9 Fake Wedding: 08 - To Lost

Mataku perlahan bergerak ke arah sisi kanan tempat tidur yang semalam ditempati oleh Jimin, tapi anehnya saat mataku sudah dapat menangkap dengan jelas semua objek yang ada di depanku aku tak melihat sosok Jimin disini, tepatnya di samping diriku.

'Kemana Jimin?'

tanyaku dalam batin.

Dengan suara serak aku memanggil Jimim berkali-kali, barang kali Jimin sedang ketoilet atau apa. Tapi setelah aku memanggilnya sebanyak 3 kali Jimin tidak kunjung menjawab panggilanku. Buru-buru aku mengitari setiap sudut pada panginapan ini, tapi hasil yang kudapatkan nihil.

Aku tak melihat sosok Jimin dimanapun. Kemana Jimin?.

Langkah kakiku kemudian berlari sedikit kencang kearah kamar, dan dengan cepat aku mengambil ponselku yang berada di atas nakas lalu menelepon Jimin. Belum sempat panggilan telepon itu terhubung, Suara Jimin langsung membuatku menoleh padanya.

"Jimin...."

panggilku dengan suara sangat pelan.

"Ada apa?"

tanya Jimin sedikit kahwatir, lalu berjalan mendekat kearahku sambil menangkup wajahku.

"Kau dari mana saja?"

tanyaku dengan suara hampir menagis dan itu sontak membuat Jimin kebigungan dengan perubahan sikapku selama aku dan Jimin di pulau Jeju ini.

Aku sendiri juga binggung dengan sikapku lebih tepatnya dengan perasaanku, entah kenapa aku sangat tidak ingin berjauhan dari Jimin dan sekalinya aku berjauhan dari Jimin maka kejadiannya akan seperti tadi.

Kini Jimin memelukku dengan erat,membawaku untuk bersandar padanya, Sungguh aku merasa sangat nyaman dan perasanku kembali menjadi tenang saat berdekatan dengan Jimin.

"Maaf tidak membangunkanmu saat aku pergi tadi"

Ucap Jimin yang langsung kurespon anggukan pelan.

"Kau tidak ingin siap-siap?"

tanya Jimin setelah kami sama-sama diam dalam dekapan satu sama lain.

"Memang kita mau kemana?"

tanyaku sedikit pensaran sambil menatap wajah tampan Jimin yang terukir senyum tulus.

"Rahasia"

bisik Jimin di depan wajahku, sebelum akhirnya sebuah penggilan telepon menghentikan aktifitas kami.

Kulihat Jimin saat ini memasang raut wajah cemas dan khawatir saat Jimin melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Kemudian Jimin buru-buru mengangkat panggilan itu dan raut wajah Jimin berubah menjadi sangat terpukul bahkan ponselnya terjatu dari pengangannya.

"Jim..."

belum sempat aku memanggil Jimin untuk menanyakan keadaannya, Jimin langsung menyuruhku untuk mengikutinya pergi dari penginapan ini.

"Ada apa Jimin?"

tanyaku khawatir saat melihat ekspresi terpukul yang ditunjukkan oleh Jimin.

"Kita akan kembali ke Seoul sekarang!"

Printah Jimin tegas yang membuat raut wajah binggungku benar-benar ketara.

Sepanjang perjalanan menuju ke Seoul Jimin tak berbicara sama sekali, ia lebih sibuk dengan ponselnya dan mengetik beberapa balasan pesan disana. Begitupun denganku yang tidak ingin bertanya apapun pada Jimin, lebih tepatnya menunggu sampai Jimin memberitauhkan masalahnya.

Raut wajah Jimin semakin cemas saat kami sudah sampai di bandara inceone dan sampai saat itupun Jimin sama sekali tak berbicara sedikitpun kepadaku,lebih tepatnya seperti sosok diriku saat ini tak ada di mobil ini.

Tapi kini aku mengerti dengan semua kecemasan Jimin dan sekarang aku juga merasakan kecemasan itu saat mobil yang mengantar kami sampai ke rumah sakit tempat ibu Jimin dirawat.

Kini tatapanku beralih ke arah Jimin yang  sedang menguatkan dirinya untuk menemui Ny.Jung yang sepertinya dari duganku sedang terjadi hal buruk menimpa Ny.Jung tapi aku belum tauh pasti apa itu.

Kuselaraskan langkah kakiku dengan Jimin, sepanjang perjalanan kami mendaki jalanan ini,beberapa kali juga Jimin hampir terjatuh akibat dirinya yang tak sangup berjalan untuk menerima keterpukulan yang sangat menyakitkan dirinya.

"Kau baik-baik saja?"

tanyaku pada Jimin khawatir saat tubuh Jimin terjatuh di dakian kami yang terakhir.

Mata Jimin saat ini sangat memerah menahan air mata, dan dengan sekuat tenanga Jimin berusaha bangkit dan berjalan menuju ruang rawat Ny.Jung yang jaraknya cukup jauh karena harus melewati taman rumah sakit yang cukup besar sebelum akhirnya aku dan Jimin sampai kedepan ruang rawat Ny.Jung.

Deru nafas Jimin sungguh tak karuan bahkan aku bisa mendegar suara isak tangis yang tertahan dari diri Jimin. Sebelum akhirnya sosok Jimin memberanikan dirinya untuk melangkah masuk kedalam ruangan Ny.Jung yang benar-benar dingin tanpa adanya pemanas sedikitpun.

Tanganku dengan cepat membungkam mulutku sendiri saat aku melihat sosok Ny.Jung telah diselimuti dengan kain putih sampai kebagian atas kepalanya. Air matakupun tumpah begitupun dengan Jimin yang saat ini sedang terisak cukup hebat sambil berjalan gontai kearah ranjang Ny.Jung.

"I...Ibu, buka matamu"

Ucap Jimin lirih sambil menurunkan kain putih yang menutupi wajah Ny.Jung.

Tangis Jimin kembali pecah saat Jimin melihat wajah pucat Ny.Jung yang menandahkan bahwa beliau telah meniggal sejak keberangkatan kami kemari. Hatiku kembali terluka saat melihat Ny.Jung saat ini dan aku hanya bisa menangis sambil menenagkan diriku dan Jimin yang saat ini masih terus terisak dan frustasi dengan kematian Ny.Jung yang sangat mendadak.

5 jam telah berlalu semanjak kedatangan kami ke ruang rawat ini, tapi Jimin engan pergi dari ruangan ini. Mungkin Jimin ingin mengenang sosok Ny.Jung yang sangat ia rindukan. Air mataku kembali mengalir saat melihat kondisi Jimin yang sangat frustasi dari balik kaca pintu yang saat ini menunjukkan sosok Jimin yang sedang terduduk termenung dengan pikiran kosongnya.

Perlahan kulangkahkan kakiku memasuki ruang rawat itu tidak ada respon sama sekali dari Jimin, dan sesampainya aku di hadapan Jimin aku lalu berjongkok di hadapannya. Sumpah Jimin sangat kacau sekali, rambutnya berantakan bahkan bajunya juga.

Jimin bahkan tak merespon kehadiranku didepannya saat ini, karena dari yang aku lihat mata Jimin benar-benar kosong sekali, hanya ada air mata yang melintas begitu saja dari mata lelah Jimin.

Kuhapus air mata itu perlahan dengan kedua jempolku, dan aku hanya bisa menatap Jimin dengan sedih dan khawatir. Jujur aku merasa sedih karena tak bisa menghibur Jimin disaat ia membutuhkan dukungan penuh seperti saat ini, tapi apa boleh buat Jimin juga tak akan merespon diriku,karena aku juga akan melakukan hal yang sama saat aku kehilangan orang yang sangat kucintai jadi aku tak bisa menyalahkan sikap Jimin ini.

"Semuanya sudah siap, hanya perlu menunggu dirimu untuk melakukan perabuhan"

Kataku lirih dan pelan sambil berusaha meraih tangan Jimin yang bahkan tak meresponnya.

Beberapa menit Jimin masih terdiam sebelum akhirnya ia bangkit berdiri sambil menopang tubuhnya di kaki dengan diriku yang secara spontan membantu Jimin. Ku papah Jimin agar dirinya tak terjatuh menuju keruanh perabuhan.

Sesampainya kami di ruang perabuhan itu, air mata Jimin kembali mengalir dengan deras, karena sosok yang sangat ia cintai setelah ini hanya akan menjadi kenangan saja.

Jimin menangis sejadi-jadinya dalam pelukanku. Jujur aku tak tauh lagi apa yang harus aku lakukan  untuk dapat menenangkan Jimin, dan kurasa hanya pelukan ini yang bisa kuberikan padanya.

'Aku berjanji padamu Jimin, tak akan pernah meninggalkan mu seunur hidupku'

Batinku lirih.

*

2 hari telah berlalu semenjak kepergian Ny.Jung dari dunia ini. Tak ada perubahan dari sikap Jimin setelah 2 hari itu. Jimin masih saja termenung dengan semua pikirannya, bahkan ia tidak berangkat kekantor dan makanpun Jimin engan.

Dan disinilah aku berdiri dihadapan Jimin untuk menyuapi dirinya lebih tepatnya memaksa Jimin untuk sekedar menyentuh beberapa suap makanan ini, tapi hasilnya nihil Jimin engan makan, dan itu sangat membuatku kahwatir.

"Jimin, kumohon makanlah, kau akan sakit jika tidak makan"

pintahku dengan lebut tapi sedikit memaksa.

Jimin hanya diam tanpa meresponku, ia seperti memiliki duniannya sendiri. Kuhembuskan nafasku perlahan untuk membuang segala emosi kesal, sedih dan kecewahku karena telah menjadi istri yang buruj bagi Jimin.

"Jimin kumohon....."

ucapanku terhenti saat Jimin dengan kasar menghempaskan piring yang ada di tanganku begitupun dengan sendok yang saat ini sedang kusodorkan ke mulut Jimin.

"Pergi!"

ucap Jimin dingin yang berhasil membuatku diam membatu, sebelum akhirnya aku dengan hati sedih berjalan pergi dari kamar ini.

'Ada apa dengan Jimin?'

'Apa aku tak bisa menjadi obat rindu bagi dirinya untuk melepaskan kerinduannya?'

Air mataku tumpah membasahi pipiku, sunggu hatiku sangat hancur terlebih saat melihat sikap kasar Jimin barusan yang tak pernah sekalipun ditunjukkan oleh Jimin padaku. Tapi hari ini, Jimin berbeda, ia bukanlah Jimin yang aku kenal.

Jimin tidak sama seperti dulu, apa kehilangan dapat mengubahmu menjadi monster yang mengerikan?, Apa rasa kehilangan begitu tak bisa diobati dengan kehadiran sosok seorang istri?.

Sekarang aku bertanya-tanya apakah sosok ku begitu tidak berarti bagi Jimin?, Apakah jika nantinya aku juga akan meninggal seperti Ny.Jung Jimin juga akan sesedih itu?.

Mungkin aku egois tapi aku butuh jawaban dari Jimin, aku tak akan tahan dengan semua sikap Jimin yang berubah begitu saja setelah kematian Ny.Jung. Aku paham dengan rasa sedih, dan sakit yang Jimin rasakan karena aku juga pernah merasakannya dulu, tapi kenapa Jimin harus melampiskannya padaku?.

Kepalaku sakit, entah kenapa belakangan hari ini kepalaku selalu saja sakit, bahkan perutku selalu saja mual kurasa aku sedang sakit akibat semua kejadian dan rasa sakit ini. Kurehatkan tubuhku di sofa panjang ruang tamu, berharap jika nantinya rasa sakit di kepalaku akan hilang dan setelah aku bangun Jimin akan kembali menyapaku dengan senyum malaikatnya lagi.

Guncangan perlahan ditubuhku membuatku perlahan membuka kedua mataku. Kulihat sosok Bibi Sun yang saat ini sedang menatapku dengan raut wajah sedih.

"Ny....maaf jika saya membangunkan anda, tapi ini sudah malam, ada baiknya jika Ny. makan malam dulu lalu setelah itu istirahat"

Jelas Bibi Sun panjang lebar yang hanya kurespon senyum paksaan.

Kakiku kini berjalan kearah kamar, rasanya berar sekali hatiku untuk memasuki kamar ini, mengigat jika Jimin tadi siang telah mengusirku pergi dari kamar ini. Tapi rasa kahwatirku lebih besar dibandingkan dengan rasa sakitku akibat perubahan sikap Jimin yang sampai saat ini masih tak bisa kulupahkan.

Kulihat sosok Jimin saat ini sedang tertidur dengan pulas, rapi raut wajahnya masih menunjukkan kesedihan yang benar-benar ketara. Perlahan tanganku bergerak membetulkan letak selimut Jimin yang tak terselimut dengan benar.

Rasanya aku engan untuk tidur di kamar ini, aku takut jika saja di pagi hari nanti Jimin akan memakiku atau mengucapkan kata-kata dingin padaku yang nantinya hanya akan menambah rasa sakit hatiku yang lebih parah. Jadi kuputuskan untuk tidur di sofa depan mungkin itu lebih baik.

Tanganku yang semula ingin mengambil beberapa bantal dari kasur terhenti akibat sentuhan tangan Jimin yang sangat panas. Bahkan suara Jimin terdegar sangat serak dan matanya saat ini sedang menatapku dengan tatapan sayu.

"Mau kemana?"

tanya Jimin dengan suara seraknya

'Apa Jimin sakit?'

Buru-buru kusentuh kening Jimin yang memang sangat panas. Dan sontak aku sangat kahwatir setelah tauh jika Jimin saat ini sedang sakit. Langkah kakiku dengan cepat langsung menuju kearah nakas di belakang sofa panjang yang ada diruang tamu, lalu kuambil beberapa obat yang kuketahui dapat menurunkan panas.

Tak lupa aku meminta Bibi Sun untuk memasakanku bubur, sebelum akhirnya aku berlari ke kamar sambil membawa obat dan juga air hagat untuk kompres.

"Sena, Aku mint...."

Belum sempat Jimin menyelesaikan ucapannya aku buru-buru melarang Jimin untuk berbicara. Dengan cekatan kukompres kening Jimin yang panas itu beberapa kali, sebelum akhirnya aku kembali keluar untuk mengambil bubur yang telah di masak oleh Bibi Sun.

"Kau harus makan"

Kataku dengan nada kahwatir sambil membantu menyandarkan tubuh Jimin yang masih panas.

"Tidak mau, pahit"

Jawab Jimin sambil menatapku dengan manja.

"Kau tetap harus makan, setelah itu minum obat dan baru bisa sembu"

Kataku tegas sambil menyuapi Jimin, tapi Jimin menolak untuk makan dengan alasan yang sama, Aku bahkan sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah kekanakan Jimin yang benar-benar diambang batas.

"Aku akan makan jika kau menciumku disetiap suapan, bagaimana?"

tanya Jimin seraya menawarkan pilihan yang menurutku sungguh tak masuk akal untuk dituruti.

"Jangan cium di bibir, jika cium di bibir kau akan tertular sakit, bagaimana jika cium di pipi saja?"

tanya Jimin lagi setelah berfikir beberapa detik, Aku hanya bisa memutar bola mataku malas menanggapi permintaan Jimin yang aneh.

"Ayolah Jimin, jangan seperti anak kecil"

Kataku sambil kembali menyodorkam sesuap bubur tapi lagi-lagi Jimin engan untuk memakannya.

Dengan berat hati aku mencium pipi Jimin dan disaat aku menciumnya bisa kurasakan senyum mengembang dipipi Jimin dan setelah itu Jimin baru mau menghabiskan buburnya. Kurasa aku tak akan menang jika melawan Jimin.

Kulihat Jimin saat ini sedang istirahat setelah ia meminum obatnya, sebelum benar-benar pergi sekali lagi aku mengecek suhu tubuh Jimin. Setidaknya panas tubuhnya sedikit berkurang dan itu membuatku lega. Saat aku akan beranjak pergi dari kamar, tangan Jimin menahanku untuk pergi.

"Jangan pergi, dan tetaplah disini"

Ucap Jimin dengan suara serak dan mata sayu.

"Aku akan kembali lagi kesini, setelah aku melatakan semua ini"

Jawabku seraya melepaskan gengaman tangan Jimin yang masih sedikit panas, lalu berlalu pergi.

Seperti janjiku barusan kepada Jimin, setelah aku meletakan semua barang yang kubawa tadi aku kembali kekamar dan berbaring di samping Jimin. Kutatap wajah pucat Jimin yang sudah agak membaikan dari sebelumnya.

Kini tatapanku tertuju pada gengaman tangan Jimin yang sangat erat seakan aku akan pergi meninggalkan dirinya. Terkadang aku sempat berfikir apakah Jimin ini bodoh atau apa, aku tak mungkin menigalkannya setelah semua yang Jimin berikan padaku mulai dari perhatian sampai ke cinta.

Kupejamkan kedua mataku saat diriku telah memastikan bahwa Jimin sudah cukup sembuh dan tidak terlalu membutuhkan pegawasanku lagi. Belum sempat diriku benar-benar terlelap dalam tidur suara Jimin membangunkanku lebih tepatnya kata yang diucapkan oleh Jimin membuatku merasa tersentuh.

"Jangan berfikir jika aku membencimu karena rasa kehilangan ini, karena jujur kaulah yang membuat rasa kehilangan ini perlahan memudar hanya saja aku yang belum bisa menerimah semuanya, karena aku belum ingin melupakan ibuku, Park Sena"

ucap Jimin sambil menatapku dengan sayu sebelum akhirnya Jimin mendekatkan bibirnya untuk meciumku dalam dan intens.

avataravatar
Next chapter