webnovel

Refleks

Aku masuk kamar kembali seraya mengeringkan rambutku yang basah. Oya, sejak keluar kamar mandi tadi beberapa pelayan seperti berbisik-bisik melihatku. Apa ada yang aneh? Ketika aku balas melihat, mereka bertingkah seolah tidak ada apa-apa. Dan seperti biasa mereka mengangguk sopan. Sampai Melli menegur perbuatan mereka. Baru kemudian meraka menunduk dalam. Ah, terserah mereka saja.

Aku langsung duduk di depan cermin rias lalu menyalakan hair dryer. Saat hendak mengangkat alat itu, sebuah tangan mencegahnya. Satria. Dia berdiri dengan setelan kerjanya yang nampak licin.

"Nggak baik, terlalu sering-sering pake hair dryer, nanti rambutmu rusak." Dia mencabut arusnya dan merebut benda itu dari tanganku.

"Lalu gunanya alat itu apa kalau nggak dipake, Bang?"

"Boleh dipake tapi nggak sering-sering juga. Lagi pula, kena angin nanti juga kering sendiri."

Aku hanya mengedik lantas beranjak menuju walk in closet.

"Rea, aku turun dulu. Kakek sudah menunggu," seru Satria, tapi aku tidak membalas. Sibuk memilih baju yang akan kupakai. Pilihanku jatuh pada sebuah blouse lengan panjang biru muda dengan renda di sepanjang kerah dan kancingnya. Aku mengenakan rok span selutut berwarna krem dipadu dengan heels lima senti berwarna senada. Ya ampun, aku feminim banget pakai baju kerja seperti ini.

Setelah memakai make up tipis-tipis, aku siap untuk pergi sarapan. Rambutku yang masih setengah basah aku biarkan tergerai. Sebentar lagi pasti kering karena ruang makan kalau pagi hari dibiarkan terbuka. Sehingga angin dari luar akan masuk. Bergegas aku turun.

Ternyata bukan hanya Kakek dan Satria. Ada Andra dan Om Fredrik juga.

"Selamat pagi semuanya!" sapaku menerima tarikan tempat duduk seorang pelayan padaku. Seperti biasanya aku akan duduk di sebelah kanan Satria.

"Pagi, Rea. Apa tidurmu nyenyak, Nak?" tanya Kakek.

"Lumayan, Kek."

"Gimana perjalananmu kemarin, Rea. Amankah? Kamu nggak histeris lagi?" tanya Andra dengan raut yang agak khawatir.

"Dia baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Sepanjang mengudara, dia tertidur pulas seperti orang mati." Satria menjawab pertanyaan Andra dengan nada menyebalkan. Aku hanya meliriknya kesal. Dan tanpa peduli lagi, aku mengambil setangkup roti tawar dan selai coklat lalu mulai mengolesnya.

"Andra, jika ada waktu kamu bawa Rea untuk melihat salah satu hotel milik kita di sini," pinta Kakek menoleh pada Andra.

"Baik, Kek."

Salah satu? Berarti masih ada lagi dong kalau itu cuma salah satunya. Usaha Kakek ternyata memang banyak.

"Hotel Kakek banyak ya?" tanyaku tanpa ragu. Tetapi lelaki tua itu malah tertawa.

"Tidak banyak, Rea. Hanya sekitar lima puluhan. Semuanya tersebar di seluruh Indonesia," jawab Kakek membuat mulutku menganga. Lima puluh?

"Kakek, hotel lima puluh kok masih bilang hanya sih?" decakku menggelengkan kepala.

"Karena mungkin masih ada yang punya lebih banyak lagi, Rea."

"Oya? Kakek gokil banget."

Andra terkekeh mendengar itu begitupun Kakek dan Om Fredrik, kecuali Satria tentu saja. Dia masih betah memasang tampang kecutnya.

Aku mulai memakan sarapanku. Biarlah aksi ngambek Satria berlanjut. Aku nggak peduli. Setelah ini aku akan pergi ke hotel bersama Andra. Maksudku pergi meninjau hotel bersama Andra.

Rambut panjangku yang mulai kering berkibar diterpa angin dari jendela kaca yang sengaja dibuka. Biasanya tiap pagi dan sore, ruang makan ini akan menjadi ruang outdoor. Mansion Kakek pokoknya keren.

Aku hendak memasukkan roti ke dalam mulut saat rambut panjangku lebih dulu menempel pada bibirku. Aku menyingkirkan anak rambut yang terus menggangguku. Tadi harusnya aku kuncir saja sekalian rambut ini, tidak perlu menunggu kering begini. Kalau sudah seperti ini aku yang kerepotan sendiri.

Aku baru akan kembali menyelipkan anak rambut ke balik telinga ketika sebuah tangan kurasakan menggenggam semua helaian rambutku.

Sontak aku tertegun, merasakan tangan itu mulai bergerak dan mengikat rambut yang terus-terusan berkibar layaknya bendera. Setelah selasai melakukan tugasnya, tangan itu kembali ke tempat semula. Aku menoleh ke samping mengikuti pergerakannya. Pemilik tangan itu bahkan tidak seperti sudah melakukan sesuatu yang bagiku sangat manis dan mengesankan. Satria, dengan muka datar seolah tidak pernah melakukan apa-apa, kembali melanjutkan acara makannya.

Aku pikir dia nggak peduli apa pun lagi padaku. Namun saat sebuah hal sekecil ini tidak luput dari perhatiannya, kontan itu membuat wajahku bersemu. Dia tidak malu mengikat rambutku di hadapan Kakek, Andra dan Om Fred. Bahkan di hadapan para pelayannya. Astaga! Hanya karena Satria mengikat rambutku saja, aku bisa dibuat sesenang ini? Otakku sepertinya memang sudah nggak waras.

"Andra, aku bisa minta data tentang Makmur Sentosa?" tanya Satria menatap Andra yang tadi juga sempat kulihat agak sedikit tertegun melihat aksi Satria.

"Oh, iya, Bang. Oke. Nanti aku kirim via email."

"Oke, aku tunggu." Setelahnya Satria nampak mendorong kursinya dan berdiri.

"Mau kamu apakan data dari Makmur Sentosa, Satria?" tanya Kakek menatap tajam pada sosok yang berdiri menjulang di sebelahku.

"Tidak akan aku apa-apa kan, Kakek santai saja."

Aku bisa melihat Satria melempar senyum pada Kakek. Tapi, senyum itu nampak lain, entahlah kurasa Satria sedang menyembunyikan sesuatu.

"Baiklah, semuanya. Aku berangkat dulu, ada rapat pagi yang harus ku pimpin di Bali," ucap Satria membuatku menoleh. Dia mau ke Bali?

"Rea, kamu berangkat sama Andra nanti," lanjutnya sebelum ia meraih tas kerjanya.

Tunggu? Dia mau ke Bali tapi tanpa mengajakku? Yang benar saja!

"Bang! Berapa hari kamu ke Bali?" tanyaku nyaris berteriak karena Satria sudah jauh melangkah.

"Kenapa? Kamu bersenang-senang saja sama Andra. Nggak perlu tahu aku ke sana mau berapa lama."

Kemudian Satria pergi begitu saja. Tanpa sadar aku meremas roti yang sedang aku pegang.

"Nggak akan lama, Rea. Paling jam makan siang, Bang Satria udah ada di Jakarta kembali," terang Andra seolah tahu isi kepalaku.

"Pasangan yang sangat manis," komen Om Fred dengan bibir berkedut. Laki-laki itu, aku tahu dia sedang ingin tersenyum. Tapi dengan susah payah dia sembunyikan.

"Apa kalian sedang bertengkar?" tanya Kakek memandangku.

"Enggak kok, Kek." Nggak mungkin kan aku berterus terang apa yang terjadi?

"Kakek bisa melihat raut kesal pada wajah Satria." Kakek tersenyum lalu mengarahkan padangan ke tempat perginya Satria tadi. "Namun, saat sedang kesal seperti itu, ternyata dia masih perhatian juga sama kamu, Rea."

Aku melotot. Maksud Kakek apa ya?

Kakek kembali memandangku. "Satria kadang keras dan menyebalkan, tapi sebenarnya dia memiliki hati yang lembut." Kakek tersenyum membuat kerutan di beberapa bagian wajahnya nampak semakin berkerut.

Ternyata Satria benar. Kakek nggak akan marah lama. Bahkan ketika dirinya kesal pun, Kakek masih sempat memuji sifat cucunya itu. Tapi apa yang Kakek bilang itu betul. Aku saja sampai terkesima dengan tindakan Satria padaku tadi. Ah! Sial! Wajahku pasti kembali bersemu.

PS. Halo Gaess... Satria-Rea come back. Jadwalnya memang setiap hari senin saja. Jadi mohon maaf y Gaes lama. Tapi aku harap teman" di sini nggak bosan memberi powerstone, ulasan, dan komennya. Hehe...

Biar Satria-Rea selalu smile ☺

Terima kasih yaa... Udah mau dukung mereka sampai sini.

See you soon.

NB. Nggak sempet edit lagi. Semoga bisa dipahami.

Next chapter