webnovel

Forgive Me, Snow

Dia Little Snow yang harus tinggal bersama dengan ibu tirinya dan juga harus menerima semua banyaknya kebencian orang-orang yang ada di sekitarnya. Kehidupan Snow tak seindah dengan kehidupan Snow yang ada di film Disney. Snow harus berusaha untuk menerima semua kehidupannya yang begitu menyedihkan dan selalu dianggap tak berguna oleh semua orang yang ada di lingkungannya. Snow tak pantang menyerah, dia lebih memilih untuk menerima semuanya dengan ikhlas. Ah... Apakah Snow akan berakhir happy ending sama seperti film Snow White pada film Disney yang dia tonton? *** "Anak sialan! Kamu hanya menumpang di rumah saya, jadi kamu harus bekerja lebih banyak untuk saya!" - Andin Acheyya. "Wanita menjijikkan seperti lo itu nggak pantas untuk ditolong dan dikasihani." - Aldean Pranegara. "Dia adalah Puteri di dunia nyata. Tidak seperti kamu yang berperan sebagai iblis di dunia nyata, Kinara!" - Anggara Arcale "Snow selalu di bawah gue! Dia nggak akan pernah berada di atas gue!" - Kinara Acheyya "Aku tidak butuh harta ataupun sejenisnya, aku hanya butuh kasih sayang dan juga sedikit kebahagiaan. Itu sudah cukup dan sudah banyak bagiku." - Little Snow. *** Ikuti kisah Little Snow di dalam buku ini. Selamat membaca ^^

Fitriani_nstr · Teen
Not enough ratings
134 Chs

Tugas Baru Lagi

Jam menunjukkan angka dua belas yang artinya waktu istirahat telah dimulai.

Snow melangkahkan kakinya dengan cepat untuk berjalan menuju kantin sekolah, sesekali tangan mungilnya memperbaiki letak kacamata yang dia gunakan.

Snow menundukkan kepalanya sambil berjalan karena dia terlalu takut dan terlalu malu untuk memperlihatkan wajahnya kepada semua orang yang ada di sekolah itu.

"Bu, air mineralnya satu," kata Snow lembut sambil menyodorkan selembar uang lima ribuan kepada sang penjual.

"Makasih, Bu," ucapnya lagi saat setelah dia mendapatkan sebotol air mineral dan juga uang kembaliannya.

Snow melangkahkan kakinya dengan cepat untuk berjalan menuju lapangan sekolah. Ah ... Jangan lupakan kalau di setiap perjalanan Snow selalu saja mendapatkan caci maki dan hinaan, tetapi Snow lebih memilih untuk tidak peduli akan hal itu.

Snow menghentikan langkah kakinya usai berada tepat di tepi lapangan, pandangannya mengitar untuk mencari seseorang yang tadinya membuat dirinya merasa bersalah.

"Ah ... Itu Debara!" pekik Snow sambil tersenyum dengan begitu lebar.

Snow berjalan perlahan mendekati Debara yang tengah duduk di kursi mini yang ada di tepi lapangan.

Debara mengerutkan keningnya saat melihat kehadiran Snow yang ada di hadapannya, sedangkan Snow malah menatap Debara dengan tatapannya yang masih terlihat tenang dan biasa-biasa saja.

"Ini buat kamu," ucap Snow sambil menyodorkan air mineral yang tadinya dia beli di kantin sekolah.

Debara menjatuhkan pandangannya untuk menatap air mineral yang dipegang oleh Snow.

"Aku tahu kalau kamu pasti capek, kan?" tanya Snow yang masih setia untuk menyodorkan air mineral itu.

Debara mengangkat pandangannya, lalu kedua bola matanya menatap Snow dengan tatapannya yang begitu tajam. Snow langsung menundukkan kepalanya karena merasa takut dengan tatapan Debara.

"Lo ngehina gue?!" tanya Debara emosi.

Snow menggelengkan kepalanya.

"Alah alasan! Lo cuma sok cari muka sama gue, kan?! Soalnya gara-gara lo, gue di hukum kayak gini! Anjing lah!" pekik Debara emosi sambil menatap Snow dengan begitu geram dan penuh emosi.

Snow menundukkan kepalanya dan tangannya mulai bergetar karena takut dengan Debara.

Srek!

"Aww!"

Debara menarik rambut sebahu Snow dengan kasar sehingga membuat Snow langsung meringis karena kesakitan.

"Debara..." lirih Snow sambil berusaha untuk melepaskan tarikan Debara.

"Lo udah buat gue malu! Sialan!" kata Debara emosi.

"Gue anak hits di sekolah ini dan sialnya di hukum sama guru cuma gara-gara anak buluk kayak lo!" kata Debara emosi.

"Maaf..." lirih Snow sambil memegang tangan Debara dan berusaha melepaskan tarikan Debara.

Debara tersenyum sinis, lalu kemudian dengan tenang dia mendorong Snow sampai wanita itu terjerembab di atas lantai lapangan yang terbuat dari tembok itu.

Air mineral botol yang dipegang oleh Snow terjatuh di atas lantai dan pecah, sehingga membuat semua air yang ada di dalamnya tumpah di atas lantai.

"Ogah gue minum minuman dari cewek buluk dan jelek kayak lo!" kata Debara sarkas.

"Yang ada itu penuh bakteri!" kata Debara lagi sambil mendecih sinis.

Snow menundukkan kepalanya dengan dalam, sedangkan Debara kembali menarik rambut sebahu Snow.

"Deb..." lirih Snow sambil merasakan nyeri pada kepalanya itu.

"Lo mau tolong gue, kan?" kata Debara bertanya, sedangkan Snow terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Debara.

"Lo mau bantu gue, kan?!" tanya Debara emosi sambil mengeraskan jambakannya pada rambut Snow.

Snow menganggukkan kepalanya dengan cepat sebagai jawaban karena sudah tak sanggup lagi untuk menahan nyeri pada kepalanya.

Debara tersenyum menyeringai saat melihat jawaban Snow, lalu melepaskan jambakannya pada rambut Snow.

"Ya udah ... Lo bersihkan semua WC guru sampai tuntas. Kata lainnya, sih ... Lo gantiin posisi gue buat bersihkan WC guru," kata Debara tenang, sedangkan Snow sudah menduga kalau permintaan tolong itulah yang diinginkan oleh Debara.

"..."

"Lo mau bantuin gue, kan?" tanya Debara geram.

Snow menganggukkan kepalanya dengan reflek karena dia tak bisa melawan Debara yang begitu kuat dan juga dia tidak mampu untuk menolak apa yang diminta oleh Debara.

Debara tersenyum lebar, lalu kemudian merenggangkan otot-ototnya yang terasa begitu kaku karena lelah berlari keliling lapangan beberapa putaran.

"Ya udah ... Jalanin tugas lo. Gue mau ke kantin buat isi perut," kata Debara dengan santai, lalu berjalan menuju kantin dan tidak menunggu jawaban dari Snow.

Snow menatap kepergian Debara dengan nanar, lalu kemudian menghela nafas dengan panjang.

"Hah ... Setidaknya aku bisa membantu Debara. Lagipula, ini salah aku juga, sih, sampai Debara dihukum kayak gitu sama guru," gumam Snow sambil menghela nafas.

Snow membalikkan badannya dan bermaksud untuk berjalan menuju WC guru yang berada di lantai dua, tetapi dia langsung terjerembab di atas lantai karena seseorang dengan sengaja menyandung kakinya.

Brugh!

Snow menggigit bibir bawahnya untuk menahan ringisan yang ingin keluar dari dalam mulutnya, dia terlalu banyak meringis hari ini.

"Aduh ... Tumben banget lo nggak meringis?!" tanya sang pelaku sambil tertawa pelan, tetapi memasang wajah kecewanya. Ya, dia kecewa karena Snow yang tidak meringis.

Snow mengangkat pandangannya sambil menatap orang itu dengan sedih.

"Apa salah aku?" tanya Snow di dalam hatinya.

"Si buruk rupa mau kemana, sih?" tanya sang pelaku sambil tersenyum dengan manis kepada Snow.

Snow bergeming dan tidak merespon apapun selain hanya diam saja sebagai jawaban.

"Ck ... Kayaknya dia bisu, An!" kata salah satu teman sang pelaku.

"Iya, An. Dia bisu kayaknya," lanjut salah satu temannya lagi.

Aldean sang pelaku memutar kedua bola matanya dengan begitu malas, lalu kemudian berjongkok di hadapan Snow.

Aldean mengangkat dagu Snow dengan menggunakan jari telunjuknya, lalu kemudian menatap kedua bola mata itu dengan datar.

"Loker gue udah kotor banget..." Aldean menjeda ucapannya, lalu perlahan mengelus lembut wajah Snow dengan menggunakan jari jemarinya.

"Bersihin, yah..." lanjutnya lagi dengan nada suara yang begitu lembut.

"Tapi ... Tapi aku ads tugas lain, An," kata Snow pelan.

"Aku gak bisa ikuti apa mau kamu untuk saat ini, An," kata Snow lagi dengan takut.

Aldean menggertakkan giginya saat mendengarkan penolakan dari Snow, lalu kemudian dengan kasar dia mencengkram dagu Snow karena emosi.

"Lo tolak perintah gue?!" tanya Aldean emosi.

Snow menggelengkan kepalanya dengan cepat, air matanya mulai perlahan mengepul pada kedua bola mata indahnya.

"Jiahhhh! Anaknya mau nangis, An!" ledek salah satu teman Aldean dan Snow dengan cepat memejamkan matanya dan berharap agar dia tak menangis.

"Nangis dong, Salju. Gue gak pernah lihat lo nangis soalnya," kata Aldean sambil sedikit berbisik di telinga Snow.

Snow menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, dia tak ingin terlihat lemah di depan Aldean. Dia tak ingin menangis di depan Aldean yang selalu menindasnya.