Sudah Part ke berapa nih? masih banyak kejutan loh dibelakang
awas Baper yaa
buat yang jomblo segera cari jodoh
selamat membaca
jangan lupa follow penulisnya, vote dan komen sebanyak-banyaknya ya.
................
"Hari ini libur, Rif?"
"Iya, Mi"
"Rencananya mau kemana?"
"Pengennya ke Gunung Putri, Mi, tapi bingung mau ajak siapa"
"Ajak aja si Ujang, anaknya Mang Udih. Pasti dia mau"
"Bener juga ya, syukron ya, Mi"
"Na'am"
Arif bersiap, ia memasukan satu stel pakaian kedalam ransel miliknya, kali-kali saja akan berguna kalau nanti ia terjatuh dan pakaiannya kotor karena bermain kuda. Mengenakan celana gunung dan kaos hitam serta topi abu-abu ditambah jaket loreng yang hampir semuanya bermerek 'giani gracio' membuat tampilannya semakin tampan saja, sekilas orang akan berfikir bahwa ia adalah artis terkenal kenamaan pusat kota yang memiliki darah Arab.
Arif berjalan keluar rumah, ia memasukan barang-barangnya kedalam mobil jenis Terios berwarna putih tepatnya di bangku bagian kedua. Ia memutar mobilnya, keluar menuju rumah Mang Udih. Sesampai disana ia tak menemukan anak yang sekarang duduk di bangku kelas 3 MTS Negeri Kota Bogor itu. berdasarkan informasi dari 'bi Sopia', Ujang biasanya kalau hari libur sering berada di Masjid. Membantu marbot membersihkan masjid. Seketika Arif tersenyum mendapati informasi tersebut. 'benar-benar remaja yang hatinya terpaut ke masjid, semoga Allah selalu melimpahkan rasa itu padamu, Jang'.
Ia kembali masuk kedalam kuda besinya, menjalankannya menuju masjid yang dimaksud. Benar saja, ketika sampai tampak dari halaman masjid, Ujang sedang sibuk memeras kain pel yang mengeluarkan air berwarna coklat pekat. Ia turun dari mobil dan kemudian menyapa.
"Assalamualaikum"
"Waalaikum sallam warahmatullahi wabarakatuh" Ujang menjawab sambil masih menunduk, kemudian baru menengok
"Kang Arif, hayuk atuh masuk. Mau dhuha an ya?"
"Ah, enggak. Mau ketemu Kamu"
"Saya, ada apa ya, Kang? Saya ada buat salah ka Akang?"
"Memang Kamu ada buat salah?"
"Perasaan teh, teu ada, Kang"
"Haha, Kamu. Ini kalau Kamu mau, Akang mau ajak kamu ke Gunung Putri, berkuda sekaligus nambah pahala, Ma..."
"Mau mau Kang, sebentar, Ujang ganti pakaian dulu. Akang tunggu disini ya"
Ujang bergegas, mengembalikan peralatan kebersihan ke belakang masjid serta berlari cepat-cepat pulang kerumah. Dalam 10 menit ia sudah kembali lagi, menggunakan celana gunung yang terlihat sudah ditambal bagian lututnya karena sepertinya robek kecelakaan, juga baju kaos dan jaket hitam yang bertuliskan Mapala Universitas ... karena tidak jelas lagi apa tulisannya. Ia juga menggunakan sandal gunung hadiah dari Arif yang 1 tahun yang lalu ia berikan, terlihat sekali sandal itu masih sangat bagus, mungkin karena jarang digunakan.
"Ayok, Kang. Kita berangkat"
"Tasnya taro di belakang saja"
"Siap kang"
Mobil perlahan mundur dari pelataran halaman masjid, mereka menyusuri jalan dari H. Kain menuju kompleks berkuda Gunung Putri. Di perjalanan mereka banyak bercerita, tentang ini dan itu. Ujang bercerita bahwa dirinya sangat ingin masuk ke pesantren Al wafi dengan modal 15 juz Al Qur'an yang ia hafal. Tapi, Ujang sadar bahwa, pesantren itu biayanya tinggi. Keluarganya tak akan sanggup membiayainya. Arif, terdiam. Berpikir keras bagaimana cara membantu Ujang, kemudian untuk sementara ia hanya mendoakan agar Allah member jalan kepada Ujang agar bisa meraih mimpi-mimpinya.
Ujang banyak bertanya tentang Mesir, bagaimana Piramida, bagaimana mumi Fir'aun, bagaimana Kampus Al-Azhar dan bagaimana cara hidup disana. Arif menjawabnya satu persatu, runut dan teratur.
Perjalanan berakhir setelah kuda besi putih itu memasuki wilayah parkir mobil. Mereka turun dan membawa barang seadanya saja seperti dompet dan Hp. Setelah membayar biaya ini dan itu, Arif terlebih dahulu membantu Ujang memilih kuda dan memastikan dirinya sudah aman duduk diatasnya dibantu dengan seorang penjaga. Karena, bukan tidak mungkin ini adalah kali pertama bagi Ujang untuk mengendarai kuda.
Ia sendiri masih bingung. Keputusannya akhirnya jatuh kepada kuda berkulit hitam legam dengan rambut indah diatas kepalanya. Kuda itu terlihat sangat gagah dalam diamnya, otot-otot kaki, punggung dan bahunya terlihat sangat kuat. Sejak kecil Arif memang selalu mengagumi salah satu kendaraan perang pada zaman Rasulullah ini.
Ia naik dengan pasti, mulai menarik pegangan tanda kuda harus berjalan pelan. Lama kelamaan kuda berjalan semakin kencang dan akhirnya berlari, ia mengendalikannya dengan sangat lihai. Setelah puas berlari ia meminta kuda memelankan lajunya, 'celetak celetuk celetak celetuk' suara sepatu kuda terdengar ketika berjalan pelan.
"Arif.."
Ia mendengar suaranyanya dipanggil seseorang. Arif menoleh ke kiri dan ke kanan. Tak ditemukan juga orang yang ia rasa kenal.
'Celetak celetuk celetak celetuk' suara sepatu kuda terdengar mendekat
"Arif"
Arif menoleh, disebelahnya telah duduk diatas kuda berwarna coklat dengan gagahnya seorang pria yang wajahnya sangat akrab baginya.
"Bang Imran? Masya Allah, khaif halk, Bang"
"Alhamdulillah, khoir. Wa antum khaif halk?"
"Khoir, Bang. Alhamdulillah"
"Loh, Abang kok bisa sampai disini? Bukannya setelah lulus abang kembali ke Palembang?"
"Qadarullah, panjang ceritanya kalau mau dirinci satu persatu. Singkatnya Alhamdulillah Ana bertemu dengan Istri ana di Jakarta yang ternyata adalah asli orang Bogor, kemudian kami menikah dan sekarang menetap di Jakarta Selatan."
"Jadi, kesini sedang jalan-jalan, Bang?"
"Bukan, ada urusan lain"
"Ooh"
"Antum, bagaimana? Sudah menikah?"
"Hehe, belum"
"Antum ini bagaimana? Sebanyak itu mahasiswi cantik di Al-Azhar, masa satupun gak ada yang tertarik sama kamu yang wajahnya lebih mirip orang Turki daripada orang Indonesia ini"
"Masya Allah, antum kalau memuji suka berlebihan. Sebenarnya dulu pernah ada bang, satu orang. Dia sudah dengan berani mengumpulkan semua kekuatannya untuk mengungkapkan kesediaan dirinya untuk dijadikan kekasih halal oleh saya, tapi, sayangnya saya saat itu terlalu takut. Jadi, ya meski dengan halus saya menolaknya"
"Nah, ini. Ini dia. Ayo-ayo kita berhenti dulu di sana. Ana pengen dengan cerita kau sampai selesai" sambil menunjuk-nunjuk sebuah coffee shop untuk berhenti dan mengobrol disana
Sampai di coffee shop mereka kemudian duduk, memesan dua cangkir kopi susu dengan sedikit cemilan.
"Ayolah, cerita. Dengar cerito cinto anak muda kayak kau gini, bikin darah mudaku bangkit" ledek Imran dengan logat Palembangnya
"Waktu itu, Kami sama-sama berada di Semester akhir perkuliahan. Tinggal selangkah lagi kemudian kami lulus dari Al-Azhar. Sebelumnya kami tidak pernah bertemu, sampai suatu hari takdir Allah mempertemukan kami. Hari itu aku tersesat ke daerah pemakaman kuno di pinggir Mesir, akupun sudah lupa nama daerahnya. Hari sudah sore menjelang malam, aku berjalan sendirian di lorong-lorong sempit, sepertinya tak ada harapan lagi untuk keluar. Dalam hati aku selalu berdoa agar Allah membantuku mendapatkan jalan keluar"
"Dengan berkat rahmat dan kasih sayang Allah akhirnya aku bisa keluar, bertemu jalan raya. Rasanya sudah sangat sakit kaki ini jika harus dipaksakan berjalan kembali. Tetapi, tak ada pilihan lain. Aku harus berjalan demi mendapatkan taksi dan bisa kembali lagi ke Hayy Sabie. Sepanjang perjalanan yang tertatih, sebuah taksi berhenti, kaca jendela dibelakang terbuka dan terdengar suara seorang gadis menyapa"
"Assalamu'alaikum Bang Arif, dari mana? Kenapa bisa sampai disini? Disini jarang ada taksi, ayo naik, duduklah didepan. Nanti ongkosnya kita bagi dua"
"Melihat hal itu seketika aku sujud syukur, Bang. Aku tak menyangka Allah selalu punya cara untuk membantu hambaNya yang kesusahan. Taksi kemudian berjalan meninggalkan daerah sepi tersebut menuju perkotaan. Di perjalanan aku mengingat-ingat siapa gadis cantik berhati mulia ini, ternyata aku baru ingat dia adalah adik kandungnya Bang Soleh, kakak tingkatku yang beberapa tahun yang lalu sudah pulang kembali ke Makassar. Namanya, Adara Ana, Aku mengetahuinya dari perkenalan di dalam Taksi"
"Selanjutnya, sekitar dua minggu lagi sebelum pengumuman kelulusan ujian akhir, Aku dengar kabar bahwa Dara pergi Umroh bersama beberapa Mahasiswi dari Indonesia dan Malaysia. Pulang dari Umroh, hasil ujian sudah keluar, dan terlihat jelas nilai Dara mumtaz, Bang. Beberapa hari setelah itu, Dara menitipkan sebuah kantung plastik kepada seorang temanku di flat 'Sajadah dari Dara' kata Amin."
"Sampai dikamar, ternyata benar isinya sebuah sajadah yang terlipat rapi. Kemudian, aku membentangkan sajadah tersebut ke lantai flat. Tak sengaja secarik kertas memo terjatuh kelantai. Ia mengirim pesan,Bang"
'Jika engkau bersedia, temuilah kedua orang tuaku di Makassar sepulang kita ke Indonesia nanti. Namun, jika tidak, tak usah engkau ceritakan kepada siapapun perihal ini'
'Dara'
"Wah menarik yah, terus terus" lanjut Imran semangat
"Terus, entahlah, Bang. Saat itu aku belum memikirkan tentang menikah, Bang. Saat itu yang terkhayal hanyalah wajah Umi dan Abi. Saat itu keinginan terbesar adalah bagaimana caranya agar ilmu yang didapat di Al-Azhar bisa bermanfaat untuk banyak orang kemudian bisa kembali lagi untuk menempuh pendidikan di Mesir lagi"
"Jadi, kau diam?"
"Iya, Bang. Saat itu aku diam saja. Kemudian sampailah aku pada hari ini, Allah takdirkan ak untuk bertemu Abang"
"Wah, cerita yang bagus. Lalu, sekarang? Apa sudah kepikiran untuk menikah?"
"Sebenarnya kemarin aku hampir mengkhitbah seorang gadis, Bang. Namun, karena fakta dilapangan berbeda, jadilah kami hanya silaturahim saja"
"Maksudnya? Tidak jadi mengkhitbah?"
"Iya"
"Kok, bisa?"
"Ya, setelah berbincang cukup jauh, gadis itu menyodorkan kepada kami kertas berisi pasal-pasal, Bang. Ya, aku shock. Seingatku teman-temanku tidak ada yang seperti itu, jadi kami putuskan untuk mundur saja,Bang. Daripada diteruskan malah rugi kemudian"
"Pasal-pasal? Undang-undang apa itu namanya eeh, perjanjian Pra nikah maksudnya?"
"Nah, itu antum tau"
"Lah, kalau itu kan gak masalah. Asal kedua belah pihak setuju, Insya Allah pernikahan akan langgeng, malah tambah kuat karena dasar hukumnya jelas, jadi, tak aka nada seorangpun dari kalian yang melanggar"
"Iya, itu kalau kedua belah pihak setuju. Qadarullah aku gak setuju"
"Hehe, iya sih. Itu hak antum, mutlak. Lalu, apa sekarang masih mau mencari istri?"
"Masih, Bang. Abang ada calon? Kalau dari antum Insyaa Allah ana yakin calonnya berkualitas"
"Kalau..."
"Kalau apa, Bang?"
"Kalau janda, Mau?"
"Yah, Bang. Rasulullah menganjurkan seorang bujang itu menikah dengan gadis karena keutamaanya, masa Antum nawarin janda, Bang. Ada-ada saja"
"Iya, hehe"
Bang Imran tersenyum sambil menyeruput kopinya. Ia sempat membayangkan, alangkah bahagianya jika adik iparnya menikah dengan Arif, lelaki soleh yang tak diragukan lagi kemampuannya. Ia juga paham betul siapa Arif semasa kuliah, ia juga sedikit banyak telah mendengar tentang tingkat keilmuan orang tua Arif yang sudah melang-lang buana menjajaki Timur Tengah selama masa menempuh pendidikan. Sampai nama mereka tersohor bukan hanya di LIPIA tetapi sampai ke kampus asalnya, Al-Azhar.
Tapi, jodoh siapa yang tahu? Bisa saja Allah langsung yang akan turun tangan menjodohkan mereka.
"Abang, pamit pulang khi, anak kayaknya udah lelah"
"Oh, na'am, Bang. Tafadhol"
Mereka saling mengucap salam dan berjabat tangan. Kemudian mereka berpisah.
^^^
Ujang tampak kebingungan, mencari sesuatu. Ketika pandangan matanya bertemu dengan Arif, wajah lelahnya seketika berubah menjadi ceria. Ia duduk mendekati Arif, memesan makanan karena merasa kelaparan. Setelah makan mereka mencari Mushala untuk melaksanakan sholat Ashar. Tak lama mereka beranjak pulang.
'Dugh dugh dugh'
Suara kaca jendela bagian belakang mobil terlihat digedor-gedor oleh seseorang. Arif membuka kaca mobil kemudian melongok ke belakang. Terlihat dari arah belakang, bang Imran datang sambil membawa sesuatu ditangannya.
"Antum sudah mau pulang?"
"Iya, Bang. Antum juga mau pulang"
"Iya, anak-anak udah capek itu" sambil menunjuk kearah mobil Avanza Veloz yang terparkir tepat diseberang mobil Arif
"Ini, kalau antum tidak keberatan. Abang, mau ngasih ini" sambil menyodorkan sebuah bungkusan
"Apa ini, Bang?"
"Jadi, ceritanya, teman istri abang baru pulang dari Madinah. Ngunjungi saudaranya yang tinggal disana, nah adiknya istri saat itu, beberapa minggu lagi mau menikah, jadi, istri nitip ke temennya itu suruh bawakkan gamis putih baru untuk abang. Qadarullah gamisnya kepanjangan, terus juga ketiaknya agak pas. Lalu, istri minta gamisnya disimpen dulu, buat nanti kalau badan Abang sudah kurus, tapi, istri juga kasih opsi kedua, kasih sama orang lain saja. Biar menambah pundi-pundi amal jariyah"
"jadi, Abang mau ngasih nih?"
"Loh, iya. Setelah dipikir-pikir, badanmu paling cocok sama gamis ini"
"Ah, Bang. Ini kan hadiah dari istri Abang. Gak enaklah kalau aku yang pake"
"Ah, kamu. Gak papa. Meski ini hadiah dari Istri saya, tapi ini gamis untuk saya. Yang gak enak itu kalau kamu nerima hadiah dari istri saya gamisnya dia, itu baru masalah!"
Mereka tertawa
"Ah, Abang. Jadi, saya terima ini ya?"
"Alhamdulillah"
"Syukron ya, Bang"
"Afwan"
"Jazakallahu khoir"
"Wa jazakallahu khoir"
"Assalamualaikum"
"Waalaikum sallam"
Mereka berdua kembali berpisah, Arif tak pernah menyangka akan menerima hadiah yang tak terduga ini. Berulang kali ia bersyukur smaabil memegangi gamis baru tersebut.
'Memang, Allah itu Maha pemurah, pemberi rezeki yang tidak disangka-sangka' lirihnya
^^^
bersambung...
.....
Ditunggu reviewnya