webnovel

Fake Wedding

(cerita sedang dalam tahap revisi, revisinya hanya ada di wattpad. tinggal cari nama pena Army_VJ aja. makasih atas ke setiaan kalian) Ketika Kim Sena merasa tidak ada lagi hal yang perlu ia perjuangkan dalam hidupnya. Secara kebetulan Jimin hadir di hidupnya. Melamarnya dan mengatakan kalau Jimin sangat mencintai Sena dan berjanji akan membahagiakan Sena selamanya. Ini terasa konyol, tapi nyata. Awalnya, Sena menganggap itu semua hanya gurauan belaka. Tapi, keseriusan Jimin yang Sena rasakan melalui perhatian dan perlakuan pria itu. Membuat Sena, mengambil satu langkah yang sangat salah. Sena menerima lamaran dari Park Jimin. Sosok pria, yang telah mengukirkan kebahagian baginya dan membantunya sembuh dari rasa luka. Tapi, Jimin juga pria yang kembali menorehkan rasa luka di hati Sena serta yang telah merenggut kepercayaan darinya. Sena, di bohongi oleh Jimin dalam pernikahan ini.

Army_VJ · Others
Not enough ratings
34 Chs

Fake Wedding: 19-Agreement

Aku yang sedari tadi tertidur di kasur ini, langsung buru-buru terbangun dan bergegas ke kamar mandi. Kumuntahkan segala sesuatu yang sejak tadi menganjal di perutku. Cukup lega tapi aku masih ingin memuntahkannya.

Kuhelus leherku sendiri untuk membantu mengeluarkan semua isi yang ada diperutku tapi aku gagal itu tak cukup membantu. Selang beberapa detik aku merasakan tangan kekar mulai mengehlus lembut leher dan pundakku. Dan memintaku untuk memuntahkan semua isi dalam perutku.

Buru-buru kusingkirkan tangan Jimin setelah aku berhasil mengeluarkan semua isi perutku. Dan kutatap sinis Jimin. Setelahnya aku berangsur pergi dari kamar mandi.

Tangan kekar Jimin kini menahan gerak langkahku. Menatapku dengan penuh kekahwatiran. Aku berusaha menepis tangan Jimin itu tapi usahaku gagal. Jimin terlalu kuat bahkan saat ini.

Saat kondisi kami sama-sama kacau. Tidak!, Hanya aku yang kacau disini. Karena sejak awal Jimin sudah mengetahui kebenaran ini dan ia tak akan terkejut. Bahkan bukan hanya mengetahui kebenarannya tapi Jimin yang menarikku masuk kedalam semua hal konyol ini.

Aku ingin sekali berteriak dan melampiskan semua emosiku pada Jimin tapi aku tak cukup kuat untuk melakukan semua itu. Bahkan untuk mendorong tubuh Jimin agar tak menyentuh tubuhkupun aku tak sanggup.

Kini jari Jimin menghapus setiap tetesan air mataku yang berhasil keluar. Aku hanya bisa pasrah sambil terus menagis. Tubuhku benar-benar lemas dan aku tak tauh apa yang harus kulakukan lagi kecuali menagis.

Aku akuih bahwa aku sangat cengeng. Bahkan saat Ibuku meninggal yang bisa aku lakukan hanyalah menagis. Dan saat masalah bertubih-tubih datang yang bisa kulakuan hanya menagis.

"Apa kau sakit?"

Tanya Jimin kahwatir sambil menyentuh keningku lembut.

"Jangan sentuh aku!, dan lepaskan aku!"

Ucapku sinis dengan mata yang masih berlinangkan air mata.

Jimin akhirnya melepaskan pelukannya dari tubuhku. Kini langkah kakiku berjalan menjauh dari Jimin menuju kearah lemari pakaian. Tapi niatku terhenti saat tubuhku terasa begitu lemas dan hampir tersungkur kelantai. Kalau saja Jimin tak sigap menangkap tubuhku untuk masuk kedalam pelukannya.

Setelah itu aku tak sadarkan diri. Tapi ada beberapa detik disaat aku masih bisa mendegar suara Jimin memanggil namaku dengan sangat kahwatir.

Seandainya saat aku membuka mata kembali. Dan saat aku melihat diriku berada di kamar Jimin. Aku harap aku dapat kembali lagi kewaktu dimana awal pertemuan kami dimulai.

Aku tak akan menjadi Sena yang bodoh yang mengambil keputusan tanpa berfikir panjang. Akupun tak akan mauh menikah dengan Jimin karena aku sudah tauh bahwa aku hanya menjadi alat baginya untuk merebut semua kekayaan melaluih taruhan bodoh ini.

Dan aku sangat tangan ingin terayu oleh ketampanan, kata-kata manis dan cinta yang samapi saat ini kuragukan dari Jimin.

Kurasa saat aku akan bertemu dengan Jimin lagi nantinya setelah perceraian kami. Aku tak berniat menyapanya, atau untuk tersenyum padanyapun aku sudah sangat engan.

Biarkan waktu yang membawa perasaan ini pergi Jimin. Karena meskipun dan sekalipun kau memohon padaku untuk memintaku agar aku percaya, aku tak bisa Karena perasaanku padamu telah habis dan telah tertutupi dengan rasa kecewa.

Perlahan kubuka kedua mataku, kepalaku masih terasa pusing. Dan kulihat ada selang infus yang menancap dipunggung tangan kananku. Kuhembuskan nafas berat saat aku melihat kamar ini lagi.

Aku berusaha untuk bangkit berdiri, tapi sayang tubuhku masih lemas. Aku tak tauh apa yang terjadi padaku. Tapi yang pastu kepalaku pusing dan perutku terasa mual.

Kulihat Jimin saat ini memasuki kamar sambil membawa nampan berisi makanan. Setelahnya ia duduk di hadapanku sambil berusaha menyuapiku.

Seperti biasa aku menolaknya, dan itu membuat Jimin sedikit kesal. Ditaruhnya kembali sendok itu keatas mangkuk bubur yang bisa kutebak itu adalah bubur buatan Jimin. Karena saat Jimin memasak bubur ia akan selalu memberikan beberapa potongan daun bawang segar diatasnya.

"Aku ingin kita bercerai!"

Ucapku dingin tanpa menatap mata Jimin.

Karena aku tauh, jika aku menatap mata Jimin maka aku akan menagis. Menagis karena hatiku yang begitu tersakiti. Dan sejujurnya aku tak sanggup menagung semua beban ini sendirian.Akupun tak sanggup jika harus be4pisah dengan cara seperti ini.

Sebuah perceraian ataupun perpisahan bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap pasangan yang menikah. Begitupun denganku, aku juga tak mengiginkan ini. Karena dari awal aku memutuskan untuk menikahi Jimin, maka sejak itulah aku telah menata hidupku kedepannya bersama Jimin.

Jimin tak menagapi ucapanku barusan. Ia malah memilih untuk mengangap ucapan sebagai angin lalu.

"Apa kau tidak dengar aku!, Aku ingin kita bercerai!"

Teriakku histeris sambil menatap Jimin yang tertunduk menahan emosinya. Dan tagiskupun tumpah seseuai duganku.

"Kau hamil"

Ucap Jimin setelah bungkam beberapa detik.

Mataku sontak langsung melebar mengetahui kehadiran bayi dalam rahimku. Air mataku keluar tanpa celah sedikitpun. Aku tak tauh apakah aku haru merasa senang atau tidak dengan kehamilanku ini.

Jika saja aku tak pernah mengetahui kebenaran ini maka aku pasti aku langsung memeluk Jimin dan berjanji padanya bahwa aku akan menjaga bayi dalam kandunganku dengan baik. Tapi saat ini, saat dimana aku tauh bahwa kehadiran bayi dalam kandunganku hanya akan menjadi taruhan, rasanya hatiku begitu sesak.

Kupeluk perut rataku yang saat ini terdapat nyawa didalam sana. Aku hanya bisa menagis, Aku tak tauh apakah nanti anakku akan bisa menerima kenyataan ini semua. Kenyataan bahwa ayahnya sama sekali tak mengiginkan kehadirannya, dan kehadiran malaikat kecil ini hanya digunakan sebagai taruhan.

"Aku tetap ingin kita bercerai!"

Ucapku setelah mempertimbangkan segala hal.

Aku tauh pada akhirnya bayi yang kukandung ini tak akan memiliki ayah, tapi apa boleh buat. Akan lebih baik ia tak memiliki ayah dari pada harus memiliki seorang ayah yang sama sekali tak mengiginkan keberadaanya.

"Aku tidak mau bercerai darimu!"

Ucap Jimin sambil menatapku dalam dan penuh arti.

"Ck!, Apa kau ingin memanfaatkan bayi yang ada di dalam kandunganku ini untuk memenangkan taruhan itu?!"

Tanyaku sinis.

Jimin tak menjawab ia malah berangsur pergi menuju meja kerjanya. Lalu Jimin merogo laci mejanya dan mengeluarkan sebuah amplop cukup tebal tapi aku tak tauh apa isinya.

"Tanda tangani itu"

Ucap Jimin seraya memberikan amplop coklat itu.

Alisku bertautan karena binggung. Setelahnya kubuka amplop itu dan kubaca setiap kata yang tertera di setiap lembarnya. Sebuah kontrak perjanjian. Kubuang kertas itu kehadapan Jimin seraya menatapnya sinis.

"Aku tak mau!"

Jawabku ketus.

"Mau tidak mau kau harus menadatangani itu, kalau tidak..."

Ucapan Jimin terhenti, Seolah Jimin sedang berfikir apa yang nantinya akan ia ucapkan padaku.

"Kalau tidak apa?!, kau ingin membunuhku dan anak yang kukandung ini?!"

Tanyaku menatang.

"Akan aku lakukan jika kau memang tidak ingin menadatanganinya!"

Ancam Jimin sambil menyerahkan kembali kertas perjanjian itu padaku.

Dikertas itu, tertuliskan bahwa aku harus menjadi istri Jimin sampai batas taruhan berakhir. Tidak masuk akal!

Aku benar-benar membecimu Park Jimin. Aku tak tauh kau begitu tegah, bahkan terhadap bayi yang sedang kukandung ini. Dimana sosok Jimin yang manis, perhatian dan manja. Kenapa perubahan sikapmu semakin hari, dan setiap detiknya selalu saja membuat goresan yang lebih dalam dihatiku.

Akupun menadatangani surat perjanjian itu dengan tangan yang bergetar dan tangis yang tak mau berhenti. Setelahnya Jimin mengambil surat perjanjian itu dan memasukannya kembali kelaci meja kerjanya dan kemudian menguncinya.

Jimin meletakan obat di samping nampan makan yang telah ia siapkan tadi. Dia memintaku untuk menghabisi bubur itu dan setelahnya ia menyuruhku untuk meminum seluruh obat dan suplemen yang telah dianjurkan dokter.

Setelahnya ia memintaku untuk beristirahat. Selama waktu aku makan dan meminum obatku Jimin sama sekali tak meninggalkan diriku. Ia setia menungguku bahkan Jimin tak segan-segan

mengelap bibirku yang terdapat sisa bubur meskipun aku sudah menunjukkan ketidak sukaanku pada Jimin.

Aku langsung merebahkan tubuhku untuk menghilangkan lelah di dalam diriku. Karena aku tidak ingin kondisi buruk terjadi pada bayi yang aku kandung saat ini. Dari yang aku dengar stres bisa memungkinkan terjadinya keguguran.

Dan aku tidak mau kehilangan bayiku untuk kedua kalinta. Setidaknya bayi yang kukandung ini dapat menjadi penguat untuk diriku dalam menghabiskan waktuku di ruamh Jimin ini.

Akupun tertidur cukup pulas, tapi beban di hatiku masih begitu terasa. Rasanya sakit dan begitu sesak. Kupengangi dadaku yang sejak tadi tersa sakit.

Suara pintu terbuka membuatku dengan cepat menutup kedua mataku. Entah kenapa aku sangat tidak ingin melihat wajah Jimin. Suara langkah kaki Jimin begitu terdegar jelas di setiap langkahnya. Bahkan deru nafas Jimin yang beratpun begitu terasa menyesakan dadaku.

Kini kurasakan tangan Jimin mulai mengehlus lembut rambutku, membenarkan setiap helai rambut yang menutupi wajahku. Ingin rasanya air mataku keluar tapi aku harus bisa menahannya. Karena aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan Jimin.

"Akan akan memperbaiki segalanya Sena dan sampai saat itu tiba kumohon bertahanlah. Karena aku ingin menghabiskan hari tuaku bersamamu dan anak kita"

Ucap Jimin lirih lalu mencium lembut puncak kepalaku.

Bisakurasakn beberapa tetesan air menetes pada wajahku. Dan itu pasti tagis Jimin karena saat Jimin menciumku aku bisa mendegar isak tangisnya yang tertahankan.

Hatiku kembali tergores mendegar pengakuan Jimin yang terdegar sangat tulus. Aku bahkan sedang bertanya sekarang, sebenarnya hati apa yang kau miliki Jimin. Apa kau benar-benar mencintai dan anak kita?. Apa kau sangat ingin kehadiran kami dalam hidupmu?

Tapi kenapa, Kenapa kau memulai semua ini dengan kepalsuan. Yang pada akhirnya hanya akan berujung pada sebuah perpisahan. Ingin aku percaya. Karena jauh dilubuk hatiku aku sendiri tak sanggup untuk berpisah darimu Jimin.

Aku membutuhkanmu untukku dan juga anak kita. Aku rasa tak akan bisa tersenyum lagi, jika tak bisa melihat senyummu di setiap pagiku. Dan kurasa aku juga tak dapat melanjuti hidupku tanpamu disisiku Park Jimin.

Mungkin orang tidak tauh, seberapa hangat, manis, perhatian dan baik dirimu. Tapi aku tauh itu semua. Karena aku adalah wanita yang hidup bersamamu menerima semua perhatian tulusmu, pelukan hagatmu dan kata-kata manismu yang memang sangat tulus.

Tapi Jimin. Semua itu tak akan bisa mengembalikan keadaan dan kekecweaanku. Seandanya kita bisa memulai segalanya lagi, maka aku ingin melakukannya. Tapi itu tak akan semuda membalikan telapak tangan.

Karena pernikahan bukan hanya membutuhkan kesiapan hati dan jiwa. Tapi pernikahan terkadang butuh sesuatu pergorbanan. Dan beberapa bumbu yang akan membuat pernikahan menjadi lebih harmonis.

Tapi kurasa samua itu tidak berguna untuk pernikahan kita. Semakin banyak bumbu yang ditaburkan dalam pernikahan kita. Maka semakin kuat rasa kekahwatiran, rasa sakit hati dan rasa ingin berpisah.

"Saranghae Park Sena"

Ucap Jimin lirih dan tulus. Bahkan suara Jimin terdengar sangat halus dan tak bertenanga.

Setelahnya aku tak merasakan Jimin lagi hadir di kamar ini karena setelah pintu tertutup aku tauh, bahwa Jimin sudah pergi dari kamar ini. Mungkin Jimin peka jika aku butuh waktu sendiri.

Aku sempat berfikir bagaimana hati Jimin sekarang. Apakah ia juga terluka sama seperti diriku saat ini?. Apa Jimin sekarang juga sedang menagis disuatu tempat?.

Bahkan aku berfikir bahwa sebenarnya beban yang ditanggung oleh Jimin jauh lebih besar dibanding bebanku. Tapi aku tak tauh pasti. Karena Jimin tak begitu terbuka padaku. Ia lebih memilih untuk menyimpan semua masalahnya sendiri. Jimin terkesan begitu tertutup dan terkesan begitu ragu untuk mengutarakan segala hal yang menjadi beban pikirannya.

Padahal dulu aku berharap bisa mendegar semua kelu kesah Jimin jika ia sedang dalam mood yang tidak baik. Tapi Jimin tak akan melakukan itu, ia lebih seperti tipe pria yang tak akan pernah membagi bebannya kedapa siapapun.

Dia keren bukan?. Jika kalian hidup dengannya aku pastikan kalian akan jatuh cinta padanya sama seperti diriku yang jatuh cinta padanya seperti orang bodoh yang tak tauh bahwa hidupnya sudah terancam.

Tatapanku berubah menjadi lirih saat kulihat Jimin tertidur di atas meja makan dengan belasan botol wine yang berserakan. Kupegangi lagi dadaku yang terasa sesak. Dan sekuat tenanga aku berusaha menguatkan diriku agar bayi yang ada diperutku tak ikut merasakan sakit dihatiku.

"Maafkan aku Sena"

Gumam Jimin disela-sela tidurnya.

Sepertinya Jimin saat ini sedang mabuk. Jujur aku tak pernah melihat Jimin minum bahkan saat dirinya dilanda masalah kantor. Jimin lebih memilih untuk merehatkan dirinya dan beban pikiranya.

Aku juga sempat bertaya pada Jimin dulu pada awal pernikahan kami. Kenapa Jimin sama sekali tidak meminum winenya padahal hampir selemari penuh berisi wine. Kalian tauh apa yang Jimin jawab. Sejujurnya aku masih tak percaya dengan jawaban Jimin waktu itu.

Dia tidak akan melakukan apapun yang tidak kusuka. Dia pengertiankan?. Tapi kenapa hari ini Jimin banyak sekali minum bahkan saat ini ia menagis dalam tidurnya sambil terus memanggil namaku pelan dan sangat lembut.

"Apa itu terlalu berat untukmu Jimin, sampai kau menagis dalam tidurmu?"

Tanyaku lirih sambil terduduk di samping Jimin yang masih mengengam cangkir berisi wine yang tidak habis ia minum.

Aku terjaga untuk beberapa waktu, hanya ada sinar rembulan yang masuk kedalam rumah ini melalui kaca bening di ruang keluarga. Kutatap wajah Jimin lekat dan cukup lama. Entah kenapa aku begitu suka menatap wajah Jimin.

Mungkinkah ini keinginan dari bayi yang kukandung?. Rasa sakit di dalam dadaku perlahan memudar seiring waktu aku menatap Jimin. Aku tak tauh apa besok pagi aku akan bisa menatapmu lagi atau tidak. Karena yang pasti akau akan mengabaikanmu Jimin dan itu pasti akan membuat hatiku kembali sakit.

Kini sosok Jimin terlihat bangun dari tidurnya. Ia menatapku dengan mata sayunya. Aku yakin 100% jika Jimin masih mabuk. Hati sempat merasa sakit tapi hanya sebentar dan aku tak tauh apa penyebabnya.

Jari-jari Jimin perlahan menghelus lembut wajahku lama setelahnya Jimin tersenyum lembut tapi masih begitu sakit untuk dilihat. Lalu ia bangkit berdiru dan mencium lembut bibirku. Lama dan tanpa paksaan.

"Aku mencintaimu Sena"

Unjarnya lalu Jimin jatuh kepelukanku. Bisa kudegar deru nafas Jimin dan tetesan air mata Jimin yang mengenai leherku.

Setelah semua ini berlalu. Aku harap kau dan aku akan sama-sama saling bahagia Jimin.

*

Kutatap rerintikan hujan yang memasahi kota Seoul saat ini melalui kaca jendela kamar. Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat hujan turun. Begitu segar dan sejuk.

"Hujannya sangat indahkan anakku?"

Tanyaku sambil mengelus lembut perut buncitku.

Waktu berlalu begitu cepat. Saat ini aku sudah mengandung sekitar 3 bulan. Aku tak tauh kenapa aku masih bertahan dirumah ini jika bukan karena surat perjanjian itu. Aku rasa aku tak akan melihat Jimin lagi, dan aku juga tak bisa membayangkan dimana nantinya aku dan anakku akan tinggal.

Karena sampai hari ini aku masih memikirkannya. Ternyata sulit untuk menentukan sebuah temoat yang baik untuk tinggal. Berhubung saat ini aku diberikan malaikat kecil dari Tuhan setidaknya sebagai seorang calon ibu yang baik.

Aku harus mencari tempat yang baik untuk diriku dan anakku tinggal nantinya. Karena lingkungan yang baik akan membuat tumbuh kembang anakku menjadi baikku juga. Aku sangat tidak sabar melihat bayi yang kukandung lahir.

Suara pintu terbuka membuatku langsung menoleh. Diambang pintu itu aku melihat sosok Jimin yang sedang berusaha mendorong masuk keranjang bayi. Kulihat baju Jimin basah mungkin karena terkena hujan.

Sosok Jimin berjalan riang kearahku sambil tersenyum manis kepadaku. Aku sempat binggung sejenak.

"Diperjalan pulang tadi, aku melakukan rised ke salah satu moll milikku. Dan saat aku selesai melaukan rised aku melihat keranjang bayi itu terpajang dietalase toko."

Jelas Jimn antusias tanpa henti-hentinya tersenyum memandangi dua keranjang bayi itu.

"Aku sempat binggung untuk memilih yang mana yang lebih bagus dari kedua keranjang bayi itu, karena itu aku membawa pulang keduanya. Yang mana yang kau suka?"

Tanya Jimin sambil menatapku dengan senyum malaikatnya.

Aku hanya menatap Jimin tanpa berniat menjawab pertayaannya. Entah kenapa rasa sakit yang sudah beberapa bulan ini tidak muncul kembali muncul hanya dengan melihat senyum Jimin.

Selama 3 bulan terakhir ini, kami hidup di rumah ini tanpa saling bicara. Seperti dua orang asing yang harus hidup dalam satu atap. Meskipun begitu Jimin masih setiap hari menanyakan keadaanku. Bagaimana aku hari ini, apakah aku sudah minum obat atau belum, apakah aku mual atau tidak. Seperti pertayaan sederhana.

Kenapa senyummu begitu menyakitkan Jimin?

Melihatku yang hanya diam saja tak menjawab pertayaannya, Jimin malah memilih untuk tersenyum manis padaku. Setelahnya Jimin perlahan menarik tanganku untuk mengikuti gerak langkahnya menuju ke kamar sebelah.

Dikamar itu kulihat sudah sedikit berubah. Tak ada lagi kasur besar yang pernah kutiduri disana. Aku juga tak melihat lagi ada meja rias karena telah diganti dengan sebuah rak yang ukurannya cukup besar dan rak itu terbuat dari kayu. Di dalam rak itu telah terisi banyak buku dongeng.

Alas lantai kamar ini juga telah diganti dengan karpet yang sangat lembut. Bahkan walpeper kamar ini juga sudah diganti menjadi walpeper dengan nuansa anak-anak berwarna biru langit.

Lalu disisi kiri dekat jendela terdapat rak yang masih kosong aku tak tauh apa yang akan diletakan disana nantinya. Kemudian di bagian dinding kanan di dekat pintu sudah terdapat sebuah lemari yang ukurannya cukup besar. lemari itu berwarna putih.

"Ini akan menjadi kamar bayi untuk anak kita nanti"

Unjar Jimin antusias tanpa menghilangkan senyum di wajahnya.

"Apa kau menyukainya?, Apa ada sesuatu yang ingin kau ubah?"

Tanyanya beruntun saat ia melihat ekspresiku yang sejak tadi terlihat datar.

Kini Jimin mendekat kearahku sambil bertaya pertayaan yang sama kepadaku. Tapi aku tak menjawabnya, bukan berarti karena aku masih membeci Jimin. Tapi karena aku tak tauh harus apa.

Aku tak tauh apa yang harus kukatakan pada Jimin sekarang. Aku juga binggung dengan Jimin sekarang, apakah ia lupa jika aku tak akan bertahan dirumah ini selamanya?. Karena sesuai perjanjian itu aku tak akan lagi tinggal dirumah ini setelah taruhan itu selesai.

Air mataku mengalir begitu deras. Mungkin karena sudah 3 bulan ini aku menahan tagisku agar kondisi bayiku baik-baik saja. Tapi hari ini, hari dimana aku kembali melihat senyum Jimin yang kurinduhkan berhasil membuat hatiku teriris lagi.

Bahkan melihat Jimin yang mempersiapkan semua ini,membuatku bertanya-tanya apakah Jimin masih mencintaiku? atau Jimin hanya berpurah-purah.

"Kenapa kau menagis?"

Tanya Jimin dengan nada suara kahwatir sambil menyeka setiap tetesan air mataku yang tidak ada henti-hentinya.

"Itu tidak baik untuk kondisi bayi kita"

Ucap Jimin lembut dan itu membuatku tambah menagis sejadi-jadinya.

Kurasakan Jimin kini mendekapku lembut dalam pelukannya. Sambil mengehelus lembut pundakku dan berusaha menengkan diriku. Tapi maaf Jimin kurasa usahamu akan sia-sia untuk menenagkan diriku karena tagis ini tak akan bisa berhenti dan aku tak ingin berhenti menagis karena setelah aku berhenti menagis maka aku tak akan bisa merasakan pelukanmu lagi yang sangat kurinduhkan Jimin.

Kebahagian, memang biasanya selalu datang dibagian akhir cerita karena itu aku ingin merasakan kebahagian bersamamu Jimin meskipun itu hanya diakhir cerita.

*****

Siapa disini yang abis baca atas pas lagi baca bab ini nagis?. Atau cuman aku aja yang nulisnya sambil nagis karena terlalu sedih dengan cerita ini?.

AKU TUNGGU BOM VOTE, COMMENT DAN ULASAN DARI KALIAN.

JADILAH PENULIS YANG BUKAN HANYA MEMBACA SAJA TAPI JADILAH PEMBACA YANG DAPAT MENYAMPAIKAN PENDAPAT KALIAN.

OH IYA BESOK AKU BAKALAN UPDATE LAGI JM 10 PAGI JADI DITUNGGUH YA.

LOVE YOU FULL ♡♡♡♡, makasih buat para readerku 😚😚😚

Hai para pembaca Fake Wedding. Gimana nih kelanjutanya? Baper? sedih? kepikiran terus?. Atau apa?.

Aku mau terimakasih buat para pembacaku yg udah sangat setia membaca cerita ini.Aku harap antusis kalian bakalan terus memuncak ya.

Aku tunggu bom vote, comment dan ulasan dari kalian

LOVE YOU FULL ♡♡♡♡♡

Army_VJcreators' thoughts