webnovel

Like Ordinary High Schooler (3)

Sejak kecil, Ken tidak pernah kesulitan dalam urusan bersosialisasi. Karena sifatnya yang periang, Ken dapat dengan mudah berbaur dan memiliki banyak teman, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Dari keempat sahabat yang menemani Ken sampai saat ini, Chikara adalah teman yang paling pertama ia temui. Rumah mereka bisa dibilang berdekatan, tapi tidak bersebelahan. Mereka sudah saling kenal sejak usia lima tahun. Awalnya, mereka berdua tidak terlalu akrab. Saat itu, Chikara justru merasa kesal dan terganggu karena Ken selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi. Ken kecil yang tidak pernah absen mendapat usiran dari Chikara tetap berusaha mendekatinya karena dia tidak mau melihat Chikara yang selalu menghabiskan waktu sendiri dan dianggap sebagai anak yang berprilaku buruk oleh anak-anak lain. Seiring berjalananya waktu, Chikara kehabisan akal untuk mengusir Ken dan memilih untuk membiarkannya melakukan apapun yang dia inginkan selama itu tidak mengganggunya.

Di bangku kelas empat sekolah dasar, kelas Ken kedatangan murid baru. Dia Yasuhiro. Murid baru itu terlihat sangat pemalu sehingga ketika jam istirahat dia hanya bisa duduk diam di kelas. Ken yang saat itu kebetulan duduk di depan Yasuhiro tanpa ragu mengajaknya ke kantin bersama. Yasuhiro ragu-ragu membalas uluran tangan Ken dengan perasaan senang bercampur lega.

Ken baru bertemu Kazuhiko ketika mereka berdua memasuki jenjang sekolah menengah. Kepribadian mereka yang sama-sama periang dan mudah bergaul dengan mudah membuat keduanya akrab dalam waktu singkat. Meskipun begitu, kesukaan mereka terhadap sesuatu saling berlainan sehingga tidak jarang mereka bertengkar hebat hanya karena masalah sepele.

Ken, Kazuhiko, Yasuhiro, dan Chikara baru benar-benar bertemu di satu tempat secara bersamaan ketika debut pertama mereka sebagai murid SMA dimulai. Sejak itu pula, mereka berempat berteman dekat dan mulai dikenal sebagai satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan.

Sesekali waktu, Ken masih ingat dengan beberapa teman lamanya dari TK, SD, atau SMP. Mereka pun juga masih ingat dengan Ken dan beberapa di antaranya masih suka mengajaknya bermain bersama atau berkunjung langsung ke rumah Ken. Ken juga ingat pernah bertengkar dengan teman-teman lamanya dulu, tapi tidak pernah berakhir sampai menyimpan dendam. Jadi, dalam kamus Ken tidak pernah tercatat adanya rekor teman lama dengan kenangan buruk yang sampai membuatnya tidak ingin bertemu kembali dengan orang itu.

Setidaknya, jika maksud ibunya dari 'teman lama' adalah yang seperti Ken pikirkan itu.

"Eh? Kenapa kamu tanya-tanya begitu?"

Ken baru saja menceritakan pengalaman beberapa saat lalu ketika ia menjemput ibunya di depan Toko Roti Enmaru kepada kakak perempuannya. Suzume yang mendengar cerita adiknya sambil memasuk-masukkan baju ke dalam lemari tiba-tiba menghentikan pergerakan tangannya dengan alis bertaut ketika Ken bertanya, "Apa kau punya teman lama yang tidak ingin kau temui lagi?"

Ken membalas tatapan heran Suzume dengan kedikan bahu. Perempuan berambut hitam panjang itu menghela napas panjang. Ia kembali melanjutkan aktivitasnya sambil menjawab, "Mantan pacarku sewaktu SMA, mungkin. Hm ... sebetulnya banyak kenalan lama yang tidak ingin kutemui lagi sampai kapanpun itu, tapi sejak awal mereka memang bukan temanku."

"… Bukan teman, tapi cuma kenalan?" gumam Ken sambil meraih bantal bulat milik Suzume dan menjadikannya tumpuan kepala. Suzume mengangguk. Ken bergumam panjang. "Tapi Ibu bilang orang itu temannya. Berarti mereka memang pernah dekat, 'kan. Kalau orang itu tidak pernah dekat dengan Ibu, Ibu pasti akan bilang kalau dia hanya 'kenalan lama' alih-alih 'teman lama'."

"Jadi?"

Ken terdiam sebentar, kemudian menatap Suzume dengan tatapan serius. "Apa mungkin orang itu mantan pacar Ibu? Maksudku, sebelum dia menikah dengan Ayah, tentu saja."

Suzume melempar Ken tepat di wajah dengan boneka beruangnya. "Yang benar saja!"

Ken berdecak pelan sambil berguling dan mendekap boneka beruang yang Suzume lempar ke wajahnya. Ia menatap langit-langit kamar kakaknya sambil memikirkan sesuatu dalam kepalanya. Suzume menutup lemari pakaiannya setelah aktivitasnya memasukkan baju-baju selesai, kemudian berjalan menghampiri Ken dan menepuk-nepuk lengannya agar ia bergeser sedikit ke kiri.

"Kamu lihat wajahnya, Ken? Si 'teman lama' Ibu?"

"Hanya dari samping," jawab Ken sambil berguling ke kiri dan meringkuk. Suzume yang duduk di sampingnya kini terlihat sibuk dengan ponselnya. "Tapi sepertinya dia salah satu orang penting di organisasi Jikai. Apa Ibu punya masalah di sana?"

Mata Suzume membelalak. Pergerakan jarinya terhenti. Ken yang menyadari hal itu menatap kakak perempuannya dalam diam, menunggunya angkat suara tanpa paksaan.

"Kalau memang begitu, aku tidak bisa memberitahu banyak soal itu, Ken. Maaf," ucap Suzume. Pelan namun tegas. Matanya melirik ke arah Ken yang masih bergelung di atas tempat tidurnya, menatapnya penasaran. Laki-laki itu menghela napas panjang sambil mengedikkan bahu, kemudian terduduk.

"Yah … mau bagaimana lagi."

Ken bangkit dari tempat tidur Suzume, berniat keluar dan beranjak menuju kamarnya sendiri. Namun sebelum Ken benar-benar ke luar, Suzume menegur adiknya sehingga Ken menghentikan langkahnya.

"Beberapa hari lagi kamu sudah bisa mengklaim kekuatan elemenmu sendiri. Tidak ada alasan untuk iri padaku lagi. Bagaimana, sudah puas?"

Laki-laki berjaket hijau itu bergumam panjang, tatapan matany jatuh pada kotak putih yang Suzume letakkan di atas meja belajarnya. "Entahlah. Aku juga tidak kenapa, tapi aku tidak lagi merasa seantusias sebelumnya."

Suzume agak tidak menyangka dengan jawaban Ken. Pasalnya, ketika ulang tahunnya yang ke-17 pun Ken terus berharap agar akhir tahun bisa cepat tiba sehingga ia bisa secepatnya memiliki kekuatan elemennya sendiri. Mendengar kalimat itu keluar dari mulut Ken, yang berbanding terbalik dengan pernyataannya beberapa bulan lalu, tentu membuat Suzume heran.

Namun, Suzume memilih untuk menyembunyikan tanda tanya dalam kepalanya.

***

Hari itu adalah hari terakhir sekolah menjelang tutup tahun. Para murid dari kelas satu sampai tiga dikumpulkan dalam ruang olahraga indoor dengan para guru dan kepala sekolah yang berdiri di podium, memberi kata-kata penutup tahun dan selamat bagi para murid yang telah berusia 17 tahun.

Di barisan kelas 2-3, Ken berdiri tanpa sekalipun menyimak perkataan kepala sekolah yang berdengung tidak jelas di telinganya. Tatapannya mengarah ke langit-langit ruangan, menatap salah satu lampu yang menyorot tepat di tengah ruangan. Dalam kepalanya, Ken sudah memiliki rencana untuk menghabiskan sisa akhir tahun untuk tidur dan mendekam di rumah saja. Musim dingin kali ini memang tidak terlalu menusuk bagi Ken, tapi ia tetap merasa malas keluar rumah untuk sekadar membeli camilan atau membeli video game terbaru.

Satu jam berlalu, pidato kepala sekolah pun selesai. Barisan para murid, tanpa perlu disuruh, telah membubarkan diri. Ken mengikuti langkah ketiga sahabatnya menuju kelas.

Sama seperti sebelumnya, Ken sama sekali tidak menyimak pembicaraan satu pun dari ketiga temannya. Bahkan ketika Kazuhiko meneriakkan namanya sampai tiga kali, Ken tetap tidak menyadarinya. Sampai akhirnya telapak tangan Chikara mendarat di pipi Ken, laki-laki berjaket merah itu akhirnya menoleh dengan mata mengerjap-ngerjap polos.

"Kau … tidur sambil berjalan?" Kazuhiko mencondongkan wajahnya mendekati Ken. Ken yang merasa risih mendorong wajah menyebalkan itu supaya menjauh.

"Akhir-akhir ini kau sering melamun, Ken. Kau baik-baik saja?"

Sebetulnya, bukan hanya Yasuhiro yang menyadari hal itu. Hanya saja, Yasuhiro adalah yang paling terbuka dalam mengungkap rasa kekhawatirannya. Ken meliriknya sesaat, lalu mengangguk sambil memberi seulas senyum tipis.

"… Aku baik-baik saja, kok. Akhir-akhir ini aku sering mengantuk karena sering begadang menamatkan game."

"Kalau begitu, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan." Kazuhiko terbahak. Ia merangkul Yasuhiro yang berjalan bersisian dengannya. "Sekarang, kita rencanakan persiapan untuk Ketteibi! Bagaimana kalau besok lusa kita berempat berkumpul di rumahku?"

"Hah? Kenapa harus di tempatmu?"

"Aku tidak mau kalau niatmu sebenarnya untuk menjadikan kita sebagai alarm."

Chikara dan Ken kompak mengangguk.

"Di stasiun," putus Ken setelah berpikir sesaat. "Kita berkumpul di stasiun jam delapan. Terlambat lima menit, kita tinggal."

Keputusan sepihak itu membuat bahu Kazuhiko mendadak lemas. Ken dan Chikara menyeringai penuh kemenangan. Yasuhiro tersenyum-senyum.

Sampainya di kelas 2-3, teman-teman sekelas mereka yang lain sudah mulai menepikan meja dan kursi ke sudut kelas. Murid-murid perempuan yang rajin sudah mulai membersihkan lantai kelas sementara sisanya berusaha mengejar murid laki-laki yang seharusnya ikut membantu tapi justru berusaha melarikan diri.

"Imai-kun."

Seorang perempuan berambut bob pendek menghampiri Ken dengan sapu di tangan kanannya. Melihat benda itu, Ken mulai berpikir apakah hari itu adalah jadwalnya membersihkan kelas. Namun sebelum jawabannya dapat diingat Ken, gadis itu berkata, "Jaket biru yang ada di atas loker itu … punyamu?"

Ken mengerjap bingung, lalu memiringkan kepala dan menyadari seonggok kain berwarna biru tua yang ada di atas loker di belakang kelas. Ken berseru, lantas menghampiri onggokan kain yang adalah jaketnya. Bahkan, Ken tidak tahu sejak kapan jaket itu mendekam di sana.

"Sano! Terima kasih, ya," seru Ken pada si gadis berambut bob. Perempuan itu tersenyum manis. "Kalau saja kamu tidak memberitahuku, mungkin sampai naik kelas tiga aku tidak akan menyadarinya."

Pipi Sano yang berkulit pucat mendadak berubah menjadi kemerah-merahan. Perempuan itu menunduk, mencoba menyembunyikan rona merah di hampir seluruh wajahnya. Ken yang sedari tadi mengamati lawan bicaranya berdeham pelan sambil mengalihkan pandangan ke samping.

"Oh ya, Imai-kun," Sano tampaknya sudah berhasil meminimalisir rona merah di wajahnya. Kini ia mendongak dan menatap Ken dengan tatapan penasaran sekaligus ragu. Gadis itu memilin-milin jarinya sebelum akhirnya melanjutkan, "Besok lusa, saat Ketteibi, boleh tidak aku pergi bersamamu?"

Teman-teman perempuan Sano yang sejak tadi memperhatikan keduanya di belakang menatap Sano dengan penuh harap. Dalam hati, mereka berharap Sano berhasil mengajak Ken sehingga mereka juga mendapat kesempatan untuk bisa pergi bersama ketiga sahabat Ken.

"Boleh saja, sih, tapi aku sudah berencana akan pergi dengan tiga orang itu. Keberatan?" jawab Ken sambil mengedikkan dagunya ke arah Yasuhiro, Chikara, dan Kazuhiko yang berdiri di dekat papan tulis. Sano otomatis menganggukkan kepala dengan antusias. "Oh, Sano juga bisa mengajak teman-temanmu yang lain."

Teman-teman Sano tampaknya bisa menebak bahwa rencana mereka berhasil. Mereka tampak tertawa-tawa senang di belakang sana sambil terus memperhatikan Sano yang tampaknya belum selesai bicara dengan Ken. Sementara itu di sisi lain, ketiga laki-laki yang sedari tadi menunggu dan menontoni Ken mulai tersenyum-senyum dan semakin semangat melihat aksi keduanya.

"Kami berencana pergi dari stasiun jam delapan pagi, bagaimana?" Sano kembali mengangguk dengan antusias. "Terlambat lima menit, kami tinggal, ya."

"Eh …?"

Ken tidak bisa menahan keinginan untuk tertawa ketika melihat respons jujur Sano, yang menurutnya lucu. Sambil terkekeh, ia meraih jaket birunya yang telah lama tertinggal dan terlupakan dari atas loker. "Pokoknya, jangan sampai bangun kesiangan. Sampai jumpa!"

Ken melambaikan tangan kemudian berbalik dan berlalu meninggalkan Sano yang segera dihampiri teman-temannya. Teman-teman Ken menatap kedatangannya dengan tatapan geli, siap menggodanya habis-habisan.

Suasana hangat itu membuat pikiran berat yang bersarang dalam kepala Ken teralihkan. Setidaknya untuk sementara.

***

Yasuhiro dan Chikara sudah pulang lebih dulu, bahkan mungkin mereka sudah sampai di rumah masing-masing. Kazuhiko tidak akan pulang sebelum mendatangi ruang ekskul basket, menemui teman-teman satu timnya meskipun tidak ada jadwal latihan. Oleh karena itu, Ken berjalan pulang seorang diri dengan tangan kanan menenteng plastik belanja berlogo toko elektronik langganannya.

Karena ia berjalan sendiri, Ken berjalan dengan kepala mendongak. Isi kepalanya berkelana ke segala penjuru. Matanya kemudian terfokus pada bendera-bendera berukuran persegi berbagai warna: merah, kuning, hijau, dan biru. Bendera dengan warna-warna yang mempresentasikan Empat Kelompok Besar: Higami, Futen, Jikai, dan Suimi. Bendera-bendera itu tertempel di setiap tiang listrik dan tiang lampu jalan yang Ken lewati.

"Sejak kapan orang-orang itu menempelkannya?" tanya Ken pada dirinya sendiri dengan suara rendah.

"Ah, saya merasa tersinggung. Itu pekerjaan saya, tidak ada lagi yang mau membantu."

Ken refleks bergeser ke samping dengan gerakan cepat. Matanya membelalak kaget. Seorang pria berjas abu-abu berdiri di sampingnya. Bibirnya membentuk guratan senyum aneh. Mencurigakan. Ken mencoba membaca situasi, apakah dia orang jahat atau bukan, meskipun kemarin ibunya mengaku bahwa dia adalah teman lamanya.

"Hei … tenang, tenang. Jangan cap saya sebagai orang jahat begitu. Saya punyi bukti, kok, kalau saya benar-benar teman lama Ibu kamu. Teman lamanya semasa SMA, kalau kamu masih penasaran."

Ken semakin menjaga jarak. Matanya mengamati pria itu dari atas ke bawah dengan kening berkerut dalam.

[Dari mana dia tahu apa yang kupikirkan? Lagi pula, sejak kapan dia di sana?]

"Anda cenayang?" tanya Ken. Pria itu terdiam, menatapnya dengan tatapan kecewa dan tidak percaya, kemudian menghela napas panjang yang terdengar frustrasi.

Pria itu merogoh sesuatu dari balik jasnya. Di antara jari-jemarinya yang kurus nan panjang, sebuah kartu nama terselip di sana. Pria itu memberikannya pada Ken. Ken menyentuh ujung kartu nama itu ragu-ragu, membaca nama yang tertera dalam tulisan tebal berwarna hitam di sana.

"Morita Abe. Staf keanggotaan Jikai?"

Pria berjas abu-abu itu mengangguk. Kali ini senyum yang tersungging di wajahnya terlihat tulus. "Betul! Ah, panggil Mori-san saja tidak apa-apa, kok. Saya, sama seperti Ibu dan kakakmu, dari kelompok Jikai. Elemen bawaan saya elemen alam, jadi saya bisa mendengar pertanyaanmu di awal berkat bantuan pohon yang kamu lewati di sana."

Pria berjas abu-abu yang ingin dipanggil Mori-san itu menunjuk sebuah pohon besar dengan daun-daun yang sebagiannya tertutupi salju. Pohon yang berdiri kokoh di dekat sebuah tiang lampu jalan dengan dua bendera berwarna hijau tertempel di sana. Ken melirik pohon itu sesaat, lalu kembali menatap Mori dengan tanda tanya yang masih belum hilang sepenuhnya.

"Imai Ken-kun, bagaimana kalau kita makan makanan manis di sana sambil minum teh?"