webnovel

Eps. 1

18 Tahun kemudian.

Happy birthday to you ....

Happy birthday to you ....

Happy birthday ....

Happy birthday ....

Happy birthday to you ....

Nyanyian selamat ulang tahun terdengar bergemuruh di setiap sudut ruangan. Acara yang terlihat mewah menghiasi suasana malam yang indah, hal itu menjadi momen bahagia bagi seorang gadis cantik yang baru beranjak mengawali umur delapan belas tahunnya.

Dia adalah Emely Cathwill, gadis kecil yang kini sudah tumbuh menjadi dewasa. Gaun motif gemerlap yang menempel di tubuhnya itu semakin membuat Emely tampak sempurna. Kini dia sedang memejamkan mata memohon atas segala keinginannya di dalam hati. Berikutnya, dia meniup lilin angka yang terpajang di kue ulang tahun dengan perlahan.

Tepuk tangan juga sorak sorai dari para tamu semakin membuat senyum di bibir Emely mengembang. Namun itu hanya sesaat, dia malah mengedarkan netranya ke segala penjuru ruangan mencari sosok yang ia nantikan.

Kenapa Roland belum datang juga? tanyanya dalam hati.

"Ayo, Sayang, potong kuenya!" titah sang ayah. Gadis itu hanya mengangguk sembari menghela napas kasar. Wajah blasterannya mulai menampakan raut kesedihan karena sang pacar tidak datang.

Pisau yang Emely arahkan tepat pada bagian kue, kini terhenti karena pandangannya lagi-lagi mengamati keadaan sekitar. Dia benar-benar mengharapkan sosok Roland hadir, setidaknya dengan hal itu pesta ulang tahunnya menjadi lengkap.

"Kenapa berhenti, Em? Ayo lanjutkan!" Jack mendekati anaknya dan membantunya untuk memotong kue. Potongan pertama, Emely berikan kepada orang yang sangat berharga, siapa lagi kalau bukan ayah tercinta. Dia memeluknya seolah tidak mau kehilangan.

Potongan kue kedua, harusnya untuk seseorang yang sudah melahirkan Emely ke dunia. Namun, sedari kecil dia tidak pernah merasakan kehadiran sang ibu di setiap hari ulang tahunnya, itu karena beliau sudah tiada. Sebagai gantinya, ia akan menyuapkan kue pada seseorang yang telah memberinya cinta, tapi dia juga entah ke mana.

"Sini, Nak. Giliran Ayah yang menyuapkan kue untukmu," ucap Jack mencoba menghilangkan raut kesedihan yang tercetak di wajah putrinya. "Semoga kau panjang umur dan sehat selalu. Ayah sayang padamu, Em."

Semakin malam para tamu semakin surut dan pada akhirnya mereka benar-benar menghilang dari pandangan karena acara sudah selesai. Sekarang adalah waktunya pemilik acara untuk beristirahat.

"Nak, segeralah pergi tidur, istirahat yang cukup. Ingat, besok pagi kamu harus berangkat ke Irlandia."

"Iya, Ayah. Mana mungkin aku lupa."

ΦΦΦ

"Tidak! Jangaaan!" Emely berteriak sangat keras kala dirinya berhadapan dengan monster besar bermata satu yang hendak mendorongnya ke jurang. Ia memejamkan mata pasrah karena tidak tahu harus berbuat apa. Namun, ia merasakan tidak terjadi sesuatu di sana.

Dengan perlahan kelopak mata gadis itu terbuka dan langsung mengamati keadaan sekitar, ternyata monster itu sudah tidak ada. Deru napas Emely mulai teratur karena ia akhirnya selamat. Akan tetapi, saat dirinya melangkah, ia malah merasakan berat pada punggungnya. Wajah panik itu menoleh bermaksud mengeceknya dengan rasa yang mulai gelisah.

"Arghhh!" Emely menjerit saat melihat kulit pada bagian punggungnya berubah menjadi keriput dan menggelambir panjang ke mana-mana. Ia terus mengibas-ngibaskan tubuhnya agar kulit yang menggelambir itu bisa terlepas, tapi nyatanya tidak bisa. "Tidak mungkin! Ini bukan tubuhku!" teriaknya mengelak.

"Emely, bangun, Nak!"

Kedua mata jenis close-set eyes itu kini terbuka lebar kala suara ayahnya terdengar. Terlihat keringat bercucuran di dahi gadis itu, napas yang masih tidak teratur dan degupan jantung yang belum stabil membuat mimpi tersebut benar-benar terasa nyata. Bahkan, netra dengan sudut berhimpitan itu sudah berkaca-kaca karena terlalu takut akan mimpinya.

"Ini sudah pagi, kamu harus bersiap-siap." Jack berucap sembari membuka gorden pada jendela kamar putrinya.

"Sepagi ini Ayah sudah membangunkanku?" tanya Emely seraya duduk dan meregangkan tubuhnya pelan, berusaha menyembunyikan kepanikan yang ada di dalam dirinya.

"Kamu itu bukan anak SMA lagi. Seharusnya Ayah sudah tidak perlu lagi membangunkanmu di setiap pagi. Apalagi, sekarang kamu itu calon mahasiswi, jadi harus bisa disiplin dan mandiri. Cepat bangun, mandi!"

"Siap, My hero," ucap Emely berhasil membuat sang ayah tersenyum.

Gadis yang baru menginjak umur delapan belas tahun ini langsung berjalan ke arah kamar mandi dengan lunglai. Sepertinya dia masih tidak ada niat untuk membersihkan diri. Benar saja, langkahnya malah terhenti tepat di depan pintu kamar mandi. "Ayah, tadi aku mimpi aneh," gumamnya serius.

"Sudah, ceritanya nanti saja, cepat mandi. Di bawah ada Roland, dia sudah menunggumu." Mata Emely membulat mendengar nama itu. Ayahnya langsung keluar mengabaikan ekspresi wajah anaknya yang sedang kegirangan.

"Hari ini wajahku harus terlihat cantik!" Emely terlihat lebih bersemangat. Ia segera melesat ke kamar mandi dan melaksanakan ritualnya dengan waktu yang cukup lama.

Setelah hampir dua puluh menit Emely bermain dengan air, akhirnya dia keluar dengan keadaan wajah yang lebih segar.

Aktivitasnya ia lanjutkan dengan memilih-milih baju yang tepat untuk ia gunakan. Kaos putih polos disertai blazer levis, ditambah celana jeans putih tulang dengan pelengkap sepatu kets biru tua, itulah fashion yang Emely gunakan sekarang. Rambut yang berwarna pirang ia biarkan tergerai begitu saja, itu menambah kesempurnaan di tubuhnya.

"Perfect," gumam Emely memuji dirinya sendiri yang terpantul di dalam cermin. Ia mulai menuruni anak tangga dengan terburu-buru dan kini dia melihat sosok pemuda tampan yang sedang duduk setia menunggunya. "Hai, Roland. Maaf, nunggu lama, ya?"

"Hai, Em. Um ... lumayan," timpalnya sedikit menggoda Emely.

"Oh, iya. Semalam kau ke mana saja, hah? Sampai kau tidak datang ke acara ulang tahunku!" sergah Emely langsung menyilangkan kedua tangan. Emely lupa, seharusnya sedari tadi ia tidak bersikap manis kepada Roland, karena ia masih kesal.

"Maaf, Em. Semalam aku sibuk membereskan barang-barang. Tapi tenang, aku tidak akan melupakan kado untukmu. Ini dia!" Roland mengacungkan sekotak kado berukuran lumayan besar.

Dengan raut yang masih cemberut Emely membukanya perlahan. Ia menganga tak percaya kalau kekasihnya ini akan memberi hadiah yang sangat spesial.

"Waw!" takjub Emely dengan mata berbinar. Sebuah kalung liontin yang sangat indah dan sepatu keluaran terbaru yang mewah, ditambah lukisan wajah Emely karya tangan Roland sendiri.

"Kau yakin? Semua ini untukku?" tanya Emely tak percaya.

"Iya, Emely. Memangnya untuk siapa lagi?"

Spontan Emely memeluk Roland sangat erat. Dengan sekejap, pria di hadapannya itu mampu mengubah suasana hatinya. "Makasih, Roland. Aku sayang padamu."

"Sama-sama. Ya sudah, ayo berangkat!"

"Ke mana?"

"Ke Irlandia, Em. Kau lupa?"

Emely mengernyitkan dahi, apalagi setelah ia melihat ada koper besar juga di ruang tamunya. "Itu kopermu?" Roland mengangguk dengan semangat. "Yang mau kuliah di Irlandia itu aku. Kau ada-ada saja, buat apa coba bawa koper segala ke sini?" lanjutnya tidak mengerti.

Sedangkan Roland malah tertawa kecil mendengar pertanyaan Emely. "Kau pergi ke sana bersamaku, Sayang."

"What?" Emely terkejut sedikit keras. "Kau jangan berlebihan. Aku tidak perlu dijaga sampai kau harus ikut ke sana juga."

"Lebih tepatnya menjagamu sambil kuliah."

Ekspresi gadis itu langsung berubah gembira. "Jadi, sekarang Om Frash mengizinkanmu kuliah di sana? Astaga! Aku senang sekali."

"Sudah, sudah, sekarang kita ke bandara. Pemberangkatannya satu jam lagi."

Tak lupa sebelum pergi, mereka berpamitan terlebih dulu pada Jack. Emely malah tampak murung saat dirinya keluar dan berpisah dengan sang ayah. Dia tidak tahu, nanti di luar negeri sana ia akan bisa hidup tanpa sosok ayah atau tidak.

ΦΦΦ

09.20

Bandara Soekarno-Hatta

Emely dan Roland sudah duduk di salah satu kursi di bandara. Waktu yang mereka tunggu tinggal empat puluh menit lagi. Namun, Emely mulai bosan. Dia sedari tadi terus mondar-mandir tidak karuan.

"Roland, bagaimana kalau kita makan dulu? Soalnya tadi aku belum sempat sarapan." Roland melirik arlojinya sebentar, dia mengangguk seraya merangkul Emely lalu pergi menuju kafetaria.

Tak terasa, mereka memakan waktu tiga puluh menit hanya untuk makan dan berbincang-bincang. Mungkin mereka tidak mendengar kalau panggilan untuk pemberangkatan selanjutnya sudah berkoar sejak tiga menit yang lalu.

"Astaga, Em! Kita terlambat! Pemberangkatannya lima menit lagi! Seharusnya sekarang kita sudah check in." Dengan tak sabaran, Roland menarik tangan Emely sembarang. Mereka berlari mengejar waktu dengan genggaman koper di tangan masing-masing yang akan disimpan ke dalam bagasi.

Untung saja mereka bisa masuk beberapa detik sebelum gate ditutup. Keduanya segera mencari nomor kursi yang sesuai dengan boarding pass yang mereka miliki.

Napas kedua insan itu terdengar memburu setelah berhasil mendudukan bokongnya di kursi masing-masing. Terlihat Emely langsung meneguk sebotol minuman dari dalam tas.

Sebentar lagi pesawat akan take off, juga pengumuman untuk para penumpang agar tetap duduk dan memasang sabuk pengaman terdengar menggema berulang-ulang.

Emely memejamkan mata sejenak bermaksud merasakan gerakan pesawat yang mulai lepas landas. Tak lama setelah itu, dirinya bangkit sambil menyeka sedikit keringat di pelipisnya. "Aku ke toilet dulu," ucapnya pada Roland.

"Arghhh!"

Tepat saat gadis itu melangkah, semua orang menjerit karena terkejut akan getaran kecil yang tiba-tiba datang. Termasuk Emely, ia juga sampai menunduk takut pesawatnya terjatuh. Untung saja keadaan kembali normal dan Emely kembali melanjutkan berjalan.

Baru saja ia mengayunkan kakinya, lagi-lagi getaran itu muncul seperti sedang melewati jalanan bebatuan. Memang hal itu sudah biasa terjadi ketika melewati awan, tapi getaran kali ini berbeda, pesawat pun sampai sedikit hilang kendali karena getaran yang mendadak ini.

Pengumuman di sudut pesawat akhirnya terdengar, semuanya diperintahkan untuk tetap tenang dan tidak beranjak dari kursi penumpang, sekaligus menggunakan life guard yang telah disediakan dengan cara pemakaian yang dipandu oleh para pramugari. Pilot juga menjelaskan bahwa pesawat sedang mengalami gangguan walaupun penyebabnya belum jelas.

Next chapter