webnovel

Fake Wedding

(cerita sedang dalam tahap revisi, revisinya hanya ada di wattpad. tinggal cari nama pena Army_VJ aja. makasih atas ke setiaan kalian) Ketika Kim Sena merasa tidak ada lagi hal yang perlu ia perjuangkan dalam hidupnya. Secara kebetulan Jimin hadir di hidupnya. Melamarnya dan mengatakan kalau Jimin sangat mencintai Sena dan berjanji akan membahagiakan Sena selamanya. Ini terasa konyol, tapi nyata. Awalnya, Sena menganggap itu semua hanya gurauan belaka. Tapi, keseriusan Jimin yang Sena rasakan melalui perhatian dan perlakuan pria itu. Membuat Sena, mengambil satu langkah yang sangat salah. Sena menerima lamaran dari Park Jimin. Sosok pria, yang telah mengukirkan kebahagian baginya dan membantunya sembuh dari rasa luka. Tapi, Jimin juga pria yang kembali menorehkan rasa luka di hati Sena serta yang telah merenggut kepercayaan darinya. Sena, di bohongi oleh Jimin dalam pernikahan ini.

Army_VJ · Others
Not enough ratings
34 Chs

Fake Wedding: 09- Sorry

Aku masih kahwatir dengan kesehatan Jimin yang menurutku masih belum sembuh total, tapi Jimin masih memaksakan diri untuk pergi bekerja. Terkadang aku membeci sikap keras kepala Jimin yang sama sekali tak mendegarkan ucapanku terutama yang menyangkut hal-hal tentang dirinya.

"Apa kau yakin sudah sehat?, bukankah kau masih sakit?"

tanyaku beruntun sambil memasangkan dasi Jimin.

"Aku baik-baik saja istriku, lagi pula aku sudah 4 hari tidak kembali ke kantor, jika kau tidak ingin melihat aku lembur menyelesaikan pekerjaanku maka biarkan aku bekerja hari ini"

Kata Jimin sambil merangkul pingangku membuat jarak diantara kami berdua perlahan terhapuskan.

"Jangan kahwatir padaku, seharusnya aku yang kahwatir padamu"

ucap Jimin sambil menyentuh wajahku.

"Memangnya ada apa denganku?"

tanyaku binggung

"Aku takut jika selama ciuman kita, kau tertular sakitku"

kata Jimin dengan penuh penyesalan, bahkan aku bisa melihat wajah bersalah Jimin yang terlihat mengemaskan bagi diriku.

Aku hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan Jimin barusan tapi tidak dengan Jimin, Pria itu sangat kahwatir dengan kesehatanku. Kini Jimin sedang memeriksa kondisi tubuhku yang memang kurasa sedikit berbeda dari biasanya.

"Aku baik-baik saja"

ucapku sambil mengengam tangan Jimin yang ia gunakan untuk memeriksa kondisi tubuhku.

Aku dan Jimin sama-sama saling menatap dalam diam sebelum akhirnya Jimin mendekatkan diriku kearahnya.

"Kalau begitu bolehkah aku memintamu menciumku lagi"

tanya Jimin sambil mendekatkan bibirnya kearahku dan ciuman yang biasa kami lakukan terjadi.

*

Setelah kepergian Jimin ke kantor aku kembali ke kamar untuk merebahkan tubuh, entah kenapa belakangan hari ini tubuhku selalu saja terasa sakit teruma pingangku rasanya sakit sekali.

Mataku kini hanya menatap langit-langit dinding yang menghiasi kamar ini. Kemudian kejadian waktu aku melihat Ny.Jung kesakitan kembali terlintas di dalam benakku.

Jujur hatiku masih teriris saat mengigat kejadian waktu itu, kurasa siapapun yang melihatnya juga pasti akan merasa teriris. Bagaimana tidak, Seseorang yang sama sekali tak menderita ganguan jiwa  memaksakan dirinya untuk menerima obat yang seharusnya diberikan kepada para penderita ganguan jiwa.

Dan itu yang aku lihat saat waktu itu aku berniat memberikan setangkai bunga kepada Ny.Jung. Ibu mertuaku memaksakan dirinya untuk menerima semua cairan yang perlahan membuatnya merasa sakit hingga meninggal seperti beberapa hari yang lalu.

Terkadang aku sampai tak bisa tertidur karena mengigat semua hal itu, bahkan aku merasa bersalah kepada Jimin karena tak memberitauhkan yang sebenarnya. Tapi apa boleh buat Ny.Jung sendiri yang tak ingin aku memberitauh putra tercintanya.

Tapi rasa bersalah terhadap Jimin masih terus menyelumuti hatiku, aku takut jika saja Jimin tau yang sebenarnya maka Jimin pasti akan sangat membeci diriku, tapi aku harus siap menerima semuanya dan sekarang aku sedang memikirkan momen yang pas untuk memberi tauh kebenarannya pada Jimin.

Langkah kakiku perlahan berjalan kearah tas selempangku yang berada di atas meja rias,buru-buru kucari surat yang waktu itu pernah di berikan oleh ibu Jimin kepadaku.

"Ketemu"

kataku sambil menatap selembar surat yang telah di lipat itu.

Rasa penasaranku kembali menyeruap saat setiap kali kulihat surat pemberian ibu Jimin itu, dengan meminta izin pada sosok Jimin yang tak ada perlahan aku mulai membuka suarat itu, membacanya dengan penuh tanda tanya besar karena dari isi surat inilah aku baru sadar dan tauh mengenai sosok Jimin lebih lanjut.

To: Jimin, anak kesayangan ibu

~Halo anak ibu yang tampan, bagaimana kabarmu?, apa kau baik-baik saja?. Ibu sangat merindukan dirimu.Berat rasanya meningalkanmu sendiri pada saat usiamu baru menginjak 12 tahun terutama saat kau berulang tahun.Ibu sungguh minta maaf padamu karena telah meninggalkanmu dan telah  berbohong padamu mengenai penyakit ibu,karena sejujurnya ibu sama sekali tidak gila dan ibu melakukan itu semua untuk membuatmu tidak membenci ayahmu terlalu dalam karena ibu tauh,hanya dengan melihat ibu yang setiap hari fruatasi saja itu sudah sangat menyakitkan bagimu kan? begitupun dengan ibu...

Dan jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri atas keputusan yang kau buat untuk menyetujui permintaan ibu memasuki rumah sakit jiwa di sana,karena kau harus tauh Jimin-ah ibu sangat bahagia disana. Ibu punya banyak teman disana dan kau masih ingatkan betapa sukanya ibu dengan cahanya matahari? dan disana ibu mendapatkan cahanya matahari yang lebih hangat dibanding di manapun dan itu berhasil mengantikan kerinduan ibu padamu. Jimin-ah, jangan merasa cemburu karena itu, karena kau tak akan pernah tergantikan oleh apapun putraku. Dan ibu yakin sekarang dan sampai selamanya istrimu akan menjadi penganti ibu dalam memberikan kehagatan padamu.

Jimin-ah, mungkin setelah kau membaca surat ini ibu sudah tidak ada lagi di dunia ini, tapi kau tak boleh menyalahkan istrimu karena dia tak memberi tauhkan yang sebenarnya kepadamu. karena semua itu, ibu yang memintanya. Dan jangan salahkan ayahmu atas kematian ibu karena ayahmu tak pernah ikut campur dalam kematian ibu itu semua karena takdir dari Tuhan. Tuhan yang telah mengatur segalanya, dan ibu tidak pernah menyesali segalanya. Jadi Jimian-ah ibu harap kau akan menjaga istrimu seperti saat kau menjaga ibu, jangan khawatir jika nanti ibu akan melupakanmu karena jauh disana ibu selalu memikirkanmu.Jaga dirimu dengan baik dan hiduplah dengan senang bersama istrimu, karena dia wanita yang baik dan ibu menyukainya sejak pertama kali kau membawanya menemui ibu. Selamat tinggal putra tampan ibu, ibu mencintaimu~

Rasanya aku ingin sekali menagis setelah membaca isi surat itu dan tangisku tumpah begitu saja tanpa perlu seizin diriku. Kuambil ponselku yang berada di atas kasur, kupandagi foto Jimin di layar posenku.

Kesedihan itu kembali menyelimuti diriku, takut jika senyum yang saat ini Jimin pancarkan akan kembali berubah menjadi raut kesedihan yang benar-benar menyayat hatiku dan aku sungguh belum sanggup untuk melihat itu semua dari Jimin.

Tapi apa boleh buat, semakin lama aku menyembunyikannya dari Jimin maka semakin besar rasa kebencian Jimin padaku dan aku tidak mau itu terjadi!.

Siang telah berganti menjadi malam dan sekarang Jimin tengah sibuk dengan leptopnya sembari menyelesaikan tugas kantornya yang memang masih tertumpuk karena kejadian beberapa hari yang lalu.

Kulangkahkan kakiku dengan berani kearah Jimin sambil memposisikan diriku di ujung kasur yang berhadapan dengan meja kerja Jimin. Mataku sesekali melirik Jimin yang masih terlihat fokus dengan pekerjaannya, tapi tak butuh waktu lama karena setelah beberapa detik Jimin langsung menatapku dengan sebuah ulasan senyum malaikatnya yang dapat membuat siapa saja meleleh karenanya termasuk diriku.

Kini Jimin sedang melepaskan kaca mata bacanya yang sedari tadi bertenger di batang hidungnya. Dan sesekali Jimin memijat pelipis kepalanya yang mungkin terasa sakit karena terbebani dengan pekerjaan kantor.

Sebelum aku memutuskan untuk memberitauh yang sebenarnya pada Jimin aku putuskan untuk mengecek kondisi tubuh Jimin, mengigat jika beberapa hari yang lalu Jimin demam tinggi termasuk hari ini Jimin masih sedikit belum pulih total dan aku takut jika kondisi Jimin akan kembali drop saat aku memberitauhnya yang sebenarnya.

"Ada apa?, kenapa kau sedari tadi memandangiku seperti itu?, ada yang ingin kau katakan?"

tanya Jimin beruntun seperti kereta api dan itu sontak membuatku menelan sendiri air luda ku.

"Atau jangan-jangan kau ingin...."

Belum sempat Jimin menyelesaikan ucapannya, kini sosok Jimin sedang berjalan kearahku membawaku untuk mendekat padanya dalam sebuh pelukan dan jika saja aku tak buru-buru mendorong tubuh Jimin pasti Jimin sudah menciumku dengan gairah.

"Kau menolakku?"

tanya Jimin dengan raut wajah kesal tapi masih imut.

"Bukan itu aku....Ada sesuatu yang harus kau ketahui, ini....tentang ibumu"

kataku sambil memberanikan diri, persetan jika nantinya Jimin akan membeciku atau bahkan kesal denganku, karena sebagai seorang istri aku sadar aku tak boleh berbohong pada Jimin dan aku siap menanggung semua sikap dingin Jimin yang mungkin akan ia tunjukkan padaku disaat Jimin sedang kesal.

Kulihat wajah Jimin saat ini sedang mengeras menahan emosi lebih tepatnya sosok Jimin saat ini sedang mengatur emosinya untuk tak meledak sewaktu-waktu. Setelah beberapa detik wajah Jimin berubah menjadi sedikit tenang,ekspresinya bahkan berubah datar.

"Apa yang ingin kau katakan mengenai ibuku?"

tanya Jimin sambil menatap penasaran kearahku yang sekarang sedang ketakutan setengah mati.

Dengan tangan yang sedikit bergetar kuberikan surat pemberian ibu Jimin kepada Jimin,bisa kulihat raut wajah binggung Jimin yang sangat ketara.

"Itu dari ibumu...."

kataku dengan suara pelan dan kurasa Jimin juga tak mendengar ucapanku barusan, karena saat ini Jimin tengah membaca isi surat itu.

Kudengar deru nafas Jimin kini sangat tidak teratur bahkan ada isak tangis dari Jimin. Dan tebakanku benar saat ini Jimin sedang menagis sambil membaca isi surat itu, bahkan tangan Jimin juga bergetar begitu juga dengan tubuh Jimin yang ikut bergetar bahkan Jimin saat ini terjatuh kelantai.

Aku yang juga ikut sedih melihat kondisi Jimin yang langsung drop seperti saat ini, dengan cepat langsung berjongkok di depan Jimin sambil berusaha menenagkan Jimin.

"Kenapa kau harus menahan sakit itu sendiri, padahal kau memiliki seorang putra yang bisa menyembuhkanmu"

ucap Jimin lirih sambil sesekali membenturkan kepalanya kedinding belakang.

Mendegar ucapan Jimin barusan membuatku mengerutkan dahi. Bingung dengan ucapan Jimin barusan, tapi semua pertayanku itu terjawab saat aku melihat sebuah foto diaknosa penyakit yang terjatuh dari tangan Jimin.

Disana tertulis bahwa Ny.Jung selama ini menderita penyakit kanker dan aku sangat terkejut mengetahui semua itu.

'tapi dari mana foto diaknosa itu muncul ?'

tanyaku dalam hati.

Kuambil surat pemberian ibu Jimin itu yang sudah tergeletak di lantai,kucek lembaran surat itu dan kini aku sadar ternyata di balik selembar surat itu terdapat sebuah kantong surat yang berisikan semua foto kenangan Ny.Jung selama di rumah sakit itu termasuk foto diaknosa penyakit dirinya.

"Jadi yang aku lihat waktu itu, bukanlah cairan yang diberikan kepada pasien ganguan jiwa, melainkan obat...."

ucapanku terhenti saat air mataku kembali mengalir dengan deras membasahi kedua pipi.

Aku merutuki kebodohanku yang telah menuruti ucapan Ny.Jung untuk tak memberi tauh Jimim yang sebenarnya. Seandainya waktu itu aku menceritakan semuanya pada Jimin maka Ny.Jung pasti hari ini masih selamat dan beliau saat ini pasti masih bisa bersama dengan Jimin.

Dan Jimin tak akan sefrustasi seperti saat ini. Aku hanya bisa menangis tanpa bisa berkata-kata apapun. Sebelum akhirnya aku perlahan berjalan kearah Jimin yang terduduk lemas sambil masih menagis frustasi.

"Jimin....."

panggilku lirih.

"Kau...kenapa tak memberi tauhkanku dari awal, seharusnya kau menceritakan semuanya kepadaku dari awal!!!"

teriak Jimin frustasi dan itu membuatku sangat terkejut.

"Dengan begitu aku tak akan pernah kehilangan ibuku!!!'

teriak Jimin lagi sambil mendorong tubuhku menjauh darinya dan alhasil tubuhku tersungkur ke lantai dan tangisku sekali lagi tumpah.

Aku tak dapat menyalahkan Jimin atas sikapnya saat ini, karena jujur akupun menyelas karena tak memberitauhkan semua itu sejak awal pada Jimin dan sekarang aku hanya bisa menyesali kebodohanku dengan tangis.

Kini kulihat sosok Jimin sedang berusaha berdiri sambil menyeka air matanya dengan kasar, belum sempat aku membantunya berdiri Jimin dengan sikap dinginnya menolak dengan tegas bantuanku.

Aku sempat terkejut dengan sikap dingin Jimin, tapi aku tak peduli meskipun jujur sikap dingin Jimin itu membuat hatiku merasa sakit. Tapi aku lebih kahwatir dengan kondisi Jimin.

Kutahan tangan Jimin untuk sekedar berbica padanya, tapi Jimin dengan kasarnya mendorong tubuhku sampai terhempas kelantai dan disaat itulah aku merasa perutku sangat sakit.

"Jimin"

panggilku sedikit berteriak yang berhasil membuat Jimin menoleh dan kaget saat melihat ada darah yang mengalir di kakiku.

Buru-buru Jimin mengendong tubuhku keatas kasur dan dengan raut wajah cemas Jimin langsung menelepon dokter pribadinya. Dan tak butuh waktu lama bagi dokter Shin datang. Setelahnya dokter Shin mengecek kondisiku dan aku masih bisa melihat ekspresi kahwatir yang sangat ketara dari sosok Jimin.

"Dengan berat hati saya katakan bahwa istri anda mengalami keguguran"

ucap dokter Shin yang berhasil membuat aku langsung membungkam kedua mulutku.

Seketika air mataku mengalir dan spontan tanganku langsung menyentuh perutku yang ternyata sudah tidak ada lagi janin disana.

Hatiku sungguh hancur berkeping-keping dan kurasa Jimin juga merasakan hal itu dilihat dari ekspresi wajah yang di tunjukkan oleh Jimin. Sosok Jimin terlihat semakin frustasi bahkan saat ini Jimin sedang menjambak rambutnya sendiri.

"Se...Sena-ah"

Panggil Jimin lirih setelah aku dan Jimin sama-sama terdiam beberapa menit setelah kepergian dokter Shin.

Aku hanya diam tanpa menangapi ucapan Jimin. Entah kenapa aku merasa sangat sedih, sosok anak yang selama ini aku nanti-nantikan telah hilang dari dunia ini. Rasanya sangat sesak karena aku telah mengalami kehilangan sebanyak 3 setengah kali.

Pertama aku kehilangan ibuku, lalu aku kehilangan ibu mertuaku, dan aku lalu kehilangan sosok Jimin tapi hanya separuh dari dirinya karena setelah kejadian ini Jimin kembali menjadi Jimin yang dulu dan terakhir aku kehilangan anak dalam kandunganku.

Isak tangisku pecah sejadi-jadinya. Kupeluk lututku sendiri untuk berusaha menenangkan diri. Tapi hasilnya nihil aku masih merasa sedih, dan tambah sedih saat aku mendegar suara lirih Jimin yang memanggil namaku untuk merespon dirinya.

Tapi entah kenapa aku tak ingin merespon Jimin sama sekali mungkin karena aku merasa bahwa Jimin adalah penyebab dari kematian anak yang kukandung saat ini.Tapi aku tak bisa menyalahkan Jimin sepenuhnya, karena disini aku juga bersalah aku terlalu bodoh dan terlalu keras kepala untuk menghibur Jimin.

Padahal seharusnya aku sadar jika Jimin membutuhkan waktu untuk menenagkan dirinya sendiri agar ia dapat menewati semua kesedihan yang memang terlampau berat bagi Jimin.

Dan aku merasa gagal menjadi istri Jimin karena sampai sekarang aku masih tak bisa peka pada diri Jimin. Lebih tepatnya diriku yang tak bisa mengenal sosok Jimin jauh lebih padahal aku sudah lama menikah dengan Jimin.

"Sena-ah kumohon jangan seperti ini"

ucap Jimin lirih sambil meraih kedua tanganku yang sedari tadi kugunakan untuk memeluk lututku.

"Jangan seperti ini kau bilang!, Lalu bagaimana dengan sikapmu barusan?!"

Kataku dengan penuh emosi bahkan aku sampai menagis dan berteriak didepan Jimin.

"Seandainya saja kau tak bersikap seperti tadi,maka....anak kita...tidak pernah meninggal!"

Ucapku lagi sambil menyalahkan Jimin habis-habisan.

Aku sadar jika ucapanku barusan itu sepenuhnya adalahlah salah, karena aku sendiri tauh jika bukan hanya Jimin yang harus disalahkan dalam kematian anak kami tapi diriku juga.

Tapi setidaknya jika sikap Jimin tak seperti tadi maka aku dapat bertaruh pada kalian semua bahwa kemungkinan aku mengalami keguguran adalah satu banding seribu.

"Maafkan aku Sena..."

Kata Jimin sambil menundukkan kepalanya.

"Seandainya aku tak bersikap seperti itu,seandainya aku bersikap dewasa dengan semua masalah ini.Maka kita tak akan kehilangan anak yang kita nantikan selama pernikahan kita."

Jelas Jimin sambil mengengam kedua tanganku erat, bahkan saat ini aku bisa merasakan beberapa tetesan air mata Jimin menetes di punggung tanganku.

"Aku tak pernah menyalahkanmu atas keterlambatan kebenaran yang kau sampaikan padaku. aku hanya merasa frustasi pada diriku  sendiri akibat kebodohanku yang sama sekali tidak peka dengan penyakit ibuku"

Isak Jimin mulai terdengar sampai ke seluk teligahku, dan membuatku sontak menoleh padanya dan itu berhasil membuat hatiku menjadi pilu.

"Dan sekarang aku merasa gagal menjadi seorang suami yang bisa menjaga dan membuatmu selalu bahagia, dan aku sangat menyesal untuk itu"

Kata Jimin lagi yang berhasil membuat tagisku tumpah.

"Sena-ah, kau boleh menyalahkanku dan kau boleh membenciku tapi tolong jangan membenci dirimu sendiri, karena dari yang kuketahui selama aku menikah dengamu kau tipe orang yang akan menyalahkan dirimu sendiri terutama untuk kegagalan yang dialami oleh orang lain"

Jelas Jimin sambil tersenyum kecut didepanku.

Aku masih belum merespon ucapan Jimin, karena aku masih ingin mendegar semua isi hati Jimin yang tidak pernah ia ungkapkan kepadaku selama pernikahan kami.

"Sama sepertimu, aku juga sangat kehilangan anak kita. Bahkan aku sadar jika sikapku barusan membuatku lebih jauh darimu, dan aku sangat menyesal"

Ucap Jimin lagi dengan lirih sebelum akhirnya ia menatap wajahku dan kemudian menangkup wajahku sambil menghampus air mata di wajahku.

"Aku tak akan memaksakan dirimu untuk langsung memaafkanku karena aku tau kau butuh waktu, jadi...."

ucapan Jimin terhenti saat aku dengan spontan langsung memeluk Jimin dan menumpahkan semua kesedihanku disana.

Bisa kurasakan Jimin saat ini sedang menenagkan diriku dengan menghelus lembut rambut panjangku dan entahlah aku merasa seperti tersihir oleh Jimin.

"Aku juga ingin minta maaf padamu Jimin, karena seharusnya aku tak bertindak bodoh sehingga ibumu..."

ucapanku terpotong saat Jimin mulai mengendurkan pelukan kami dan menatapku dengan lekat sambil mengentikan ucapanku.

"Stttt, tidak perlu dibicarakan lagi. Kau ingat apa yang ibuku katakan semua itu adalah takdir dan kita tidak bisa menyalahkan takdir"

kata Jimin sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibir tipisku.

Jimin kembali membawaku dalam pelukanya, dan memelukku dengan sangat erat. Sebelum akhirnya aku terlelap dalam pelukan Jimin karena sangking lelahnya.

Kurasakan Jimun saat ini sedang memposisikan tubuhku di atas kasur, membenarkan letak rambutku yang sedikut berantakan dan menghapus sisa air mata yang masih terdapat diwajahku.

Setelahnya Jimin berbisik padaku dan itu membuatku langsung menatap Jimin dengan mata sayuku.

"Aku yakin kita bisa menghadapi semua ini asalkan kita bersama,saling menguatkan dan saling percaya. Aku mencintaimu Park Sena"

kata Jimin sebelum akhirnya ia mengecup lembut bibirku.

Haiii para reader Fake Wedding, bagaimana kelanjutan dari ceritanya? tambah seru engak?.

Aku berniat untuk update setiap hari karena melihat antusias kalian yang bener-bener bagus. Tapi ada chalangenya hehehe, kalau di bab ini aku dapat lebih dari 20 komen maka aku bakalan update di hari jumat, dan kalau ulasanya lebih dari 10 maka aku janji bakalan update di siang hari.

Siap menerima tantangannya?, Yuk tunjukkan aspresiasi kalian buat ceita ini. Suapaya aku semangat. Makasih,See you ;)

Army_VJcreators' thoughts