Di kediaman keluarga Jecolyn terlihat Mirza Jecolyn, sang istri Clarissa Jecolyn dan kelima putra dan putrinya beserta satu putri angkat saat ini berada di ruang tengah. Mereka tengah bersedih atas apa yang menimpa dua anggota keluarga mereka.
Andry Jecolyn selaku putra sulung meninggal dunia akibat pengeroyokan beberapa preman dan Ghina Jecolyn koma di rumah sakit.
Saat mereka tengah dilanda kesedihan, tiba-tiba mereka dikejutkan kedatangan seseorang. Orang itu adalah sibungsu Jecolyn.
"Aku pulang." Elena sedikit berteriak saat memasuki rumahnya.
Mereka semua yang berada di ruang tengah menatap tajam kearahnya. Elena yang melihat anggota keluarganya yang menatap tajam padanya menjadi heran dan juga bingung.
"Ternyata masih punya nyali untuk pulang, hah!" teriak Rafka.
"Kemana saja kau selama 1 minggu ini?" Afnan menatap penuh amarah kearah Elena.
"Apa kau sedang merencanakan sesuatu untuk membunuh Kami semua, hah?!" bentak Farraz.
"Dasar pembunuh!" bentak Farah dan Naura.
Elena yang mendengar penuturan dari para kakak-kakaknya terkejut. Hatinya benar-benar sakit saat dirinya dikatakan pembunuh. Dirinya baru pulang ke rumahnya setelah satu minggu dirawat dirumah sakit. Bahkan dirinya tidak sadarkan diri selama 3 hari. Tapi saat sampai di rumah, anggota keluarganya berteriak dan menuduhnya sebagai pembunuh.
"Apa maksud kalian? Kenapa kalian bicara seperti itu padaku?" tanya Elena bingung sembari menatap satu persatu wajah kakak-kakaknya.
Rafka, Afnan, Farraz, Farah dan Naura menghampiri Elena.
PLAK!
Rafka menampar keras wajah Elena sehingga membuat sudut bibirnya terluka dan berdarah.
"Kau benar-benar menjijikkan, Elena! Kau tega mencelakai kakak Andry dan Ghina!" bentak Rafka.
Elena menggelengkan kepalanya sembari air matanya mengalir membasahi wajah cantiknya saat mendengar penuturan dari Rafka, kakak keduanya itu.
"Gara-gara perbuatanmu, kakak Andry meninggal dan Ghina koma di rumah sakit!" bentak Afnan.
DEG!
Elena terkejut saat mendengar ucapan dari Afnan.
"Apa? Kakak Andry meninggal? Kak Ghina koma?" gumam Elena.
"Kakak Afnan," lirih Elena.
"Jangan panggil aku kakak. Mulai detik ini kau bukan lagi adikku. Kau adalah seorang pembunuh!" bentak Afnan.
"Dasar pembunuh!" teriak Naura.
"Tidak. Aku tidak melakukan apapun." Elena menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sudahlah, Elena. Kamu jangan berbohong lagi. Ngaku saja kenapa. Mereka sudah mengetahui perbuatanmu itu," ucap Izza.
PLAK!
Elena menampar keras wajah Izza sehingga membuat sudut bibir Izza berdarah.
"Jaga ucapanmu itu, brengsek! Kau pikir aku ini udah gila, hah! Mereka itu adalah kakak-kakakku. Kakak yang paling aku sayangi diantara kakak-kakakku yang lainnya. Jadi bagaimana bisa kau menuduhku telah membunuh kakak Andry dan membuat kak Ghina koma. Kau hanya anak pungut dikeluarga ini, jadi diamlah dan jangan ikut campur!" bentak Elena.
"Elena!" teriak Naura.
PLAK!
Naura memukul kuat wajah Elena. Elena mengusap darah di sudut bibirnya. Dan menatap tajam wajah Naura.
"Kau berani memukulku demi anak pungut itu, Naura Jecolyn." Elena berucap dengan nada dingin dan dengan tatapan matanya yang tajam.
"Iya, kenapa? Tidak terima? Apa kau ingin membalasnya, hah?" ucap dan tantang Naura.
Elena makin menatap tajam wajah Naura lalu tangannya menarik kuat kerah baju Naura.
"Aku tidak peduli kau membela anak yang tidak tahu diri ini. Aku Elena tidak akan pernah melupakan tamparanmu ini. Aku akan mengingatnya sampai aku mati. Tunggu saja pembalasanku, Naura Jecolyn!" bentak Elena dengan wajah dinginnya.
Setelah mengatakan hal itu, Elena mendorong kasar tubuh Naura sehingga tubuh Naura terjatuh di lantai.
Naura yang mendengar penuturan dari Elena sedikit terkejut. Dirinya tidak menyangka jika adiknya mengatakan hal itu padanya. Naura berpikir dengan memukul adiknya itu, sang adik akan menyadari kesalahannya. Tapi apa yang terjadi. Adiknya mengatakan hal diluar pemikirannya.
"Naura." Rafka dan Afnan menolong Naura untuk berdiri.
Elena melangkah menghampiri kedua orang tuanya lalu menatap wajah keduanya.
"Papa, Mama. Percayalah! Aku tidak melakukan hal itu. Aku tidak mungkin menyakiti kakak Andry dan kak Ghina. Aku menyayangi mereka. Aku menyayangi semua kakak-kakakku." Elena menatap wajah kedua orang tuanya. Dirinya berusaha untuk meyakinkan kedua orang tuanya.
PLAK!
"Aakkhhh." ringis Elena.
Clarissa menampar putri bungsunya. Dan menatap tajam wajah putri bungsunya itu.
"Kau telah menyakiti putraku Andry dan putriku Ghina. Dan sekarang kau berani memukul putri bungsuku, Naura Jecolyn. Mulai hari ini kau bukan lagi putriku. Aku benar-benar menyesal telah melahirkanmu. Jangan pernah menyebutku dengan sebutan Mama karena aku tidak sudi memiliki putri pembunuh sepertimu!" bentak Clarissa.
Elena benar-benar hancur saat mendengar penuturan dari ibunya. Dirinya tidak menyangka bahwa ibunya dengan kejinya mengatakan hal itu padanya.
"Apa yang dikatakan istriku benar. Kau bukan lagi putri kami. Kau hanya seorang pembunuh, tidak lebih. Kau telah berani menyakiti kedua anak-anakku. Lebih baik kau pergi dari rumah ini. Aku tidak ingin kau tinggal disini lagi. Kalau kau masih tinggal disini, bisa-bisa kau akan membunuh putra dan putriku yang lainnya!" bentak Mirza.
Elena menghapus kasar air matanya. Dan kemudian menatap tajam wajah kedua orang tuanya itu lalu beralih menatap tajam wajah Rafka, Afnan, Farraz, Farah, dan Naura. Terakhir, Elena menatap tajam wajah putri angkat kedua orang tuanya itu.
"Hahaha." Elena tertawa bak iblis.
"Kalian semua benar-benar menjijikkan. Kelakuan kalian sudah seperti binatang. Harimau saja yang kejam tidak akan tega menyakiti putrinya sendiri. Tapi kalian sebagai manusia bahkan sebagai orang tua dengan bangganya mengatakan hal sekeji itu pada putri kalian sendiri. Demi anak angkat yang tidak tahu diri itu, kalian menyakiti darah daging kalian sendiri. Kalau itu mau kalian. Baiklah!! Aku akan pergi dari rumah ini. Asal kalian tidak akan menyesali perbuatan kalian padaku. Jika saja hal itu terjadi. Maka semuanya sudah terlambat karena aku tidak akan sudi memaafkan kesalahan kalian dan tidak akan sudi mau mengakui kalian lagi!" bentak Elena.
"Kami tidak akan pernah menyesal atas apa yang kami lakukan hari ini!" teriak Rafka, Afnan, Farraz dan Farah.
Elena mengalihkan pandangannya melihat kearah Rafka, Afnan, Farraz dan Farah dengan tatapan tajamnya.
"Kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi setelah kejadian ini. Tuhan maha melihat dan mengetahui segalanya," ucap Elena.
Setelah mengatakan hal itu, Elena pergi meninggalkan ruang tengah untuk menuju kamarnya dilantai dua.
^^^
Di dalam kamarnya, Elena mengemasi semua pakaiannya lalu memasukkannya ke dalam koper. Dan tidak lupa seluruh uang tabungannya yang selama ini ditabung. Ditambah uang dari hasil lukisannya. Dengan uang itu Elena bisa membeli sebuah MANSION MEWAH. Bahkan lebih Mewah dibandingkan Mansion milik orang tuanya. Serta Elena juga bisa membeli apapun yang dia mau.
Keluarganya menganggap dirinya hanya anak manja yang tidak bisa apa-apa. Tanpa mereka ketahui selama ini, justru si anak manja ini sudah menghasilkan uang banyak dari bakat-bakat dan juga kepintaran yang dimilikinya. Bahkan si anak manja ini juga sudah mendirikan sebuah Perusahaan besar. Bahkan lebih besar di bandingkan Perusahaan sang Ayah. Perusahaannya sudah terkenal sampai mancanegara.
Setelah selesai mengemasi semua pakaian dan barang-barang pribadi miliknya. Elena langsung bergegas keluar dari kamarnya.
Saat ini Elena sudah berada di ruang tengah. Kini tatapannya tertuju pada sebuah pisau yang tergeletak di atas meja, lalu Elena melangkah untuk mengambil pisau itu. Mirza, Clarissa, Rafka, Afnan, Farraz, Farah, dan Naura sedikit terkejut melihat apa yang dilakukan oleh Elena.
"Kalian lihatlah ini!" teriak Elena sembari meletakkan pisau itu dilengan kirinya. "Buka mata kalian dan liatlah baik-baik," ucap Elena penuh penekanan.
Elena melukai lengannya sehingga darah begitu banyak keluar dari lengannya itu. Elena tidak merasakan sakit sedikit pun. Yang dirasakan Elena saat ini adalah perkataan dan tuduhan orang tuanya dan para kakak-kakaknya untuknya.
Mirza, Clarissa, Rafka, Afnan, Farraz, Farah, dan Naura merasakan kesedihan dan juga sesak di dada mereka saat melihat darah yang keluar begitu banyak dari tangan Elena.
Mereka tidak menyangka jika Elena berani melukai dirinya sendiri.
"Darah ini menandakan bahwa aku bukan lagi bagian keluarga Jecolyn. Dan mulai detik ini namaku Elena. Darah ini menandakan bahwa tidak ada lagi hubungan darah antara aku dengan kalian. Darah ini menandakan putusnya hubungan persaudaraan aku dengan kalian. Darah ini menandakan bahwa kalian bukan lagi orang tuaku dan aku bukan lagi putri kalian. Saat aku keluar dari rumah ini. Secara resmi, kita menjadi musuh. Dan untuk luka di lenganku ini. Aku tidak akan pernah menghilangkan bekasnya karena dengan adanya bekas luka ini, aku akan selalu mengingat kejadian hari ini. Kejadian dimana kalian semua menorehkan luka di hatiku!" bentak Elena sembari menunjuk satu persatu wajah anggota keluarganya sembari masih memegang pisau.
"Aku Elena tidak akan pernah memaafkan kesalahan kalian, walaupun kalian semua sudah mengetahui kebenarannya. Camkan itu Tuan Mirza, Nyonya Clarissa dan juga kalian!!" bentak Elena.
Setelah mengatakan hal itu, Elena membuang pisau tersebut dan kemudian menarik dua kopernya. Elena pergi dengan membawa rasa kekecewaan dan kebenciannya terhadap keluarga Jecolyn.
Setelah kepergian Elena, Clarissa jatuh terduduk lemah di lantai. Dada begitu sesak saat mendengar setiap perkataan yang dilontarkan oleh putri bungsunya itu. Apalagi saat melihat putrinya yang melukai lengannya sendiri. Clarissa dapat melihat dari manik putri bungsunya itu, tidak ada rasa sakit sama sekali saat putrinya itu melukai lengannya. Yang Clarissa lihat adalah kekecewaan, kemarahan dan kebencian.
"Apa aku salah telah berkata seperti itu pada putriku sendiri?" batin Clarissa.
***
Elena saat ini sedang di dalam taksi. Dirinya saat ini ingin ke rumah sakit terlebih dahulu untuk mengobati lukanya tersebut. Dan kebetulan rumah sakit yang akan dikunjungi olehnya itu adalah rumah sakit milik keluarga salah satu sahabatnya yaitu Melvin.
Saat ini usia Elena baru 17 tahun dan Elena saat ini masih duduk dibangku SMA kelas 2.
Saat Elena sampai di rumah sakit, ketika hendak melangkah masuk ke dalam, seseorang mengagetkannya.
"Elena."
Elena membalikkan badannya untuk melihat kearah orang tersebut.
"Kakak Kevin!"
Orang yang memanggil Elena itu adalah Kevin Ardian yang tak lain adalah kandung kandung Melvin Ardian.
Kevin mendekati Elena. Dan ketika telah dekat dengan Elena, dirinya dibuat terkejut saat melihat luka di lengan kiri Elena.
"Astaga, Elena! Lenganmu kenapa? Siapa yang melakukan ini padamu?" Kevin benar-benar panik saat melihat luka yang begitu dalam dilengan Elena.
Kevin langsung menarik tangan kanan Elena untuk menuju keruangannya.
"Aish, kakak Kevin. Aku ini bukan anak kambing yang ditarik-tarik seperti ini," protes Elena.
"Diam. Jangan berisik," ucap Kevin. Seketika Elena langsung mengatup bibirnya.
Kevin melirik sekilas ke belakang lalu kemudian tersenyum gemas melihat wajah cantik dan imut Elena.