19 Ngambek jilid 2

Aku memandang nyalang pada langit-langit kamar yang tinggi. Mataku belum bisa terpejam. Ini mungkin karena sepanjang naik pesawat sore tadi, aku sudah tertidur pulas. Di sebelah, Satria sudah tidur dengam posisi memunggungiku. Dia marah, ngambek, masih sinis kalau bicara denganku. Bahkan saat tidur pun nggak mengajakku atau sekadar mencandaiku untuk membuat anak. Entah apa yang ia pikirkan, ucapanku apa begitu membuatnya tersinggung?

Aku menghela napas, lalu menarik selimutku tinggi-tinggi, mencoba untuk memejamkan mata. Satu menit, dua menit, sepuluh menit. Masih belum bisa tidur juga. Aku membuka selimut kembali dan duduk. Menoleh iri pada Satria yang mungkin sedang bermimpi indah.

Aku menahan napas ketika tubuh liatnya bergerak. Kali ini dia tidur mengarah padaku. Dia benar-benar pulas, enak benar ya pulas sendirian. Napasnya bergerak teratur dan matanya terkatup rapat hingga bulu matanya yang panjang tampak lebat. Iya, Satria memiliki bulu mata yang panjang dan lentik. Perempuan di luar sana banyak menginginkan bulu mata selentik itu hingga rela membeli alat-alat pelentik bahkan ada yang pakai bulu mata palsu. Tapi Satria, bulu mata lentiknya alami tanpa dibuat-buat. Namun anehnya, itu cocok dengan wajahnya. Bahkan menambah ketampanannya.

Aku memerhatikan hidung bangirnya yang mencuat sempurna. Hidung bak Pangeran negeri dongeng juga dimiliki Satria. Hingga aku curiga, mungkin waktu itu Tuhan menciptakannya sedang dalam suasana hati yang baik. Satria adalah lambang ketampanan seorang laki-laki. Dewa-dewa Yunani pun kalah menurutku. Antares? Lewat! Andra?

Aku tiba-tiba mengingat mahluk tampan satunya lagi. Ah, hampir lupa. Cucu Wijaya memiliki pangeran lain yang tak kalah tampan. Astaga! Ternyata hidupku dikelilingi oleh laki-laki tampan. Aku cekikikan sendiri di tengah malam. Membayangkan diriku digandeng oleh dua manusia tampan dari klan Wijaya.

"Kamu nggak tidur?"

Aku langsung menoleh ketika terdengar suara milik Satria. Dia terbangun, pasti suara tawaku yang kubuat sepelan mungkin mengganggu tidurnya.

"Aku tidur, maksudku aku tadi tidur tapi kebangun."

"Lebih baik kamu, tidur. Besok pagi bukannya mesti ke kantor?"

"Ah, Iya." Aku memperbaiki posisi selimutku lantas berbaring. "Bang, apa kamu masih marah?"

Satria nampak sedikit terkejut dengan pertanyaanku. Kemudian, dia langsung mengubah mimik wajahnya. "Menurutmu?" Matanya sempat melotot padaku sebelum akhirnya dia membalikkan badan dan memunggungiku lagi.

Ya ampun, ternyata masih ngambek. Menghembuskan napas kasar, aku kembali mencoba memejamkan mata.

***

Tubuhku menggeliat pelan, gerakanku nggak bebas, serasa ada yang mengunci. Hmm benar saja. Begitu mataku terbuka, ternyata Satria masih tidur dengan posisi memelukku layaknya guling. Astaga, ini posisi nggak menguntungkan buatku. Aku mencoba menyingkirkan tangan besarnya.

'Dasar dugong! Ngambek-ngambek, tidur main peluk sekenanya.'

Belum sempat aku menyingkirkan tangannya, mata Satria terbuka. Kontan pandangan kami bertemu. Untuk beberapa saat kami saling diam. Jarak wajah kami hanya terpaut sejengkal saja dan itu membuat pipiku mendadak terasa panas.

"Bukannya kamu lagi ngambek, kenapa tangan dan kakimu nangkring di badanku?"

Seolah baru tersadar, Satria segera menarik tangan dan kakinya.

"Kamu sendiri? Kenapa tidur pake acara pegang-pegang tanganku segala?"

Apa? Pede sekali dia.

"Siapa yang pegang tangan kamu? GR!"

"Lalu ini apa?" Satria melirik tangan kanannya yang terlihat pasrah aku genggam. Aku cukup terkejut, kenapa tanganku bisa sampai kesana? Kontan aku melepas tangannya.

Satria memutar bola matanya lalu beranjak turun dari tempat tidur.

"Kamu mau kemana, Bang?"

"Mandilah, ngapain lagi? emang kamu nggak tahu, lagu bangun tidur lanjutannya apa?"

Jawabannya masih ketus aja, pakai acara bawa-bawa lagu 'bangun tidur' segala lagi. Memangnya aku ini anak TK? Menyebalkan.

"Aku duluan, Bang! Aku sudah telat." Aku buru-buru melompat turun dan hendak menyerobot jalannya.

"Eh, nggak bisa! Aku duluan yang mandi, jangan asal main serobot. Antre dong! Di sekolah nggak diajarin mengantre apa?"

"Yaelah, Bang. Ngalah dong. Cewek duluan."

"Nggak! Kamu mandi di luar gih."

"Tega amat sih, Bang!"

"Emangnya kamu enggak?"

"Ya udah, aku minta maaf kalau udah bikin Bang Sat marah."

Satria melotot. "Jangan panggil aku seperti itu."

"Iya,iya, Mas Satria. Aku minta maaf. Mas suamiku yang ganteng."

Satria mengernyitkan kening. "Nggak ikhlas banget bilang gantengnya."

"Ikhlas lahir batin, sumpah deh. Jadi, boleh ya aku yang mandi duluan." Aku buat senyum semanis mungkin biar dia luluh.

"Enggak," balas Satria dengan senyuman. Namun hanya berlangsung sepersekian detik. Setelah itu....

BRAKKK

Mataku memejam, Satria menutup pintu kamar mandi tepat di depan wajahku.

"Bangke lu, Bang," umpatku kesal.

Tapi tiba-tiba pintu terbuka lagi. "Kamu bilang apa tadi?"

Ops!

"Aku nggak bilang apa-apa kok, Bang." Kukibas-kibaskan tangan di depan dada.

"Telingaku nggak tuli ya, Rea."

"Tadi itu aku cuma bilang. Ganteng lu, Bang. Gitu doang."

Satria memicingkan mata, menyorotku curiga. "Awas kalau bilang nggak sopan lagi," ancamnya sebelum menutup pintu kembali.

Seperti dia sopan saja? Memangnya sikap dia yang sesukanya itu masuk kategori sopan? Bahkan sama Kakek pun dia sering bertindak kurang ajar, eh maksudku kurang sopan.

***

Aku sudah sangat terlambat, pasti Kakek sudah menunggu di meja makan. Mengalah saja, akhirnya aku keluar, sembari membawa peralatan mandi.

Beberapa pelayan yang berpapasan denganku menunduk hormat. Aku risih deh, diperlakukan seperti itu. Tapi kata Melli - kepala pelayan-, itu adalah protokol wajib jika bertemu dengan majikan. Terserahlah, aku cuma balas mengangguk. Mungkin mereka bingung karena pagi-pagi aku keluar kamar, masih mengenakan piyama dengan handuk yang terselampir di pundak, serta gayung berisi peralatan mandi.

Aku berpapasan juga dengan Melli yang sudah berpenampilan rapi. Aku yang masih acak-acakkan dengan iler di mana-mana jadi minder sendiri. Melli itu seorang kepala pelayan yang cantiknya paripurna. Penampilannya selalu perfect. Umurnya kira-kira tiga puluhan, masih muda kan?

Entah ini hanya perasaanku, tapi terkadang aku merasa perhatian Melli pada Satria terlalu berlebihan. Melli membungkukkan badan padaku sesaat.

"Selamat Pagi, Nyonya muda. Kenapa Nyonya pagi-pagi ada di luar kamar dengan masih mengenakan piyama?" tanyanya kemudian.

"Iya, Melli, aku mau mandi di luar."

Mata lentik Melli mengerjap. Mungkin dia bingung dengan keinginanku.

"Kamar mandinya lagi dipake Satria," kataku cepat menghapus tanda tanya di kepalanya.

"Ooh." Dia mengangguk meskipun raut bingungnya masih kelihatan.

"Kamu nggak berpikir menyuruhku mandi bareng dengan Satria kan?"

Ekspresi wajah Melli langsung berubah tegang dan merah. "Oh, tidak, Nyonya. Sama sekali tidak." Dia buru-buru menggerakkan tangan di depan dadanya.

"Silahkan, Nyonya. Nyonya bisa mandi di sana."

Aku geli sendiri melihat wajah Melli yang berubah memerah. Dia pasti berpikir aku ini terlalu ceplas ceplos. Padahal aku cuma ingin menggodanya. Aku tersenyum dan meninggalkan Melli menuju kamar mandi.

PS. Halaoo semuanya. Satria-Rea nyapa lagi gaess. Ayoo tebar power stone kalean sebanyak-banyaknya hehe... Jangan lupa mampir di ulasan dan komen ya gaess... Biar bintangnya Satria-Rea bertambah. 😉 love you full and see you soon.

avataravatar
Next chapter