10 Kesempatan

Pagi - pagi sekali seluruh masyarakat dikejutkan dengan banyaknya mayat bergelimpangan. Darah tercecer dimana-mana, beberapa bagian tubuh lepas dari tempatnya. Mereka mati mengenaskan.

Tempat pelelangan wanita itu dalam semalam berubah menjadi tempat jagal manusia. Para saksi, yakni gadis - gadis yang hendak dijual hanya terbungkam dengan tubuh gemetar. Mereka menitikkan air mata antara ngeri dan bahagia.

Bahagia karena para manusia laknat itu telah mati.

Sang pembantai begitu cepat dalam menghabisi korban hingga nyaris tak terlihat wujudnya. Yang mereka ketahui hanyalah sekelebat bayangan putih melesat bagai petir. Dalam satu sayatan, tubuh manusia - manusia itu sudah tersungkur. Jeritan kesakitan terdengar di sepanjang rumah yang menjadi penyalur para wanita.

Tidak ada yang dilukai selain para manusia tak bermoral. Penjual wanita maupun pembeli yang siap menampung gadis - gadis yang hendak diperbudak.

Kerumunan dibubarkan setelah petugas keamanan datang dan membereskan mayat - mayat tersebut. Kejadian ini sama halnya dengan kematian satu keluarga secara tragis, yakni kematian bangsawan Haye. Tidak ada yang tahu penyebab dan siapa yang bertanggung jawab atas kematian mereka. Dan hal ini menimbulkan keresahan bagi warga di sekitar.

Orang - orang mulai bergumam dan menyebarkan rumor bahwa siluman maupun makhluk tak kasat mata lah yang melakukan semua ini.

Dan tak jauh dari sana. Di tengah kerumunan penduduk yang memadati lokasi TKP. Seseorang menarik sudut bibirnya. Pria itu kemudian berjalan pelan menjauhi kerumunan dan menghilang layaknya ninja.

****

Suwa membasuh wajah. Air sungai terasa menyejukkan. Mengatur jantung yang sejak kemarin berdegup gila. Dirinya mencoba menstabilkan pikiran.

Kemarin, sang Falcon terakhir telah melakukan pembunuhan lagi dan itu atas perintah dirinya. Kini, entah kenapa rasa cemas menyelimuti gadis itu.

Seharusnya kau tertawa bahagia Suwa, menyingkirkan manusia-manusia tak berhati seperti mereka. Meloncat penuh kemenangan, kalau perlu kau datang mengejek dan meludahi wajah-wajah brengsek itu.

Menyaksikan bagaimana mereka merenggang nyawa dengan tawa lebar.

Tapi Suwa tak berani melakukannya. Kemarin, dia hanya beringsut duduk di bawah pohon sembari menutup mata dan telinga saat Ludra menghabisi mereka. Tubuhnya bahkan ikut gemetar membayangkan bagaimana makhluk bermata perak itu melancarkan aksinya.

Seharusnya dia bahagia bukan?

Tapi kenapa hatinya menjadi tidak enak dan merasa berdosa?

Ya ampun bodoh Suwa singkirkan pikiran itu!

Runtuknya dalam hati.

Sedari tadi ia mondar - mandir tak karuan, sesekali memainkan kedua tangan merasa gelisah tanpa sebab.

Zie sang elang raksasa yang duduk menselonjorkan tubuhnya di atas tanah ikut menggerakkan bola mata ke kiri dan kanan mengikuti arah gadis itu. Zie merasa pusing sendiri.

Sementara Ludra hanya memperhatikan tingkah gadis itu dengan ekspresi datar.

"Aku mencium kekuatan semakin meningkat."

Sebuah suara menghentikan pergerakan Suwa. Dirinya menoleh, berikut dengan Ludra maupun Zie.

Gadis itu menelengkan kepala. Manik gelapnya memandang bingung. Siapa pria yang tiba - tiba muncul di balik pohon?

Pria tua bermata biru dengan berbagai keriput di wajah tersenyum lebar. Melangkah menghampiri Suwa.

"Siapa?" Suwa setengah waspada sembari menyimpitkan mata. Mengingat apakah dia pernah bertemu dengan pria ini.

"Kau tak ingat aku?" Lelaki tua itu memasang wajah sedih. Mata birunya melirik Ludra yang terlihat acuh. Tak menghiraukan kedatangannya.

"Kita kan pernah bertemu." Ucap pria itu sekali lagi.

Kerutan di dahi Suwa semakin bertambah.

Pria tua ini sangat aneh.

Jelas bukan manusia.

Berlari menjauh. Suwa beringsut mencari perlindungan kepada Ludra.

Wajah pria tua bermata biru itu semakin masam. Dengan sedih yang dibuat - buat ia berkata penuh drama, "Kenapa aku selalu dilupakan?"

"Jelas saja. Kau selalu merubah wajahmu Momoru." Seru Ludra membuat Suwa yang merapat kepadanya melebarkan mata.

Dia ingat nama itu.

Yang dipanggil Momoru tergelak, "Ahh iya. Aku lupa." Dirinya menyapu wajah dengan sebelah tangan. Dan sedetik kemudian wajah pria itu berubah.

Suwa kembali melebarkan mata. Tercengang melihat hal ajaib sekali lagi. Sepertinya dari sekarang ia harus mempersiapkan mental. Bersama sang Falcon ia harus melihat hal-hal tak masuk akal lainnya.

Dan kini ia sangat ingat betul siapa pria itu. Dia adalah penyihir brengsek yang dengan sengaja menggiringnya membangkitkan sang Falcon.

Entah kenapa wajahnya terlihat menyebalkan.

Suwa mendengus. Ingin sekali meninju penyihir ini.

"Kenapa kemari?" Tanya Ludra.

Momoru melirik sejenak wanita yang terang - terangan memberi tatapan tidak suka padanya. Terkekeh sesaat, ia kembali mengalihkan atensi kepada Ludra.

"Sang kegelapan sudah tahu keberadaan anda. Berhati-hatilah!"

Ludra mengangguk.

"Hmm... Apakah dia sudah melakukan tugasnya dengan baik tuan?" Momoru kembali berucap. Kali ini menatap langsung wanita yang menjadi pemanggil Falcon.

Sungguh tatapan itu sangat menyebalkan. Sebelum Ludra sempat menjawab, gadis itu terlebih dulu berseru, "Tentu saja sudah. Kau bisa mencium sendiri kekuatan Ludra yang semakin besar."

Momoru berkedip sejenak. Perlahan bibirnya melengkung kemudian tertawa nyaring sampai tubuhnya ikut berguncang. Menganggap ucapan gadis itu adalah sesuatu yang lucu.

Merasa ditertawakan. Suwa tidak tahan untuk melemparkan batu ke arah penyihir tersebut.

"Ternyata makhluk legendaris ada yang gila juga." Bisik Suwa pada Ludra.

Namun tentu saja sang Falcon tidak menanggapi. Membuat Suwa berdecak semakin jengkel.

Dua makhluk legendaris yang bersamanya memiliki karakter beda tapi sama-sama membuat orang naik darah.

Momoru menghentikan kekehannya saat menerima tatapan tajam Ludra. Berdehem sekali, ia berseru, "Sepertinya tuan Ludra belum memerintahkan tugas yang sebenarnya."

"Pergilah Momoru!" Usir Ludra begitu dingin.

Suwa tersenyum senang. Tindakan yang

bagus!

"Hahaha." Momoru kembali tertawa melihat Suwa yang terlihat semangat dirinya diusir, "Saya akan pergi tuan dan semoga kau tidak merindukanku nona."

"TIDAK AKAN!" Suwa menyahut ketus.

Momoru kembali tertawa sebelum akhirnya menghilang.

Suwa menghela nafas lega. Satu makhluk menyebalkan telah pergi.

Tapi...

Suwa menelengkan kepala, tiba - tiba teringat kalimat ambigu yang penyihir itu katakan sebelum pergi.

****

Aira berdiri mematung. Manik cokelatnya mengerjap. Menatap sesuatu yang bergerak di balik semak-semak.

Saat ini, ia berada di taman kecil yang terletak sejajar dengan kamar tahanannya. Taman itu memang diperuntukan untuk dirinya.

Aira terus memperhatikan. Dia tadi seperti melihat sosok mengintip malu - malu di balik semak.

"Hey!" Panggil Aira.

Sosok itu menyembulkan sebagian kepalanya lagi. Menatap malu - malu wanita yang berdiri menjulang di hadapannya.

"Hey, kemari!"

Penasaran, Aira berjalan mendekat. Duduk berjongkok ingin melihat lebih jelas sosok apa yang tengah bersembunyi di sana.

Perlahan tangan makhluk itu bergerak. Mengusir semak yang menghalangi jalan. Makhluk itu perlahan keluar dari persembunyian.

Mata Aira melebar. Terpana. Entah makhluk apa yang dilihatnya. Yang jelas sosok di depannya jauh dari kata menakutkan.

Makhluk itu bertubuh mungil, pendek dan gembul. Telinganya runcing. Tekstur tubuhnya seperti jelly terlihat lunak. Terdapat empat tangan di tubuhnya seperti tentakel gurita. Mata bulat makhluk itu berkedip lucu dengan iris keemasan yang berkilau. Dan makhluk ini mempunyai rambut hijau seperti brokoli. Sangat menggemaskan.

Aira ingin menyentuh. Tetapi ia terkesiap saat makhluk tersebut tiba - tiba melengkungkan tubuh seperti bola.

"Huba."

Sebuah suara menyentaknya. Aira menoleh, mendapati Heise berjalan dan meraih makhluk mungil itu dalam gendongannya.

Makhluk yang dipanggil Huba seketika kembali menegakkan badan. Tersenyum menatap Heise.

"Dia adalah Huba. Monster kecil yang biasa dipelihara makhluk legendaris." Heise menyodorkan monster imut itu kepada Aira, "Untukmu!"

Aira menatap bingung.

"Kau bilang kesepian kan? Dia akan menemanimu." Ucap Heise, meletakkan kembali makhluk itu kemudian melangkah pergi.

Aira berkedip. Atensinya beralih kepada makhluk mungil tersebut.

Makhluk itu berdiri seperti bayi yang minta digendong. Menatap Aira dengan mata bulatnya yang polos.

Sangat lucu.

Aira tidak tahan untuk tidak menyentuhnya. Mengukir senyum, Aira membimbing monster kecil itu untuk mendekat, "Kemari Huba!"

****

"Kau memberi peliharaan pada peliharaan mu Heise." Sapa wanita yang berdiri menyenderkan punggung di pintu masuk.

"Jangan ikut campur urusanku!"

Wanita itu mendengus, "Tidak cukupkah kau bermain - main dengannya?." Ruby berjalan mendekat, "Dia akan membuatmu celaka."

Heise menarik sudut bibirnya, "Sebelum itu terjadi aku yang akan membunuhnya." Heise melangkah menjauh, melirik sejenak ke arah siluman rubah itu dan berkata, "Sebaiknya fokuskan mencari Falcon terakhir."

Siluman cantik itu meremas busana indahnya. Begitu sebal karena Heise tak pernah menggubrisnya.

"Kecemburuan akan menyelakaimu Ruby."

Suara centil menyapa. Terkekeh, mempelesetkan kalimat yang Rubi katakan pada Heise. Gagak itu perlahan berubah menjadi sosok gadis belia dengan pakaian berbelahan yang kelewat terbuka memperlihatkan paha mulusnya.

Ruby menyimpitkan mata tajam.

"Ups... Jangan cemberut." Siluman gagak itu mengatupkan mulutnya dengan punggung tangan.

"Kenapa kemari?" Ruby bertanya ketus.

"Aku mendapat kabar tentang jejak sang Falcon."

"Benarkah?"

Meilan, siluman gagak itu mengangguk. Meloncat - loncat histeris dia berkata penuh damba, "Ahh... Aku tak sabar melihat seperti apa wajah sang Falcon."

"Keturunan dewa perang pasti sangat tampan." imbuh Meilan menangkup pipi penuh drama membayangkan wajah rupawan musuh dari sang kegelapan.

Rubah ekor sembilan itu memutar bola mata jengah melihat kelakuan siluman yang satu ini.

****

Ludra berdiri, memainkan tangannya yang kini memancarkan sinar keemasan. Tanda bahwa kekuatannya semakin bertambah.

Ia juga tahu bahwa sang kegelapan sedang mengendus keberadaannya. Hanya butuh beberapa waktu saja, Dosta akan menemukan dirinya. Namun sebelum itu terjadi ia harus segera memulihkan kekuatan.

Melirik pelayannya yang tengah mencari ikan bersama Zie. Ludra melangkah menuju tengah hutan. Hutan manusia ini begitu lebat, hampir tak ada manusia yang masuk ke dalam hutan ini jika tidak ingin tersesat atau di makan binatang buas.

Kesuraman terlihat jelas. Ludra bisa merasakan adanya makhluk lain penghuni hutan tersebut. Membunuh manusia hanya menambah sedikit kekuatannya. Dia harus memburu hal lain. Siluman misalnya.

Suwa melihat Ludra yang melangkah merangsek ke dalam hutan dalam diam. Ingin mengikuti Ludra, namun langkahnya terhenti.

Tiba-tiba sebuah kesempatan terlintas di benaknya.

Makhluk itu meninggalkannya. Waktu yang tepat untuk kabur.

Suwa tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depan mata.

Dia ingin segera bebas. Apalagi kalimat terakhir si penyihir, jelas bukan sesuatu yang biasa. Dirinya mungkin akan dijadikan tumbal ataupun tameng.

Memastikan bahwa sang Falcon terakhir sudah menjauh. Sedikit demi sedikit dia berjalan mundur. Menoleh ke arah elang yang masih dalam wujud raksasa. Suwa bergumam, "Zie, aku cari buah - buahan. Kau teruslah mencari ikan, aku tidak memiliki keahlian memancing."

Sungguh konyol berbicara pada hewan, tetapi entah kenapa Suwa yakin bahwa elang putih itu bisa mengerti bahasanya. Tak mau terlalu lama, Suwa bergegas pergi.

Seperti ada kembang api menyala menghiasi langkahnya. Suwa bersorak bahwa akhirnya bisa terbebas dari makhluk itu.

****

Nb : Ludra adalah sosok yang tidak terlalu banyak bicara. Terispirasi dari karakter Shesemaru kakaknya inuyasha.

Suwa masih terus berkeinginan untuk kabur. Karena cita-citanya adalah hidup bebas tanpa dikendalikan orang lain.

avataravatar
Next chapter