^Selamat Membaca^
...
"Memangnya, a-aku kenapa?"
Calista mengaruk leher yang tak gatal, "Maaf sebelumnya Nyonya, tapi dari pengamatanku dua hari belakangan ini Nyonya sedikit ... aneh," ucap Calista ragu.
Naya menatap Calista berkaca-kaca, "A-aku aneh? Hiksss ... aku tidak aneh, huaaa!" Naya menjerit histeris seperti anak kecil yang sedang merajuk.
Aditya membawa Naya dalam dekapannya, "Cup ... cup, jangan menangis. Tenanglah Saya akan membuat Calista meminta maaf. Calista kamu tidak sengaja bukan mengatakan hal itu pada istri saya?"
Calista menggeleng, "Tapi---"
Aditya menunjukkan kode untuk mengiyakan perkataannya, mengerti dengan kode yang diberikan Aditya, Calista spontan mengangguk, "Benar Nyonya, saya tidak sengaja mengatakan hal itu. Hukum saja saya Nyonya."
"Apa perlu saya menghukumnya, Naya?" tanya Aditya
Aditya mengerutkan keningnya, "Naya?" panggilnya.
Aditya menunduk menyingkirkan anak rambut Naya yang menutupi wajahnya, terlihat Naya yang sedang tertidur pulas dengan dengkuran halus. Dasar, setelah membuat drama menye-menye Naya malah tertidur pulas.
"Saya akan membawanya ke kamar."
Calista mengangguk, "Baik Tuan."
Aditya menggendong Naya dengan hati-hati, takut Naya bangun lalu membuat drama lagi.
"Tidurlah yang nyenyak." Karena merasa lelah, Aditya ikut tertidur di sebelah Naya. Tanpa diduga Aditya, Naya memeluk dirinya dengan sangat erat.
"Aku tau kamu merindukan saya dua hari ini, tapi tolonglah saya masih ingin hidup. Jadi longgarkan pelukanmu, Naya," bisik Aditya dan Naya langsung melonggarkannya kemudian terlelap kembali.
Mereka berdua tertidur dengan sangat nyenyak hingga tak menyadari hari sudah menjelang malam. Namun, karena pergerakan tiba-tiba dari Naya, spontan membangunkan Aditya dari tidurnya mengikuti langkah ah tidak lari Naya keluar ruangan.
"Muntah lagi?"
Naya melirik sekilas, "Apa pedulimu?"
"Saya adalah ----"
"---Huek! Huek! ah sial, kenapa hanya cairan yang kelu--Huek!"
"Apa kamu baik-baik saja? Apa perlu saya menyuruh orang untuk membuatkan teh tawar hangat untukmu? atau saya harus ---"
"--- Diamlah! Aku mual mendengar semua ocehanmu" pungkas Naya.
Aditya mengangguk paham, "Baiklah-baiklah, apa sudah lebih baik?"
Naya mengangguk, "Alhamdulillah sudah, sana aku ingin berwudhu!" usir Naya.
Aditya mengerutkan keningnya, "Sholat?"
"Iyaa sholat, apa ada yang salah?" tanya Naya.
"Bukannya minggu ini seharusnya kamu sedang haid?" tanya Aditya.
Deg
Jantung Naya berhenti berdetak untuk beberapa saat, "Mungkin bulan ini tanggal haidku tidak lancar, ah sudahlah keluar dari sini. Aku ingin berwudhu"
Aditya mengangguk ragu, "Baiklah, saya juga akan berwudhu bersamamu"
"Terserah kau saja" Naya mulai mencuci muka dan menyikat gigi lalu berwudhu.
"Tunggu saya. Saya akan memimpin sholat."
Naya berdehem sebagai jawaban, sesampainya di ruangan Naya segera mengecek kalender dan benar saja, Naya telat seminggu ... lalu bagaimana ini?
"Sedang melihat apa?"
Naya menoleh kaget dan berusaha menutupinya, "Ayo kita sholat, waktunya akan segera habis" ucapnya mengalihkan.
Aditya mengangguk, kemudian mereka berdua mulai mengelar sajadah dan sholat dengan khusyuk.
Cup
Naya mencium uluran tangan Aditya dan Aditya memajukan tubuhnya lalu menempelkan benda kenyal di ubun-ubun Naya. Sederhana, tapi memiliki dampak yang dahsyat untuk keduanya tanpa keduanya sadari.
"Kak, saya lapar," ucap Naya sambil melipat sajadah keduanya
"Ya makan,"
Naya memainkan jarinya, "A-aku ingin makan asal kakak ... menyuapiku."
Aditya menaikkan alisnya, "Hanya itu? baiklah, saya akan menyuruh Calista membawakan makanan untukmu."
Naya langsung memeluk pinggang Aditya, "Makasih kak,"
Aditya membalas pelukan Naya dengan ragu. Hingga suara ketukan pintu membuat Aditya melepaskan pelukan mereka secara sepihak.
"Maaf mengganggu, ini makanannya Tuan," ucap Calista sambil membawa nampan dan menyimpannya di atas Nakas.
"Permisi"
"Terima kasih" ucap Naya dan dibalas anggukan sopan Calista, setelah itu Calista pamit undur diri dari hadapan keduanya.
"Kak, ayo kita makan perutku sudah tak bisa menahan rasa lapar lebih lama lagi."
Aditya menurut kemudian ikut duduk di ranjang bersama Naya. Aditya mulai menyuapi Naya dengan sendok. Namun, sendok itu disingkirkan Naya sebelum mencapai mulutnya.
"No, aku ingin makan dari tangan kakak bukan dari sendok!" tolak Naya.
Aditya menghela napas, "Baiklah, buka mulutmu."
"Aaaa, nyam nyam nyam enak!" seru Naya bahagia.
Aditya menyuapi Naya hingga makan habis, lalu segera mengambil segelas air sebagai penutup.
Gluk Gluk Gluk
Naya menyeka butiran air yang berada di bibirnya, lalu kembali menyerahkan gelas itu pada Aditya, "Makasih."
"Baiklah, saya pergi ---"
"---Huek!" Naya segera berlari ke kamar mandi meninggalkan Aditya yang bingung sekaligus khawatir dengan kondisi Naya.
"Huek! Huek!"
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Aditya.
Naya mengangguk lesu sambil menyangga tubuhnya di atas wastafel.
"Kurasa tidak, apa perlu saya panggilan dokter?"
"Tidak perlu, aku baik ----Huek!!!" Naya mengeluarkan air mata, tak tahan dengan rasa mual yang terus mendera, hingga akhirnya kegelapan datang. Untung saja Aditya cepat tanggap dan menahan tubuh Naya agar tidak jatuh.
...
"Apa dia akan baik-baik saja?"
"Tidak usah khawatir ini adalah hal normal yang terjadi selama kehamilan"
"Apa tidak ada obat untuk rasa mualnya?"
"Tentu saja ada, saya akan meresepkannya sekaligus memberikan vitamin dan obat penguat kandungan serta obat penambah darah. Usia kandungannya masih sangatlah muda, jadi kita harus lebih memperhatikan lagi kondisi bayi dan ibunya."
Sayup-sayup Naya mendengar percakapan seorang pria dan wanita, mata Naya seakan memiliki perekat semacam lem yang menahan Naya untuk membuka mata. Lalu, apa tadi itu? mereka membahas kehamilan, siapa yang hamil? Apa Naya sedang berada dalam dunia mimpi atau ilusi?
"Kapan dia akan sadar, dok?"
"Sebentar lagi dia juga akan sadar, tenanglah. Tugas saya sudah selesai, saya permisi, Pak"
"Tunggu, berapa usia kandungan Naya?"
Naya berusaha bangun ketika mendengar namanya disebut, tidak-tidak ini pasti hanya sebuah mimpi.
"Dua minggu, kehamilannya baru berjalan dua minggu. Usia itu sangat rentan jadi mohon menjaganya dengan baik."
"Baiklah, saya mengerti"
"Saya permisi Pak."
Naya berusaha membuka matanya, aneh kenapa tubuhnya terasa sangat lemas bahkan membuka mata saja rasanya sulit.
Naya merasakan pergerakan ranjang di sebelahnya. Naya merasa seseorang mencium seluruh wajahnya dengan lembut.
"Terima kasih! terima kasih! terima kasih, Naya .... terima kasih karena telah menghadirkan alasan hubungan kita tetap utuh," bisik seorang pria yang suaranya sangat familiar di telinga Naya.
Setelah itu Naya kembali ditelan oleh kegelapan yang sunyi. Selang beberapa menit kemudian, Naya terbatuk pelan bersamaan dengan terbukanya mata Naya. Naya mengerjap-ngerjap pelan menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.
"Sudah bangun? minumlah air ini," Aditya membantu menahan tubuh Naya setengah duduk untuk meminum air itu.
"Cukup, terima kasih."
Aditya mengangguk kemudian menyimpan kembali gelas lalu membantu Naya untuk duduk bersandar di ranjang.
"Kenapa aku bisa selemas ini?" tanya Naya lesu.
"Kata dokter itu karena kamu memuntahkan semua makanan yang menjadi sumber energimu, tapi tenang saja setelah meminum vitamin tubuhmu akan kembali bugar dan sehat," tutur Aditya.
Naya mengerutkan keningnya, "Vitamin? apa aku sakit?"
Apa mimpi itu nyata?
"Tidak Naya. Kamu tidak sakit, tapi kamu hamil."
Deg
Bibir Naya kelu setelah mendengar perkataan Aditya seperti bom yang bisa saja meledak setelah waktunya habis.
Aditya memegang tangan Naya lembut, "Iya Naya, kamu hamil. Kamu hamil anak saya. Buah hati kita---"
Naya melepaskan tangan Aditya, "Buah hati? apa saat kita melakukannya atas dasar cinta? Tidak bukan, anak ini adalah sebuah kesialan bagi saya, saya tidak mengharapkan---"
Aditya memegang kedua bahu Naya, "Berhenti mengatakan yang tidak-tidak, dia adalah anak saya dan juga anak kamu. Apa kamu tidak merasa bersalah setelah mengatakan hal itu?"
Naya mengalihkan pandangannya pada dinding yang polos, "Anak ya? tapi aku benci seorang anak."
"NAYA!!!" Aditya marah dan membanting nampan di sampingnya.
Naya menatap Aditya tanpa ekspresi.
"MAU ATAU TIDAK, KAMU TETAP AKAN MENGANDUNG ANAK SAYA!" Setelah mengatakan hal itu, Aditya pergi menjauh dari Naya sebelum kemarahannya membuatnya kalap dan malah melukai Naya dan anaknya.
"Aku? Apa aku harus menerima anak sial ini, anak dari orang yang kubenci? Apa anak ini juga yang menjadi alasan kenapa aku sangat manja di hadapan Aditya?" gumam Naya sambil memegang perutnya.
Naya membenci anak ini, tapi di sisi lain Naya bahagia akhirnya akan menjadi seorang ibu. Namun, apakah anak dari orang yang dia benci akan bisa Naya sayangi dan cintai, rasanya mustahil karena bagaimanapun Naya berusaha bayang-bayang kekejaman Aditya akan selalu menghantuinya, apalagi jika anak ini nantinya akan memiliki wajah yang sama dengan Aditya. Argh! Naya benci situasi seperti ini.
....
To Be Continud🍃
{Selamat berkomentar dan mendukung cerita ini}🍁
Salam Cinta📍
Apipaa❤