2 2. Roti Ajaib

Selesai makan soto yang cukup pedas karena Pradita menambahkan sambal yang cukup banyak, belum lagi di luar udaranya panas sekali, Pradita bangkit berdiri lalu mengembalikan mangkuk ke ibu kantin.

Keringat bercucuran membasahi dahi, rambut, punggung, dan keteknya. Rasanya pasti segar sekali jika berendam di kolam renang yang dingin sambil menikmati es kelapa muda.

Uh tapi semua itu hanya tinggal angan-angan. Jam praktikum tinggal sebentar lagi. Buru-buru Pradita mengenakan labjas dan menyiapkan jurnalnya. Danu mengantarnya ke laboratorium kimia, lalu melambai padanya.

Hari ini bukan jadwalnya praktikum kimia. Jadi Danu kemudian pergi ke ruang komputer. Pradita hanya balas menjulurkan lidah padanya.

Ibu Lili membahas sedikit tentang apa yang akan mereka praktekan hari ini. Rasanya Pradita lelah sekali. Kakinya pegal. Perutnya mulas. Mungkin karena ia terlalu banyak makan sambal tadi. Keringat terus saja bercucuran. Padahal rambutnya dibob pendek, tapi masih saja terasa panas.

Sekolah elit tapi tidak ada AC di lab kimia. Yang ada hanya jendela-jendela besar berjejer di sisi kanan lab, menampilkan pemandangan lapangan sepak bola luas nan hijau.

Akhirnya selesai Ibu Lili berbicara, Pradita beserta anak-anak lainnya menuju ke meja masing-masing. Ia membuka jurnalnya. Kemudian ia berkutat dengan buret dan erlemeyer. Pradita benci sekali dengan benda itu.

Buret itu terbuat dari kaca, mudah pecah. Belum lagi bentuknya yang kurus panjang seperti tabung, mencuat ke atas, ditahan oleh besi penahan. Kalau saja ia tidak hati-hati, maka ia bisa saja memecahkannya.

Tidak ada bedanya dengan erlemeyer yang sedang digoyang-goyang di tangannya. Benda itu juga mudah pecah. Labu ukur juga dari kaca. Ugh! Semua benda di tempat ini serba mudah pecah, sungguh berbahaya.

Pradita mengernyit ketika cairan berbau asam itu menguar dari erlemeyer yang dipegangnya. Sungguh menjijikan. Sembari melihat-lihat teman yang lain dan mengingat apa yang Ibu Lili katakan, akhirnya ia berhasil melakukan percobaan.

Ia memperhatikan angka yang tertera di buret lalu menulisnya di buku jurnal. Lalu ia menghitung sesuai dengan rumusnya.

Oke lumayan. Ternyata tidak sesulit itu. Hore! Pradita bersorak dalam hati.

Selesai praktikum, Pradita beres-beres lalu keluar dari lab. Ia melepaskan labjas dan memasukannya ke dalam tas. Dari kejauhan Danu berlari menghampirinya.

"Hai!" sapa Pradita.

Danu tidak balas menyapa. Ia malah melepaskan jaketnya lalu menutupi pinggul Pradita dengan benda itu, mengikatnya di bagian perut.

"Ngapain?"

"Lu lagi mens ya?" tanya Danu dengan wajah biasa-biasa saja.

Pradita terkesiap malu. Ia menyingkap jaket Danu, lalu menoleh ke belakang untuk melihat rok belakangnya. Sebuah bulatan noda merah kecoklatan menodai roknya.

"What?!" seru Pradita histeris. "Pantesan tadi kayak ada yang cer-ceran. Haduh gimana dong? Gua belum pake pembalut. Bisa bocor sepanjang jalan kenangan nih!"

Danu mendesah lalu menyeringai. "Terus gua harus bantuin apa dong?"

Pradita tersenyum setengah hati. "Lu bisa beliin gua pembalut gak?"

"Gila lu! Masa gua disuruh beli yang gituan? Gak mau ah!" Danu menyentak sebelah bahunya.

"Plis plis plis. Gua gak mau jaket lu ampe kena darah gua. Tapi kalo lu rela sih ya udah. Terserah. Gua gini aja sampe rumah."

"Lu ngancem gua sih?" Danu mendorong tangan Pradita. "Lu kan bisa beli sendiri di minimarket."

"Jarak dari sini ke minimarket lumayan berapa meter. Terus abis dari sana, gua musti balik lagi ke WC sekolah buat pake pembalut. Kolor gua udah keburu jibrug dong!"

Jibrug maksudnya adalah basah a.k.a becek.

"Euh! Lu tuh ya. Kalau kira-kira udah mau men, jangan lupa bekel roti dong."

"Eh Danu Wibawa tau aja soal roti," goda Pradita.

Ia tertawa, jarang sekali ia menyebut nama lahir Danu. Ia selalu menyebutnya Cuk Cuk Cuk. Dan sama seperti Danu yang selalu menyebutnya Coy Coy Coy.

Tawanya sepertinya agak menekan perut bawahnya, sesuatu yang basah sepertinya mengalir lagi di sana.

"Gawat, Cuk! Kayaknya gua ngompolin jaket lu deh. Udah buruan lu beliin gua pembalut. Gua mau sembunyi dulu di WC. Okeh?"

"Sialan lu!" Danu memukul kepala Pradita dengan buku jurnalnya.

Pradita nyengir lebar. Ia menjelaskan merk pembalut yang biasa ia pakai. Setelah itu Danu berlalu. Pradita memperhatikan punggung Danu yang tampak lebar dan gagah. Caranya berjalan dari belakang terlihat cukup keren. Pradita menggelengkan kepalanya sambil mengerjap.

Ia sudah sering, bahkan terlalu sering memperhatikan Danu berjalan. Mana mungkin ia tiba-tiba merasa terkesima.

Setengah jam berlalu. Pradita sudah tidak sabar lagi bersembunyi di WC. Selain aromanya yang kurang memuaskan, ia juga merasa tidak nyaman. Ia sudah buang air kecil dan melihat kondisi celana dalamnya yang basah oleh darah. Belum lagi setitik darah menodai jaket denim milik Danu yang berwarna biru cerah. Bagaimana ia bisa tidak memperhatikan tanggal di kalendar? Sungguh ceroboh.

"Coy! Coy!" Terdengar suara Danu dari luar WC.

"Iya gua di sini!" seru Pradita.

"Keluar dong, Coy. Masa gua yang nyamperin lu?"

Kemudian Pradita menongolkan kepalanya di pintu WC sambil nyengir lebar. "Mana, Cuk?"

Danu menyerahkan sebuah keresek berisi roti ajaib.

"Makasih ya, Cuk. Bentar gua pasang pengaman dulu ya."

Selesai mengganjal celana dalamnya dengan pembalut, lalu bersih-bersih, akhirnya Pradita keluar dari WC.

"Makasih ya, Cuk."

"Lu tadi udah bilang gitu ke gua."

"Iya. Lu udah nolongin gua dua kali hari ini." Pradita mengulum senyum.

Danu menyipitkan matanya, menatapnya curiga. "Tumben lu ngomong kayak gitu. Pasti ada maunya nih."

"Lah kan gua lagi berterima kasih. Emangnya lu ga suka?"

"Suka. Eh gimana maksudnya?" Danu menggosok tengkuknya. "Maksudnya gua suka aja lu ngomong baek-baek ke gua, gitu. Bukan gimana-gimana."

"Emang gimana-gimana apa maksud lu?" tanya Pradita menyelidik.

"Ah si Acoy! Udah deh daripada lu bikin gua pusing, mending sekarang kita pulang. Udah sore nih. Gua udah laper lagi," protes Danu.

"Oh wait!" Pradita mengeluarkan coklat dari tasnya. Syukurlah coklatnya tidak meleleh, tapi ya tidak keras juga. Ia membagi dua coklat lembek tersebut, lalu memberi setengahnya pada Danu.

"Asyik!" Danu meraih coklat itu. Mereka sama-sama menikmati coklat sambil berjalan menuju ke gerbang sekolah.

avataravatar
Next chapter