webnovel

EP 015 - Jenazah

Musim Dingin, Tahun 1344

"Ini kan seragam dayang Istana Tirtanu? Benar gak sih?", tanya Ian kaget.

"Kok bisa? Daerah ini jauh lho dari istana", kata Ren.

"Siapa orang yang paling berkuasa di sini?" tanya Ghazi pada warga yang mengerumuni jasad itu.

"Pak Kepala Desa", jawab warga di sana.

"Baiklah, mari kita bawa jasad ini ke tempat aman lalu tolong panggilkan Pak Kepala Desa", kata Darsh.

"Aku akan memanggil Jenderal Calvin dan membawa pulang semua belanjaan bersama Ian", kata Eiham.

Jasad dayang tersebut dipindahkan dari tepi sungai ke bawah pohon. Dayang itu menggunakan pakaian putih yang ditutup dengan rompi biru dongker. Rompi itu memiliki motif bunga nanohana dan suisen. Tidak ada identitas diri disana.

Tidak ada satupun luka di badannya. Bekas goresan kayu pun tidak ada. Tidak ada tanda khusus yang ditinggalkan pembunuh, kalau jasad ini korban pembunuhan. Tidak ada petunjuk apapun tentang penyebab jasad ini meninggal.

Pak Kepala Desa sudah datang dan Jenderal Calvin juga sudah datang. Jenderal Calvin meminta izin pada Kepala Desa untuk memeriksa jasad. Dia mengeluarkan kertas yang diberikan Alatariel. Ternyata, terdapat sisa gas Sarin yang membeku dalam lubang hidungnya.

"Karena orang ini adalah dayang istana Tirtanu, bolehkan kami membawanya?" tanya Jenderal.

"Boleh. Tapi tidak sekarang. Dia harus diperiksa terlebih dahulu oleh perangkat desa di sini dan keberadaannya perlu dicatat", kata Kepala Desa.

Pada tahun 1344, tidak ada ruang otopsi khusus selain di kompleks Istana Tirtanu. Jenazah itu disemayamkan di balai desa untuk diperiksa, dicatat, dan dicaritahu identitasnya. Badan jenazah itu agak membengkak tapi masih utuh karena beku. Agar jenazah tetap awet, peti matinya diisi dengan salju.

Darsh dan Ghazi bertugas untuk menjaga jenazah. Sedangkan anggota yang lain pulang ke penginapan dan melakukan persiapan untuk pulang. Setelah sampai, mereka makan malam sambil berdiskusi.

"Bagaimana cara kita membawa jenazah itu?" tanya Eiham.

"Bagaimana kondisi Jenderal? Apakah luka anda sudah sembuh?" tanya Ezra.

"Aku baik-baik saja. Aku masih bisa jalan", jawab Jenderal Calvin.

"Lalu, bagaimana kondisimu Jiru?" tanya Hoshi.

"Aku sudah makan sampai kenyang. Mungkin besok pagi aku sudah bisa berjalan", kata Jiru.

"Baiklah, bagaimana kalau jenazahnya kita angkut dengan kereta luncur?" usul Eiham.

"Kereta luncur hanya bisa dipakai di atas salju. Selain itu kita harus membawa kuda-kuda untuk pulang. Kudanya ada 10 lho." kata Ian.

"Kereta luncur nya juga ada 3", kata Jiru.

"Ya sudah, kudanya diikatkan saja ke kereta luncur. Satu kereta luncur dinaiki 1 orang pengemudi dan ditarik 1 kuda. 1 kereta kuda diisi dengan jenazah, sedangkan kereta kuda yang lain diisi barang bawaan. Tinggal sisa 7 orang dan 7 orang ini yang naik kuda", usul Jenderal Calvin.

"Kereta luncur kan hanya bisa dinaiki di salju. Kalau kita lewat jalan tanah bagaimana?" tanya Ren.

"Ya didoronglah. Kita tidak sedang buru-buru kan?" kata Ezra.

"Oh ya, kita juga perlu kirim elang untuk mengabari istana tentang penemuan jasad dayang istana", kata Hoshi.

"Sekarang sudah tengah malam. Tidak ada pos elang yang buka. Kita baru bisa kirim elang besok pagi", kata Ian.

"Ok. Semuanya sudah beres. Sekarang saatnya kita memeriksa hasil buruan dokumen di Terra Nullius", kata Jenderal Calvin.

Setengah malam dihabiskan untuk berdiskusi. Tim Araukaria juga memeriksa dokumen yang dibawa dari Terra Nullius. Sebagian dari mereka juga ada yang berkemas untuk persiapan pulang besok.

"Bagaimana bisa? Semua kerajaan punya stok cairan sarin. Bukankah pedagang toko 'Semua Barang Ada' bilang kalau tidak ada yang menjual sarin di Tirtanu", Dhafi kaget.

"Bukan hanya Tirtanu yang punya tapi juga Andalan, Kepanu, Eldamanu, Jamujunu, Gaharunu, dan Damaranu juga. Sepertinya mereka semua menyiapkan sarin sebagai senjata biologis untuk perang di masa depan", tambah Jenderal Calvin.

"Perang? Di situasi yang damai ini? Untuk apa?" Hoshi keheranan.

"Kekayaan dan kejayaan. Untuk apalagi kalau bukan itu? Bagi sebagian orang, perang adalah cara memanen kekayaan yang tak terbatas. Baik pihak yang menang atau kalah, semuanya akan punya hutang negera", jawab Jenderal Calvin.

Pagi sudah tiba. Ren telah mengirim surat pada istana melalui elang pos. Jenderal Calvin dan Ian menjemput jenazah di balai desa menaiki kereta luncur. Hosh, Dhafi dan Jiru memasukkan bekal pada kereta luncur. Ezra dan Eiham menjemput kuda yang dititipkan di peternakan. Mereka sepakat untuk berkumpul di sebuah tugu perbatasan desa.

Beberapa jam kemudian, mereka bertemu lagi di tugu perbatasan desa. Mereka melakukan perjalanan dengan cara yang telah dirundingkan tadi malam. Butuh beberapa hari untuk tiba di istana.

Satu hari berikutnya, Elang sudah tiba di istana. Elang itu langsung masuk ke ruang kerja Penjaga Tahta Alatariel melalui jendela. Untungnya Alatariel sedang berada di sana. Dia segera membuka surat yang ada di kaki Elang.

"Sebuah jenazah dayang Istana Tirtanu ditemukan di sebuah desa dekat Terra Nullius. 7 kerajaan besar punya stok cairan sarin", Putri Mahkota Alatariel membaca tulisan dalam surat. Pada kaki Elang itu juga dilampirkan sketsa wajah dayang.

"Tolong panggilkan semua dayang yang ada di istana ini ke aula besar", perintah Putri Alatariel ke salah satu staf kerajaan.

Satu persatu dayang mulai masuk ke aula besar. Semakin lama, ruangan semakin ramai dan terasa penuh sesak. Namun ada satu dayang yang tiba-tiba wajahnya pucat saat tahu bahwa Putri Mahkota Alatariel memanggilnya. Wajahnya yang ceria tiba-tiba berubah menjadi ketakutan. Saat dayang yang lain pergi ke aula besar, dia memilih untuk bersembunyi di lemari yang ada di dapur.

Dayang yang sudah hadir diminta untuk berbaris dengan rapi. Putri Mahkota menanyai satu persatu dayang. Putri Mahkota melakukan ini untuk mencari tahu identitas dayang tersebut.

"Apa kau kenal dengan dayang ini?" tanya Putri Mahkota. Dia menanyakan pertanyaan ini puluhan kali. Dayang yang ada di aula besar semakin lama semakin sedikit karena tidak ada dayang lain yang mengenalinya.

Awalnya, putri Mahkota baik-baik saja. Namun semakin lama dia semakin frustasi. Sudah lebih dari 4 jam dia ada di sana untuk menanyai dayang satu persatu namun hasilnya masih nol. Saat dayang istana tinggal 17 orang, datanglah sebuah keajaiban.

"Apa kamu kenal dengan dayang ini?" tanya Alatariel.

"Ya, saya kenal. Bukankah ini Bu Hala?" jawab seorang Dayang.

"Apakah kamu yakin?", Alatariel memastikan jawabannya.

"Yakin 100%. Wajahnya memang bengkak dan dia terlihat gemuk. Tapi saya yakin dia Bu Hala. Kami datang dari desa yang sama dan rumah kami berdekatan. Kami sudah berteman sejak masih kecil. Walaupun ada banyak perubahan wajah dan badan, saya tetap bisa mengenalinya", jawab dayang itu.

"Bu Hala sudah meninggal. Jenazahnya ditemukan membeku di sebuah desa dekat Terra Nullius. Sekarang, jenazahnya sedang ada di perjalanan", kata putri penjaga tahta.

"Ya Tuhan... Bagaimana bisa orang sebaik dia meninggal dengan cara seperti ini?" ucap Dayang itu dengan suara bergetar. Dia kaget dan sedih saat mendengar kabar kematian teman masa kecilnya.

Setelah menunggu cukup lama, Dayang yang bersembunyi di dalam lemari akhirnya keluar. Dia adalah salah satu Dayang yang bekerja di dapur. Namun terkadang dia juga menemani Putri Mahkota kemanapun.

"Bu Dianti, kamu kok di sini? Tidak ikut ke aula besar?" kata Dayang lain yang baru datang dari aula besar.

"Aku sudah datang kok. Ini aku baru kembali", jawab Bu Dianti kaget.

"Masak sih? Kok aku tidak lihat Bu Dianti di aula besar?" Dayang itu keheranan.

"Mungkin karena terlalu banyak orang di sana, jadi ibu tidak melihatku. Aku ambil air dulu ya di sumur", jawab Bu Dianti.

Bu Dianti mengambil ember dan keluar dari dapur. Dia sengaja menggunakan alasan mengambil air untuk menghindari perdebatan dengan dayang itu. Akan besar hukumannya jika dia ketahuan menghindar dari interogasi Putri Mahkota. Dia bisa dianggap bersekongkol dalam kejahatan.

Setelah mengambil air dari sumur, tiba-tiba pandangannya tertuju pada pagar tembok. Pagar itu cukup rendah, hanya setinggi leher orang dewasa. Saat itulah, tiba-tiba ide untuk kabur datang.

Bu Dianti segera memasukkan air kembali ke sumur. Dia menggunakan dua ember kosong sebagai pijakan kaki. Setelah berhasil melompati pagar, Bu Dianti segera lari.

"Berhenti...!!!" teriak seorang penjaga memergoki Bu Dianti.