webnovel

Kekasih yang hilang

Malam telah berganti pagi. Pangeran Matius telah hanyut terbawa arus deras Air Terjun Kawai dan kini dia terdampar di tepi sungai yang berkelok-kelok yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal suku Mamodu di sebuah hutan yang masih di dalam wilayah kerajaan Tanibar. Untunglah, Pangeran Matius ditemukan oleh beberapa pria suku Mamodu saat mereka sedang mencari ikan di sungai itu.

Pria-pria suku Mamodu itu segera membawa Pangeran Matius ke tempat tinggal mereka untuk dirawat, karena nadinya masih berdenyut. Seandainya nadi Pangeran Matius tidak berdenyut, pria-pria suku Mamodu itu akan segera membuangnya ke tempat yang jauh dari tempat tinggal atau dihanyutkan lagi ke sungai sebelum mayatnya membusuk.

Pangeran Matius sekarang dirawat dan diobati oleh seorang kepala suku Mamodu. Suku Mamodu adalah salah satu suku primitif yang tinggal di wilayah kerajaan Tanibar. Suku Mamodu bukan termasuk suku nomaden dan bukan pula suku tertua yang tinggal di Negeri Abad. Penduduk suku Mamodu hidup dari berburu binatang di dalam hutan tempat tinggal mereka dan mengambil buah-buahan serta dedaunan dari hutan untuk dikonsumsi atau dijadikan obat-obatan penyembuh penyakit.

Kerajaan-kerajaan yang ada di Negeri Abad bukan berasal dari suku-suku primitif sebelumnya, tapi berasal dari orang-orang dari Negeri-negeri lain yang hijrah ke Negeri Abad pada beberapa abad silam karena ingin mencari kehidupan yang lebih baik dari tempat tinggal asalnya. Masing-masing penduduk kerajaan memiliki warna kulit, warna mata, dan warna rambut yang berbeda. Hal ini dikarenakan oleh orang-orang yang hijrah ke Negeri Abad dari Negeri yang berbeda juga.

Pagi kini berganti siang, Pangeran Matius sekarang sudah siuman. Saat pertama kali dia sadar, Pangeran Matius sempat terkejut mengetahui dirinya berada di dalam sebuah ruangan yang berjeruji kayu dan ada seseorang yang duduk menunggu di sampingnya dengan berkomat-kamit. Pangeran Matius mengira dirinya sudah mati tenggelam. Saat ini dia berbaring di atas sebuah tempat tidur beralaskan alang-alang kering yang sudah dirancang khusus sebagai tempat tidur yang nyaman ala suku Mamodu. Sang kepala suku Mamodu yang sejak tadi menunggu di sampingnya sekarang berusaha memberitahu dan menenangkannya.

"Tenang, Pangeran! Anda sudah selamat sekarang!" kata seorang kepala suku Mamodu.

"Kamu siapa? Dan aku di mana sekarang?" tanya Pangeran Matius sambil melihat sekeliling sebuah ruangan yang menaunginya sekarang.

"Mohon maaf, Pangeran. Saya adalah kepala suku Mamodu. Sayalah yang telah mengobati dan merawat Pangeran. Ini adalah rumah saya." jawab kepala suku Mamodu tersebut.

"Kenapa aku ada di sini, Tuan?" tanya Pangeran Matius masih kebingungan kepadanya.

"Anda terdampar di sungai di bawah tempat tinggal suku saya, Pangeran. Beberapa orang saya menemukan Pangeran pagi tadi saat mereka sedang mencari ikan di sungai." jelas kepala suku Mamodu itu dengan kata-kata yang lemah lembut.

"Terima kasih banyak, Tuan." ucap Pangeran Matius kepadanya. Kepala suku itu hanya mengangguk.

"Sepertinya Anda telah berperang." kata kepala suku Mamodu.

"Iya, Tuan. Aku kemarin dikejar prajurit-prajurit musuh. Aku menyelamatkan diri dengan menceburkan diri ke dalam sebuah air terjun." jawab Pangeran Matius sambil berusaha duduk, tapi dia meringis kesakitan akibat luka-lukanya belum sembuh total.

Bekas sabetan pedang di dada kirinya yang sekarang tertempel sebuah daun obat sudah cukup kering. Tiga butir peluru yang bersarang di paha kirinya sudah dikeluarkan dan sekarang sudah ditutup dengan daun-daun obat juga.

"Sebaiknya Pangeran beristirahat saja. Luka-luka Pangeran masih belum kering benar. Nanti orang-orangku akan mengantarkan Pangeran pulang ke kerajaan." kata kepala suku Mamodu itu dengan memegangi bahu Pangeran Matius.

Kepala suku itu sudah tahu dari kerajaan mana Pangeran Matius berasal karena dia sudah pernah melihat pakaian kebesaran yang tadi dikenakannya sebelum diobati, sehingga dia tidak bertanya kepadanya. Pangeran Matius masih belum mengetahui suku Mamodu.

"Terima kasih banyak, Tuan." ucap Pangeran Matius lagi sambil perlahan-lahan merebahkan diri di atas tempat tidurnya dengan dibantu kepala suku itu yang sudah berusia sekitar 90an tahun.

Tidak beberapa lama kemudian, kepala suku Mamodu itu memberikan minum kepadanya dengan sari pati daun-daun yang dibuat untuk menutup luka-lukanya agar Pangeran Matius cepat pulih. Setelah itu, Pangeran Matius memejamkan kedua matanya. Pangeran Matius sudah mengerti mengapa dia berada di dalam rumah kepala suku Mamodu tersebut.

Pada sore harinya, Hito, anak kepala suku Mamodu, bersama teman-temannya mengantarkan Pangeran Matius pulang ke kerajaannya dengan berkuda. Ayah angkatnya, Raja Edward, sangat lega melihat Pangeran Matius pulang dalam keadaan selamat. Sebagai ucapan terima kasih kepada mereka, Raja Edward menjamu dan memberikan beberapa ternak, seperti ayam, domba, dan kalkun, serta buah-buahan.

Tetapi, mereka menolaknya. Sebagai balas jasa Raja Edward kepada suku Mamodu, Raja Edward bersedia membantu apabila suku Mamodu terancam bahaya dan berada di pihak yang benar.

Sementara itu di kerajaan Tanibar, Kapten Pieter berencana menyingkirkan Rosario dari kerajaan Tanibar, karena Kapten Pieter juga jatuh hati kepada Putri Olivia. Rencana demi rencana dijalankan Kapten Pieter yang juga berhasrat menguasai seluruh wilayah kerajaan Tanibar. Pada suatu hari, Kapten Pieter mengadakan pertemuan dengan Rosario dan petinggi-petinggi kerajaan Tanibar yang pro Rasio.

Kapten Pieter pura-pura membahas mengenai rencana penaklukkan kerajaan Zanzibar. Kapten Pieter meracun Rosario dan antek-anteknya itu melalui minuman-minuman yang telah diberi racun. Tidak beberapa lama kemudian setelah meminum minuman beracun, Rosario dan antek-anteknya terkapar tak bernyawa di atas kursinya masing-masing dengan keadaan masing-masing mulutnya berbusa. Setelah itu, dengan segera, Kapten Pieter memerintahkan pasukan-pasukannya untuk membuang mayat Rosario dan petinggi-petinggi kerajaan Tanibar yang pro kepadanya itu ke laut.

Kapten Pieter masih belum ingin menaklukkan kerajaan Zanzibar, tapi dia ingin memperkuat pertahanannya dulu di kerajaan Tanibar sambil menancapkan penjajahan di buminya. Beberapa kapal yang mengangkut pasukan-pasukan dan meriam-meriam dari Negeri Allemant asal pimpinan Kapten Fritz sekarang sedang berlabuh di pantai Loka nan indah yang masih dalam wilayah kerajaan Tanibar.

Penjajahan pun segera dimulai di kerajaan Tanibar. Kedatangan Kapten Fritz yang merupakan pimpinan tertinggi di Negeri Allemant asal tersebut sebelumnya sudah diberitahu oleh beberapa pasukannya Kapten Pieter untuk menambah kekuatan pendudukan di kerajaan Tanibar. Penduduk kerajaan Tanibar, termasuk kaum perempuan dan anak-anak, dipekerjakan, sedangkan prajurit-prajurit kerajaan Tanibar yang pro Kapten Pieter telah dipersenjatai dengan senapan-senapan laras panjang bersangkur, sedangkan prajurit-prajurit yang pro Rosario sebagian melarikan diri dan sebagiannya lagi bergabung dengan Kapten Pieter.

Prajurit-prajurit yang bergabung tersebut tidak berani melawan atas dasar mempertimbangkan keselamatan dan kelangsungan hidupnya masing-masing, karena kondisi di luar yang banyak binatang-binatang buas. Rombongan pasukan bersama beberapa meriam pimpinan Kapten Fritz sekarang sudah berada di kerajaan Tanibar. Tembok-tembok benteng dan pintu gerbang yang jebol akibat serangan dari kerajaan Zanzibar hampir rampung.

Meriam-meriam ditempatkan di atas dan di bawah benteng sebagai pertahanan. Pos-pos pengawas juga sedang dibangun di depan dan sekitar kerajaan Tanibar sebagai upaya untuk memperkuat pertahanan. Ratu Emillia, Raja Phillip, dan Olivia putrinya masih berada di dalam penjara di dekat kerajaan Tanibar oleh Kapten Pieter. Beberapa tambang yang sudah ada sebelumnya, diperlebar dan ditambah lagi kapasitasnya dengan peralatan yang lebih memadai dan maju.

Pangeran Matius bersama dengan beberapa prajurit berkudanya sekarang mengintai di balik rerimbunan dedaunan dan semak-semak hutan tempat persembunyiannya kemarin untuk melihat kondisi kerajaan Tanibar saat ini.

"Tampaknya semuanya sudah berubah di kerajaan Tanibar! Pasukan-pasukan dari Negeri Asing itu semakin banyak jumlahnya. Aku mengkuatirkan keselamatan Raja Phillip dan keluarganya serta penduduk Tanibar!" kata Pangeran Matius kepada prajurit-prajuritnya.

"Mari kita pulang dan mengatakannya kepada ayah Anda, Tuan!" kata salah seorang prajurit berkudanya kepada Pangeran Matius.

"Baiklah!" sahut Pangeran Matius dengan perasaan cemas dengan menaiki kudanya.

Pangeran Matius dan beberapa prajurit berkudanya sekarang kembali ke kerajaan Zanzibar. Setibanya di kerajaan Zanzibar, Pangeran Matius memberitahukannya kepada Raja Edward mengenai keadaan di kerajaan Tanibar sekarang. 

"Dari mana saja kamu, nak?" tanya Raja Edward kepada anak angkatnya itu.

"Aku baru saja mengintai kerajaan Tanibar dari kejauhan, Ayah." jawab Pangeran Matius sambil duduk di dekat Ayah angkatnya.

"Ayah, jumlah pasukan asing di kerajaan Tanibar semakin banyak. Sepertinya kerajaan Tanibar sudah jatuh. Aku ingin menyelamatkan kerajaan itu, Ayah. Penduduknya, Putri Olivia, dan keluarganya." kata Pangeran Matius lagi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca.

"Apa kamu sangat mencintai Putri Olivia, nak?" tanya Raja Edward kepada Pangeran Matius dengan mengelus-elus bagian belakang kepalanya.

"Iya, Ayah! Aku mencintainya dengan sepenuh hati!" jawab Pangeran Matius yang kedua matanya masih berkaca-kaca sambil menatap kedua mata ayahnya yang sekarang berdiri di hadapannya.

"Baiklah! Ayah akan meminta bantuan kepada Raja Helgar dari kerajaan Sibar dengan alasan mengusir penjajahan di bumi Negeri Abad ini! Separuh jumlah prajurit kita telah berkurang akibat pertempuran kemarin! Semoga dia bisa membantu kita, nak!" kata Raja Edward.

"Aku sangat mencemaskan Putri Olivia dan keluarganya, Ayah!" kata Pangeran Matius dengan tertunduk lesu.

"Berdoalah untuk keselamatan mereka, nak! Itu akan menjadi sejarahmu kelak di sana bersama Putri Olivia! Ayah sangat yakin kalau kamu nanti bisa bersanding dengan Putri Olivia di sana, nak!" kata Raja Edward.

"Jangan teteskan air matamu, anakku! Bersikaplah seperti seorang kesatria! Ayo, berdirilah! Tegarkan dan kuatkan dirimu! Bila nanti kamu kehilangan Putri Olivia, ini bukan salahmu! Ini sudah takdir." kata Ayah angkatnya lagi dengan memegang kedua bahu Pangeran Matius.

Anak angkatnya itu masih tertunduk dan air matanya menetes. Tidak beberapa lama kemudian, Pangeran Matius menghadapkan wajahnya ke wajah Ayah angkatnya. 

"Sekarang, cuci kedua kaki dan tanganmu, lalu berdoalah sebelum tidur agar kamu tenang!" kata Raja Edward lagi dan masih memegang kedua bahu Pangeran Matius.

"Iya, Ayah! Aku harus rela kalau nanti aku kehilangan Putri Olivia!" kata Pangeran Matius sambil memeluk Ayah angkatnya.

"Kita harus memiliki strategi yang bagus untuk merebut kerajaan Tanibar kembali! Sekarang, pergilah ke tempat tidurmu!" kata Raja Edward.

"Terima kasih banyak, Ayah." ucap Pangeran Matius sambil melepaskan pelukannya pada Ayahandanya.

Tidak beberapa lama kemudian, Pangeran Matius segera melangkahkan kedua kakinya ke kamarnya. Setelah mencuci muka dan kedua kaki dan tangannya, Pangeran Matius berbaring di atas tempat tidurnya. Pangeran Matius sangat gelisah memikirkan Putri Olivia. Pangeran Matius tidak bisa tidur.

Dia sekarang menuju ke dekat jendela kamarnya untuk merenung dengan menatap bintang-bintang di langit yang saat ini cerah dan api-api obor di sekitar kerajaan Tanibar dan perumahan penduduk sembari memikirkan Putri Olivia. Sekitar tiga jam lamanya Pangeran Matius memikirkan Putri Olivia. Hembusan-hembusan semilir angin malam membuat kedua mata Pangeran Matius mengantuk berat dan akhirnya dia tidak mampu menahan rasa kantuknya, lalu dia segera tidur.

Hingga dini hari sekitar pukul 2 ini, kabar mengenai kematian Rosario dan antek-anteknya belum sampai di telinga Pangeran Matius dan Raja Edward. Keesokan harinya, Raja Edward pergi dengan naik sebuah kereta kuda dengan dikawal prajurit-prajurit berkuda pengawalnya dari segala penjuru ke kerajaan Sibar untuk menemui Raja Helgar di istananya.

 Setelah tiba di kerajaan Sibar, Raja Helgar mempersilakan Raja Edward duduk di kursi istana kerajaannya. Raja Edward segera memberitahukan maksud kedatangannya dan menjelaskan apa yang telah terjadi kemarin di kerajaan Tanibar kepada Raja Helgar. 

"Aku akan membantumu bila penjajah itu datang kemari dan menaklukkan kerajaanku terlebih dahulu sebelum menghancurkan kerajaanmu, Edward! Coba pastikan dulu! Tetapi, bila itu adalah kepentinganmu dengan kerajaan Tanibar, aku meminta beberapa syarat!" kata Raja Helgar dengan santainya sambil memakan buah-buah anggur hitam yang sudah tersedia di hadapan mejanya sembari sesekali meneguk minuman anggurnya.

"Aku tidak akan ke sini lagi, Helgar! Katakanlah, apa syarat-syarat itu sebelum aku meninggalkan istanamu yang jelek ini! Upeti? Sama bedebahnya kamu dengan mereka, Helgar!" kata Raja Edward dengan marah sambil berdiri dari tempat duduknya dan menatap tajam kedua mata Raja Helgar, lalu dia segera mengeloyor pergi meninggalkan istana kerajaan Sibar dengan perasaan jengkel.

Raja Helgar masih duduk santai di kursinya dengan posisi badannya miring ke kanan dan siku kanannya menekan sandaran tangan kursinya sebagai tumpuan kepalanya sambil mengunyah-ngunyah buah-buah anggur. Raja Helgar sekarang tertawa terbahak-bahak masih melihat Raja Edward sedang keluar dari istananya.

Dengan perasaan dongkol, Raja Edward meninggalkan kerajaan Sibar yang letaknya beberapa puluh kilometer di sebelah timur kerajaannya. Waktu tempuh dari kerajaan Zanzibar ke kerajaan Sibar adalah sekitar 1,5 jam perjalanan dengan kuda saat dikendarai kencang. Jarak kerajaan Tanibar ke Sibar lebih jauh lagi, tapi bisa dipersingkat dengan menerobos beberapa hutan dan padang rumput Hiquinno nan indah.

Waktu tempuh normal ke kerajaan Sibar dari kerajaan Tanibar dengan melewati padang rumput Hiquinno tersebut dan beberapa jalan setapak di hutan yang masih dalam wilayah kerajaan Sibar adalah 3,5 jam perjalanan dengan kuda saat dikendarai kencang. Bila menerobos, waktu tempuhnya adalah sekitar 1,5 jam perjalanan dengan kuda yang dipacu kencang.

Tetapi, jalan tembusan tersebut sangat berbahaya, karena beberapa prajurit Sibar sengaja ditempatkan di beberapa titik di situ untuk merampok dan hasilnya diserahkan ke Raja Helgar. Kerajaan Sibar merupakan salah satu kerajaan yang menghuni Negeri Abad. Kerajaan Sibar tidak terlalu besar. Semua penduduk kerajaan Sibar dan juga Rajanya, Helgar, berkulit gelap, berambut keriting hitam kemerah-merahan, dan bermata cokelat.

Raja Edward yang pencinta damai itu sengaja datang ke kerajaan Sibar untuk memberitahukan hal tersebut agar masing-masing kerajaan bersatu untuk membangun Negeri yang aman dan makmur. Raja Edward memang tidak begitu menyukai perangai Raja Helgar dari dulu yang sombong dan serakah.

Namun, demi kepentingan hidup bersama di atas satu Negeri, Raja Edward rela berkunjung ke kerajaan Sibar dengan harapan dapat membantunya merebut kembali kerajaan Tanibar dan mengusir penjajah dari Negeri Abad. Raja Edward enggan meminta bantuan ke Raja Marvellius yang memimpin kerajaan Sinsibar karena cintanya Pangeran Matius kepada Putri Olivia yang begitu besar.

Raja Edward memiliki hubungan khusus dengan Raja Marvellius atas dasar balas budi. Raja Edward sengaja ingin menjodohkan Pangeran Matius dengan Putrinya Raja Marvellius, Putri Vanesha. Namun, Pangeran Matius lebih menyukai Putri Olivia daripada Putri Vanesha. Raja Phillip sebenarnya memiliki hubungan baik dengan Raja Edward. Tetapi, oleh karena urusan pribadi Raja Edward dengan Raja Marvellius, maka hubungan itu sudah lama terbengkalai.

Raja Phillip merasa tidak dihiraukan oleh Raja Edward, sedangkan Raja Marvellius tidak begitu mengenal Raja Phillip yang letak kerajaannya sangat jauh dari kerajaannya. Raja Helgar dulu pernah menyerang kerajaan Zanzibar untuk menguasainya. Namun, serangan itu dapat digagalkan berkat pertolongan Raja Marvellius. Oleh karenanya, Raja Edward menjadi penurut sekali kepada Raja Marvellius, karena Raja Edward merasa punya hutang budi yang besar kepadanya. 

Setibanya dari kerajaan Sibar, Raja Edward menceritakannya kepada Pangeran Matius bahwa Raja Helgar tidak dapat membantu. Mengenai alasannya, Raja Edward mencari alasan lain bahwa Raja Helgar sedang sakit keras agar Pangeran Matius tidak kecewa. Kemudian, Raja Edward mengajak Pangeran Matius untuk menyerang kaum penjajah itu dengan taktik perang gerilya. Taktik ini telah dia pikirkan selama dalam perjalanan pulang ke kerajaannya. Pangeran Matius pun menyepakati taktik perang gerilya yang disampaikan ayah angkatnya tersebut.

Di malam harinya, terjadi keributan antara suku Mamodu dan suku Hutlacan. Pertikaian tersebut dipicu oleh kematian seorang anak kepala suku Hutlacan yang dadanya akibat tertusuk beberapa jebakan babi hutan saat dia berburu babi hutan bersama teman-temannya sebagai persembahan kepada arwah para leluhurnya di wilayah hutan suku Mamodu sejak sore tadi.

Kepala suku Hutlacan dan orang-orangnya mendatangi perkampungan suku Mamodu dan membawa kepala suku Mamodu untuk dihukum gantung sebagai balasan yang setimpal atas kematian putra semata wayangnya itu. Dalam keributan tersebut, hanya terjadi perkelahian dan baku hantam saja, tidak ada korban jiwa dari kedua belah pihak.

Untuk menghindari terjadinya banyak korban jiwa di pihak suku Mamodu, anak kepala suku Mamodu, Hito, segera meminta bantuan kepada Raja Edward untuk membebaskan ayahnya, karena jumlah orang-orang suku Hutlacan sangat banyak dibandingkan dengan jumlah orang-orang suku Mamodu.

Hito teringat dengan kata-kata Raja Edward mengenai janjinya kepada suku Mamodu bahwa apabila suku Mamodu terancam bahaya dan berada di pihak yang tidak bersalah, Raja Edward bersedia membantunya. Hal inilah yang mendorong Hito untuk meminta bantuan Raja Edward.

Setelah Hito tiba di kerajaan Zanzibar, dia segera menemui Raja Edward dan menyampaikan langsung apa yang telah terjadi tadi. Tetapi, sebelum menemui Raja Edward, Hito diinterograsi terlebih dahulu oleh prajurit-prajurit penjaga benteng kerajaan Zanzibar. Hito berdialog dengan Raja Edward dan Pangeran Matius. Setelah itu, Pangeran Matius segera mengajak Hito dan orang-orangnya menuju ke wilayah suku Hutlacan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Pangeran Matius juga membawa beberapa prajurit berkuda pilihannya. Pangeran Matius dan beberapa prajurit berkudanya itu mengenakan pakaian kebesaran kerajaan Zanzibar dan hanya membawa pedang. Namun, sebelum Pangeran Matius berangkat ke sana, Raja Edward mewejangnya agar Pangeran Matius memberikan pengarahan kepada suku Mamodu dan suku Hutlacan untuk tidak saling bermusuhan dan bahu-membahu mengusir penjajah dari bumi Negeri Abad.

Kaum pria suku Mamodu, baik anak-anak maupun orang dewasa, hanya bertelanjang dada dengan mengenakan ikat kepala berwarna cokelat dan celana pendek dari kulit babi atau rusa yang didesain khusus, sedangkan kaum perempuan suku Mamodu, baik anak-anak maupun orang dewasa, juga mengenakan ikat kepala, tetapi dari pundak hingga lutut tertutup pakaian yang juga dari kulit babi atau rusa mulai dari pundak kiri sedikit di bawah ketiak kanan.

Semua orang suku Mamodu memakai aksesoris-aksesoris sebagai perhiasan dan simbol kebanggaan dari tulang, gigi, dan tanduk binatang-binatang buruan, seperti babi hutan, buaya, ular, dan rusa. Buaya dan ular juga dimakan oleh orang-orang suku Mamodu bila mereka menjumpainya.

Hanya kepala suku Mamodu saja yang mengenakan ikat kepala yang terselip bulu-bulu elang sebagai lambang kekuasaan dan kepemimpinan tertinggi di sukunya. Setiap suku memiliki pendoanya masing-masing. Sang pendoa biasanya seorang wanita yang sudah tua renta secara turun-temurun dari garis keturunannya sendiri.

Ketika Hito dan Pangeran Matius tiba di perkampungan suku Hutlacan, tabuh-tabuhan gendang berirama untuk acara persembahan mulai dibunyikan di sebuah padang rumput di depan perkampungan suku Hutlacan. Tabuhan-tabuhan gendang berirama itu sesekali diiringi lantunan-lantunan mantra yang juga berirama dari sang pendoanya dengan menari-nari di tengah lapangan.

Sebuah api unggun yang berukuran cukup besar sedang berkobar-kobar di depan seorang kepala suku Mamodu yang terikat di sebuah tiang gantung dengan keadaan kedua matanya tertutup secarik kulit babi hutan yang berwarna keabu-abuan. Kepala suku Mamodu itu berdiri di atas sebuah balok kayu yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh orang-orang suku Hutlacan sebagai persembahan kepada arwah-arwah leluhur mereka.

Tiang gantung itu sudah ada sejak lama dan memang digunakan untuk menggantung siapa saja yang melanggar aturan hukum suku Hutlacan dan tempat meletakkan sesajen berupa lima ekor babi hutan yang sudah disembelih dan buah-buahan sebagai persembahan kepada arwah-arwah leluhur mereka.

Manusia yang dijadikan sebagai persembahan tersebut menurut keyakinan mereka adalah bahwa arwahnya nanti akan dibina oleh leluhur mereka. Ini adalah sisi kemanusiaannya suku Hutlacan. Orang-orang suku Hutlacan sebenarnya berhati lembut, hanya penampilannya saja yang kelihatannya sangat menyeramkan.

Orang-orang suku Hutlacan berkulit hitam, bermata cokelat, dan berambut hitam keriting kemerah-merahan. Semua orang suku Hutlacan diwajibkan membela sukunya hingga titik darah penghabisan bila tidak bersalah. Keputusan kepala suku Hutlacan, Jimo, untuk menggantung kepala suku Mamodu adalah karena kemarahannya, bukan atas dasar aturan hukum suku Hutlacan sendiri.

Jimo sangat mencintai anak semata wayangnya tersebut. Sebenarnya, Jimolah yang melanggar aturan hukum sukunya sendiri. Karena dia naik pitam, semua penduduk suku Hutlacan tidak ada yang berani menghalang-halanginya pada saat itu.

Beberapa pria suku Mamodu sudah bersiap-siap di balik rerimbunan dedaunan pohon hutan dan semak-semak untuk mengadakan penyerangan. Dari kejauhan, terlihat pria-pria suku Hutlacan berdiri berbaris mengelilingi padang rumput untuk berjaga-jaga, sedangkan kepala sukunya duduk di sebuah batang kayu di dekat para pemukul gendang.

Kini, pandangan kedua mata Jimo mengarah ke kepala suku Mamodu yang masih terikat di sebuah tiang gantungan. Karena tidak sabar, Jimo beranjak dari tempat duduknya, lalu melangkahkan kedua kakinya dengan geram ke si pendoa sukunya yang masih menari-nari dengan melantunkan mantra-mantra di tengah lapangan.

"Apa tidak bisa dipercepat kamu membaca mantranya? Aku tidak mau berlama-lama merasakan kepedihan karena kematian putraku, hai nenek peyot! Kalau tidak bisa, aku akan segera membelah dadanya dengan pedangku ini." tanyanya kepada pendoa sukunya sambil menunjuk kepala suku Mamodu dengan pedangnya.

Si pendoa itu segera berhenti. Seketika itu, penabuh-penabuh gendang segera menghentikan tabuh-tabuhan dan semua pasang mata tertuju kepada Jimo dan si nenek pendoa tersebut yang ada di tengah lapangan berumput.

"Kamu tidak bisa mengubah aturan hukum yang sudah ditetapkan, Jimo! Bersabarlah! Sebentar lagi ritual ini akan selesai! Ini sudah menjadi kehendak Leluhur kita!" jawab si nenek pendoa itu, lalu dia melanjutkan tariannya dan melantunkan kembali mantra-mantra dengan berirama seperti membaca bait demi bait puisi.

Pangeran Matius dan beberapa prajurit berkudanya serta Hito dan orang-orangnya yang masing-masing membawa obor mendatangi lapangan berumput tempat ritual persembahan itu dilaksanakan. Kini, semua pasang mata tertuju pada gerombolan orang berkuda yang baru saja datang.

Pria-pria suku Hutlacan yang melingkari tepi padang rumput untuk menjaga upacara persembahan itu langsung bersiap-siap membidikkan anak-anak panahnya ke arah gerombolan berkuda tersebut, si nenek pendoa segera menghentikan tarian dan mantra-mantra yang dia baca, penabuh-penabuh gendang segera berhenti menabuh gendangnya lagi, lalu berdiri sembari mengambil pedangnya masing-masing yang sejak tadi ditaruh di bawah, dan Jimo segera mendekati gerombolan berkuda itu dengan membawa pedang. 

"Aku ingin bertemu dengan kepala sukumu untuk mengatakan sesuatu kepadanya! Saya mohon untuk memberi saya jalan!" mohon Pangeran Matius dengan lembut dan melekatkan kedua telapak tangannya ke tengah kedua bibirnya kepada beberapa pria suku Hutlacan yang ada di hadapannya.

"Beri dia jalan! Aku ingin berbicara dengannya!" perintah Jimo dengan suara yang cukup lantang.

Dengan segera, beberapa pria suku Hutlacan di hadapan Pangeran Matius memberikan jalan menuju ke kepala sukunya yang sekarang sedang berjalan mendekati Pangeran Matius dengan membawa pedang. Beberapa prajuritnya, Hito dan orang-orangnya mengikuti Pangeran Matius dari belakang masih membawa obor.

Pria-pria suku Hutlacan lainnya masih bersiap-siap membidikkan anak-anak panahnya ke segerombolan berkuda itu. Penabuh-penabuh gendang sekarang bergerombol di belakang kepala sukunya dengan membawa pedang, sedangkan si pendoa suku Hutlacan sekarang berdiri di samping Jimo yang sedang marah.

Beberapa pria suku Mamodu yang dari tadi berjaga-jaga di balik rerimbunan dedaunan pohon-pohon hutan dan semak-semak, bersiap-siap membidikkan senjatanya masing-masing ke arah pria-pria suku Hutlacan yang ditugaskan sebagai penjaga ritual persembahan itu oleh Jimo.

"Siapa kamu? Dan apa urusanmu datang ke sini bersama orang-orang Mamodu?" tanya Jimo sambil menunjuk dengan pedangnya ke arah mukanya Pangeran Matius.

 Pandangan Jimo sekarang tertuju ke pakaian kebesaran kerajaan Zanzibar yang dikenakan Pangeran Matius dan prajurit-prajurit berkuda pengawalnya yang dulu pernah dia lihat sebelumnya.

"Namaku adalah Matius. Aku adalah putra Raja Edward yang memimpin kerajaan Zanzibar. Aku datang ke sini dengan damai!" jawab Pangeran Matius dengan lemah lembut.

"Raja Edward?? Aku pernah bertemu dengan Raja Edward saat berburu di hutan. Dia dulu juga berburu bersama prajurit-prajuritnya. Dia memberikan hasil buruan-buruannya kepadaku. Aku ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kebaikan Ayahmu yang telah membuat aku dan orang-orangku sudah tidak kelaparan selama beberapa bulan. Setelah itu, aku dulu ingin sekali datang ke kerajaanmu lagi untuk meminta bantuan makanan, tetapi aku sangat enggan!" jelas kepala suku Hutlacan yang sekarang hatinya luluh.

"Apa keinginanmu datang kemari? Membebaskan kepala suku Mamodu itu? Ini adalah imbalan atas kesalahannya sendiri!" tanya Jimo kepada Pangeran Matius yang sekarang mulai marah lagi.

"Aku datang ke sini untuk.... " jawab Pangeran Matius, tetapi omongannya terpotong oleh Hito yang ingin menyampaikan sesuatu kepada Jimo.

"Bersalah? Apa kesalahan ayahku?" tanya Hito dengan marah kepada Jimo tersebut sambil membawa kapak batu yang pegangannya dari tulang kaki bison.

Pangeran Matius menghalang-halangi Hito dengan tangan kanannya, lalu dia melanjutkan perkataannya lagi.

"Aku datang ke sini untuk mengajakmu berdamai!" Pangeran Matius melanjutkan lagi perkataannya.

"Tuan, tidak bisakah dia dibebaskan dan persembahannya diganti?" mohon Pangeran Matius kepada Jimo dengan kalem.

"Tidak bisa! Aku menghukumnya atas kecerobohannya terhadap orang-orangnya yang memperbolehkan jebakan binatang buruan boleh dipasang saat tidak berburu atau di malam hari! Ini sangat membahayakan!" jawab Jimo kepada Pangeran Matius dan hendak menyabet Hito dengan pedangnya, tapi si nenek pendoa memegangi tangannya Jimo yang memegang pedang tersebut.

"Sabar dulu! Mari kita selesaikan dengan jalan musyawarah! Bila kepala suku itu terbukti salah, maka kita berhak menghukumnya atas kecerobohannya. Bila dia tidak bersalah, maka kita harus membebaskannya!" kata si pendoa suku Hutlacan yang sudah tua renta dan rambutnya selalu tak ditata rapi itu.

"Untuk itu, aku mohon untuk melepaskan ikatannya, lalu kita bermusyawarah untuk menelusuri permasalahan ini!" mohon Pangeran Matius kepada kepala suku Hutlacan tersebut. Setelah berpikir agak lama, akhirnya kepala suku Hutlacan melepaskan ikatan kepala suku Mamodu di tiang gantungan dengan menyuruh beberapa penabuh gendang di belakangnya.

Malam masih jauh dari larut. Saat ini masih pukul tujuh malam bila menurut waktu modern. Musyawarah pun segera dimulai di tengah-tengah padang rumput itu agak dekat dengan api unggun yang masih berkobar-kobar diterpa angin. Pria-pria suku Hutlacan masih berdiri melingkari tepi padang rumput dengan bersiap-siap membidikkan panah dan pria-pria suku Mamodu juga masih bersiap-siap membidikkan tombak dan panah di belakang pria-pria itu di sela-sela pepohonan dan di antara semak-semak di sebuah hutan yang letaknya tidak jauh dari padang rumput tersebut.

Malam ini, tampak jelas bintang-bintang berkerlap-kerlip di langit yang cerah dan bulan purnama menampakkan keseluruhan wajahnya tanpa ada sedikitpun gumpalan awan yang menutupinya. Kondisi hutan di sekitar padang rumput itu cukup terang oleh sinarnya. Terdengar suara-suara jengkerik di hutan sebelah padang rumput itu yang sesekali dibarengi dengan ocehan-ocehan seekor burung hantu yang sejak tadi bertengger di sebuah pohon yang tak jauh di belakang sebuah tiang gantungan.

Akhirnya, setelah melalui penelusuran permasalahan dan musyawarah itu yang sedikit diwarnai adu mulut antara Hito dan Jimo yang dilerai si nenek pendoa dan Pangeran Matius, maka diputuskan bahwa tidak ada pihak yang bersalah. Jebakan binatang buruan itu dipasang oleh salah seorang pria suku Mamodu yang masih tidak diketahui identitasnya.

Hal ini dirasa kurang begitu penting untuk mengetahui siapa pemasang jebakan binatang tersebut. Kepala suku Mamodu sudah memberikan aturan untuk orang-orangnya agar berhati-hati dalam segala hal. Kepala suku Hutlacan kini menyadari bahwa kematian putra semata wayangnya ini sudah suratan takdir.

Sekarang dia menerima dengan lapang dada apa yang telah menimpa putra semata wayangnya tersebut. Akhirnya, Hito dan Jimo berjabat tangan dan saling berangkulan meminta maaf serta disusul kepala suku Mamodu yang juga berjabat tangan dan berangkulan meminta maaf dengan kepala suku Hutlacan.

Malam ini, kepala suku Mamodu bersedia membantu mencarikan dan menyediakan sesajen persembahan untuk suku Hutlacan bila suku Hutlacan memerlukannya mengingat populasi babi hutan sudah menurun di hutan yang masih wilayahnya suku Hutlacan, karena setiap tahunnya diburu untuk dijadikan persembahan kepada leluhurnya suku Hutlacan.

Sebenarnya, hal itu adalah pelanggaran terhadap wilayah suku Mamodu. Namun, kepala suku Mamodu memaafkannya. Setelah permasalahan ini dirasa sudah beres, Pangeran Matius segera membicarakan permasalahan yang dihadapinya sekarang mengenai penjajahan dan Putri Olivia kekasihnya yang ditawan di dalam istana kerajaan Tanibar bersama dengan keluarganya. Pangeran Matius tidak memaksa kedua kepala suku itu untuk membantunya. Tetapi, Pangeran Matius berusaha menyadarkan dan mengarahkan kedua kepala suku itu terhadap mulai munculnya penjajahan di Negeri Abad.

Kepala suku Mamodu dan kepala suku Hutlacan merasa tidak enak hati bila mengabaikan permasalahan yang sedang dihadapi Pangeran Matius untuk menyelamatkan Putri Olivia beserta keluarganya dan mengusir penjajahan dari Negeri Abad. Setelah itu, Pangeran Matius memerintahkan beberapa prajuritnya untuk memberitahukan kepada ayahnya bahwa malam ini penyerangan harus segera dipersiapkan agar keadaan tidak berlarut-larut.

Pria-pria suku Mamodu yang berjaga-jaga di hutan segera turun dan bergabung dengan orang-orang suku Hutlacan yang ada di padang rumput setelah Hito memanggil mereka. Putra kepala suku Hutlacan segera dikebumikan di belakang rumahnya yang sejak tadi ditaruh dan ditutupi dengan dedaunan kelapa kering dengan didampingi sanak keluarganya.

Upacara adat pemakaman sudah dipersiapkan dari tadi, tapi hanya berlangsung sebentar saja dan dengan cara sederhana yang dipimpin langsung oleh si nenek pendoa suku Hutlacan. Setelah itu, putra semata wayangnya Jimo segera dikubur hanya ditutupi dengan dedaunan kelapa kering tadi, lalu di atasnya ditimbun dengan tanah hingga memenuhi lubangnya yang hanya berkedalaman setengah meter dan tidak diberi nisan di kedua ujung kuburan tersebut.

Satu hari kemudian, bau busuk keluar dari dalam kuburan itu dan menyebar ke dalam ruangan rumahnya dan ke rumah-rumah penduduk lainnya di dekatnya. Penduduk suku Hutlacan tidak merasa terganggu terhadap bau busuk tersebut, karena hal ini diyakini oleh mereka bahwa arwah orang yang meninggal masih di dekat mereka.

Setelah bau busuk itu menghilang pada ke sekian ratus harinya, arwah orang yang meninggal itu sudah diyakini telah menghilang dan melanjutkan perjalanan ke alam berikutnya. Begitulah menurut keyakinan orang-orang suku Hutlacan. Tidak beberapa lama kemudian setelah acara pemakaman itu selesai, Raja Edward datang bersama beberapa prajurit berkuda pengawalnya ke padang rumput untuk menjenguk Pangeran Matius dan mengetahui kondisi yang sebenarnya. Untunglah, ketegangan yang terjadi antara suku Mamodu dan suku Hutlacan sudah usai. 

Tidak beberapa lama kemudian, gendang-gendang ditabuh lagi, tapi kali ini beralunan musik perang. Raja Edward, prajurit-prajuritnya, Pangeran Matius, Hito bersama orang-orangnya, dan Jimo beserta orang-orangnya berbaris di tengah lapangan sebelum berangkat berperang. Alunan-alunan gendang musik perang itu untuk membakar semangat mereka.

Si nenek pendoa melumuri dada mereka masing-masing dengan lumpur hitam sambil mulutnya berkomat-kamit membacakan mantra-mantra perang. Ini adalah ritual suku Hutlacan sebelum berperang yang menurut keyakinan mereka dapat terhindar dari kekalahan dan mengalami keberuntungan selama berperang.

Saat ritual itu berlangsung, suara-suara ocehan burung hantu yang sejak tadi bertengger di sebuah pohon di belakang tiang gantung dan lolongan-lolongan serigala di bukit Rosenhill mengiringi ritual pemberkatan tersebut. Suasana ritual pemberkatan itu sangat mistis. Satu jam kemudian, kira-kira pukul 12 malam lebih seperempat, sekitar 600an orang berangkat bersama-sama dengan menerobos hutan dan sungai menuju ke hutan cemara tempat persembunyian Pangeran Matius dan prajurit-prajuritnya dulu yang letaknya cukup jauh dari kerajaan Tanibar untuk mengintai terlebih dahulu.