Yoshi mengangguk sekali dan melirik ke arah luar. Dia meminta Raja Ehren berbicara berdua dengannya di luar kamar Xavier. Jenderal Yoshi dan Raja Ehren berjalan keluar. Sementara Raefal, mengumpulkan sisa-sisa energinya untuk berdiri dan menenangkan Yudanta.

"Orang yang ku maksud itu adalah Yudanta", ucap Jenderal Yoshi setibanya di luar.

"Maksudmu?" tanya Raja Ehren.

"Orang yang menulis surat yang saya berikan pada Yang Mulia adalah Yudanta. Bentuk huruf di tulisan itu sama dengan tulisan Yudanta. Salah satu tulisannya ada di sebuah setrika. Xavier dan Dimas diserang saat ingin menyerahkan setrika itu pada Yang Mulia. Maaf, saya tidak bisa membimbing anak-anak dengan benar", kata Jenderal Yoshi.

"Jadi, di mana setrikanya?" tanya Raja Ehren.