"Hari ini jadi makan bersama kan?" tanya Jane pada Eli bersama dengan Junior yang ada di sampingnya. Kelas mereka baru saja selesai.
Eli terdiam sejenak ketika membereskan bukunya ke dalam tas, ia lupa waktu itu sudah berjanji akan mentraktir Jane dengan Junior sebagai balasan ketidakhadirannya pada acara makan bersama beberapa hari yang lalu. Tentu saja ia tidak bisa melanggar janji itu sekarang, namun hari ini William juga sudah membuat janji padanya dan akan menjemputnya. Astaga, bagaimana ini? Mengapa ia jadi pelupa begini?
"Eli?" panggil Junior membuyarkan lamunan singkat gadis itu.
"Ya, Junior?" jawab Eli gugup.
"Apa kau tidak bisa juga hari ini?" tebak Jane menyadari sikap aneh Eli.
Eli menggeleng, "Tidak, aku bisa kok. Jadi dimana kita akan makan bersama?"
Ya, Eli tidak punya pilihan, karena ia sudah membuat janji terlebih dahulu kepada Jane, nanti dirinya bisa mengirim pesan pada William kalau ia tidak bisa datang karena ada urusan. Semoga pria itu bisa memakluminya.
"Baiklah, bagaimana jika di tempat biasanya?" usul Jane
Eli dan Junior memandang satu sama lain.
"Setuju!" jawab mereka bersamaan,
**********
"Masih belum bisa dihubungi?"
Christ menggeleng menanggapi pertanyaan Tuannya itu. Pasalnya sejak tadi mereka sudah menunggu di depan kampus Eli, tapi gadis itu tak kunjung muncul dan nomornya pun tidak bisa dihubungi.
"Belum sir. Apakah mungkin dia lupa?"
William terlihat menggertakkan giginya menahan marah. Ia benar-benar tidak menyangka cara manis yang bahkan dipakainya semalam untuk menyenangkan gadis itu malah diingkari. Eli benar-benar tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa.
"Aku tidak mau tahu, lacak keberadaannya sekarang!"
Christ mengangguk, "Siap sir!"
Ketika Christ melakukan tugasnya, William terlihat masih menahan emosinya karena Eli. Sebelumnya tidak ada yang berani begini padanya, bahkan para wanita diluar sana tidak ada yang menolaknya. Lihat saja nanti, dia pikir akan tidur dengan tenang setelah apa yang sudah dilakukannya padanya?
"Sir, bukankah itu Elyana?" ucap Christ tiba-tiba membuyarkan lamunan William.
Pria itu pun segera memandang ke arah dimana Christ menunjukkan keberadaan Eli, dan benar saja Gadis itu memang ada disana. William kembali menggemertakkan giginya setelah mengetahui fakta lain jika gadis itu kini sedang bersama lelaki lain. Jadi alasan inikah dia berani melanggar janjinya?
"Sialan! ternyata gadis itu lebih memilih pergi bersama lelaki itu dibandingkan denganku?!" ujar William kesal.
"Terima kasih Junior, kau sudah repot-repot mengantarku mengambil ponsel di kelas." ucap Eli.
Junior mengangguk, "Tidak apa-apa, lagipula ini sudah malam Eli. Aku tidak akan membiarkanmu kembali ke kampus sendirian."
Eli tersenyum, sebenarnya setelah makan bersama tadi disaat ia sadar jika ponselnya tidak berada di dalam tasnya, ia pun berinisiatif sendirian untuk mengambil ponselnya yang ia rasa tertinggal di dalam kelas terakhir. Dan Junior pun menawarkan diri secara sukarela menemaninya. Padahal dirinya sudah berkali-kali menolak, tapi Junior begitu bersikukuh ingin menemaninya karena tidak ingin ia kembali ke kampus sendirian, dan disinilah mereka sekarang.
Untung saja dugaannya benar, ponselnya memang ketinggalan di dalam kelas dengan keadaan lowbat.
"Sekali lagi terima kasih, Junior. Oh iya, pulanglah. Aku akan pulang naik bus."
Junior tampak mengernyitkan dahinya, "Kenapa? aku bisa mengantarmu menggunakan motorku. Lagipula rumah kita searah kan?"
"Tidak, aku tidak mau merepotkanmu lagi Junior." tolak keras Eli.
"Oh ayolah, Eli. Kau sama sekali tidak merepotkanku. Mari kuantar pulang."
Eli menghela nafas, lagi-lagi mereka harus beradu argumen dan sekali lagi ia pun memilih mengalah. Lagipula ini memang sudah hampir larut malam, pasti bus sudah berhenti beroperasi. Ia pun mengikuti Junior menuju motornya yang terparkir di depan gerbang, dan tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang sehingga membuatnya memekik keras karena terkejut.
"Argh!"
Kedua mata Eli sontak membulat setelah mengetahui siapa orang itu, sementara Junior yang melihat Eli syok langsung menanyakan keadaannya dan terlihat begitu khawatir.
"Eli, kau baik-baik saja? and whats wrong with you, sir--"
"Beraninya kau membawa kabur kekasihku, anak muda!" ujar William memotong kalimat Junior.
Rasanya sekarang Eli ingin sekali menghilang dari muka bumi ini. Mengapa William bisa berkata seperti itu kepada Junior? nanti jika dia tahu kalau sebenarnya William adalah kakak tirinya bagaimana?
"Kak, aku rasa ini bukan waktunya untuk--"
"Sayang, jadi alasanmu melupakan janji kita dan tidak bisa dihubungi karena lelaki ini? sepertinya seleramu turun begitu drastis." sindir William halus.
"Kak, Junior itu temanku." kata Eli menjelaskan.
"Teman? tidak ada namanya teman diantara seorang perempuan dan lelaki, El. Di antara kau dan dia, pasti sudah ada yang jatuh cinta."
"Benar!" sambung Junior menyetujui kalimat William.
"Aku memang sudah jatuh cinta pada Elyana." tambahnya.
Eli memandang Juniortidak percaya, apakah ia tidak salah dengar? Junior jatuh cinta kepadanya?
"Dasar manusia tidak punya rasa malu!" ejek William.
"Gadis yang kau cintai ini, sudah memiliki kekasih bung. Aku akan mesomasimu karena berani menyatakan cinta kepada kekasihku."
"Kak, jangan berlebihan. Dan kau Junior, maafkan aku jika aku mengecewakanmu, karena aku hanya menganggapmu sebagai teman saja sama seperti yang lain. Kau lelaki yang baik, kau berhak memiliki gadis yang lebih baik dariku." setelah mengatakan hal itu Eli berlalu pergi.
"Eli?!"
Junior yang berusaha mengejar Eli langsung dihadang William. Pria itu tersenyum remeh ke arah Junior.
"Hahaha! Sudah ditolak masih berani mengejarnya? Hei, anak muda, sadarlah! Elyana itu milikku!" tegas William lalu pergi dari sana untuk mengikuti Eli.
"El, tunggu! Kau mau kemana? masuk ke dalam mobilku!" ujar William menghentikan langkah Eli.
Namun Eli tak menggubris panggilan William dan tetap melangkahkan kakinya menjauh sampai akhirnya langkahnya terhenti paksa setelah William berhasil mengejarnya.
"Hei! kau tuli?"
Mata William membulat setelah mendapati mata Eli basah. Cih, jadi Eli menangisi lelaki tadi? tidak bisa dibiarkan.
"Jadi kau juga memiliki perasaan yang sama dengan lelaki itu?"
Eli mengadahkan kepalanya untuk menatap William, dahinya terlihat mengernyit mencermati pertanyaan pria itu. Padahal ia menangis bukan karena dirinya sudah menolak Junior, tapi karena ada debu yang mengenai matanya sehingga membuatnya kelilipan.
Belum sempat ia menjelaskan, tiba-tiba tubuhnya terangkat ke udara karena William membopongnya.
"Kak, apa yang kau lakukan?!" pekik keras Eli.
"Sudah cukup aku bersabar hari ini! Perempuan tidak tahu diri seperti dirimu memang harusnya diberi pelajaran dari awal!"
"Kak Wil, apa maksud-- ahh!"
Eli kembali memekik setelah William melemparkan tubuhnya begitu saja ke dalam jok mobil. Ternyata di dalam mobil itu sudah ada seseorang yang menunggu. Eli tahu siapa orang itu, dia adalah asisten kakak tirinya.
"Christ, kembali ke rumah sekarang!"
"Tapi sir, bagaimana dengan kapal pesiar--"
"APAKAH AKU PERLU MENGULANGI UCAPANKU LAGI?!" bentak William kepada Christ.
"Ba--baik sir."
Mobil itupun melaju pergi dari sana menuju rumah pribadi William. Selama perjalanan, suasana begitu terasa riskan karena aura William begitu mendominasi.
Sementara Eli hanya diam saja karena ia tidak tahu bagaimana berhadapan dengan William saat ini. Eli juga mulai berpikiran aneh-aneh, takut jika William kembali menjadi kakak tirinya yang jahat dan kasar.
Coba saja ponselnya tadi tidak ketinggalan, pasti tidak akan ada kejadian seperti inikan? batinnya.
Tak berapa lama, mobil itu tiba di sebuah rumah yang begitu tampak mewah itu. William pun turun dan buru-buru menarik Eli keluar dari dalam mobil lalu masuk ke dalam rumahnya.
"Kak, pelan-pelan. Tanganku sakit." ujar Eli meringis-ringis.
Wlliam menghentikan langkahnya dan sontak hal itupun membuat Eli menabrak tubuhnya dari belakang. Pria itu kemudian mendorong tubuh Eli dengan menyudutkannya hingga punggungnya terdorong cukup keras ke tembok.
"Kau tahu apa yang sudah kau lakukan hari ini benar-benar tidak bisa dimaafkan, El!"
Eli menelan ludahnya susah payah membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba mengering. Dimata Eli saat ini, William terlihat menakutkan.
"Kak Wil, aku bisa jelaskan--hmphhhhhh!"
Belum sempat Eli menjelaskan, bibirnya sudah dibungkam begitu saja oleh bibir William. Pria itu mencium bibir Eli dengan kasar. Eli memukul-mukul dada William karena tindakan brutalnya, dan alhasil tautan dibibir mereka pun terlepas. Eli buru-buru menghirup pasokan udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga saluran pernapasannya.
"Berani-beraninya kau menahan napas saat kita sedang berciuman. Kau mau mati?"
"Kak, aku mau pulang." lirihnya.
William tersenyum sinis, "Pulang? jangan berpikir untuk bisa pulang setelah apa yang sudah kau lakukan, El!"
Ketika William akan kembali mencium Eli, tiba-tiba seseorang datang bergabung dan menghentikan aksi William itu.
"Sayang, siapakah perempuan muda ini? aku sudah menunggumu pulang dari tadi." ujar wanita itu yang entah datang dari mana.
William menoleh, "Yuna? mengapa kau bisa ada di rumahku?"
Wanita bernama Yuna itu terlihat sudah memakai lingerie super tipis sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang tampak bak gitar spanyol dengan riasan wajah yang menor dan bibir merah darah itu mendekati William dan Eli berada.
"Sayang, bukankah harusnya sekarang kau tidur denganku? apakah kau membawa jalang baru ke rumah?!"
"Tutup mulutmu! Aku akan membantumu mendapatkan proyek sutradara A. Mulai sekarang berhentilah menemuiku!" usir William.
Yuna terlihat terkejut, "Sayang, apa salahku? seharusnya dia yang kau tendang dari sini!"
"Aku bosan padamu! Dan gadis ini adalah kekasihku, sekarang angkat kakimu dari rumah ini dan jangan perlihatkan wajah badutmu itu didepanku lagi! Kau benar-benar menghilangkan gairahku malam ini"
"Apa? mana bisa begitu?" ucap Yuna yang masih tidak bisa terima.
"Christ!" panggil William kepada asistennya.
"Yes, sir, ada apa?"
"Bawa badut itu keluar dari rumahku!"
"Siap, sir."
"Ayo, pintu keluar ada disana."
"Tidak, William. Kau tidak bisa membuangku dengan cara seperti ini hanya karena jalang itu! William!" marahnya dan sama sekali tidak digubris oleh William.
Sepeninggal mereka, Eli yang terlihat terdiam karena kejadian barusan tiba-tiba memekik keras kembali karena William lagi-lagi membopongnya memasuki lift yang ada di rumah itu. Eli pasrah, ia sama sekali tidak tahu apa rencana William kali ini.