webnovel

Melarikan Diri

Siapa yang ada di atasku, dan siapa juga yang ada di balik pintu itu. Aku lelah sekarang semua mempermainkanku. Bukan hanya orang lain saja, tetapi setan sekalipun seakan membuatku ingin menjadi bagian dari mereka. Sial! Aku sudah berusaha terbaik sekarang malah dihalangi.

Aku masih diam di tempat. Memastikan keadaan akan baik-baik saja. dan aku bisa melepaskan diri dari kungkungan makhluk yang telah menindihkiu dari belakang.

"Kenapa kamu diam aja, sih, Mas?" Aku berteriak menatap wajah Mas Fadil yang seakan membeku saja di sana. Dia berakting seperti melihat hantu layaknya aku yang mengalami itu hampir setiap hari.

Setelah aku mengatakan hal itu, barulah dia bergerak dengan mimik wajah yang sulit kugambarkan. Sebenarnya apa yang ada di dalam kepalanya. Kenapa dia bisa menyaksikanku dengan keadaan begini. Padahal bisa saja dia panik dan berlari. Kemudian menghadapi entah makhluk apa yang sedang menindihku dengan napas yang berat sekali. Aku jadi tak paham dan berusaha tak memakinya karena respons yang menyebalkan.

Aku memejamkan mata, saat mendengar Geraman dari makhluk itu. Tapi saat kusadar dan merasa enteng, yang kulihat adalah keadaan Mas Fadil yang tidak sedang baik-baik saja. Dia seakan mau melukai dan meremukan badanku yang tak bisa melawan apa-apa.

Aku jadi takut, kalau dia kehilangan kontrol dirinya dan mau menumbangkanku sekarang juga. Ini sangat membuatku takut. Bagaimanapun tenaga laki-laki dalam keadaan normal saja sudah kuat, apalagi kalau dia sedang dalam pengaruh makhluk tak kasatmata. Aku pasti dalam bahaya besar.

"Kamu gak apa-apa, Fira? Maaf aku ga tau dan malah datang saat kamu udah kayak gini. Tadi aku ke luar untuk menenangkan diri. Aku malu karena gak bisa menuntaskan apa yang harus kuberikan ke kamu. Aku juga merasa ingin melakukannya." Wajahnya yang tadi garang kembali normal. Meskipun aku jadi kesal karena dia kembali ke versi banyak bicara.

Aku tak lagi bisa mendengarkan keluh kesah Mas Fadil dan berusaha bangkit dari ranjang dengan sisa-sisa tenagaku yang sudah terkuras habis akibat kejadian itu dan betapa syok-nya aku karena mengalami hal semenyebalkan ini. Terkadang, gangguan para setan tak lagi menjadi momok yang menakutkanku, mereka lebih sering menjengkelkan dan membuatku muak harus menghadapinya berkali-kali tanpa adanya jalan keluar.

Aku memakai baju di hadapannya. Kurasa Mas Fadil sudah tau apa yang telah kupikirkan. Dia sudah bersiap mau menghalangi jalanku, tapi tida lagi. Kali ini semuanya ada pada keputusanku.

"Kamu tahu, Mas. Aku benci kamu." Aku tak tahu lagi apakah ada kata yang lebih buruk lagi, tapi untuk sekarang ini, itulah yang aku rasakan. Kebencian tiada Tara untuk Mas Fadil yang enggan sekali gerak cepat untukku yang hampir ditiduri makhluk ghaib.

Kurang ajar!

Fira yang lemah ini sealu saja diremehka. Dia pikir aku akan menyerah mencari kebenaran dan membongkarnya sampai akar. Aku akan melakukannya dengan atau tanpa dia sekalipun.

Aku tak perduli ketika Mas Fadil berusaha meraih tangan, bahkan menarik bajuku sampai aku harus berpegangan pada gagang pintu agar tak terjatuh dan membuat gerakanku terbatas. Ini akan jadi hal yang paling aku inginkan. Pergi tanpa ada orang yang membuatku merasa harus tinggal serta menjadi yang paling lemah, sampai harus menerima keadaan begitu saja dan aku setiap hari akan dijadikan tumbal oleh mereka semua.

Keributan kami yang senyap mendadak ramai ketika aku meliha Pak RT berusaha menghentikanku bersama Bu Tuti yang tentunya hanya berpura-pura karena dia maunya memang berbeda. Ingin aku dan Mas Fadil angkat kaki dari sini lalu dia akan bebas kerasukan dan menjadi orang yang ternyata menyeramkan. Menyembunyikan kebusukan dirinya sendiri. Aku yakin itulah yang dia inginkan.

"Lepasin aku, Mas!"

Kali ini aku bisa membentaknya. Bisa membuat dia merasa menyesal karena telah berbuat hal yang tak kuinginkan. Memangnya dia siapa bisa melarangku.

"Fira, ayo kita bicara dulu, ya, Sayang. Kamu mau ke mana malam-malam gini? Kamu bisa celaka. Di luar bahaya!"

Mas Fadil berhasil meraih tanganku dan menggenggamnya sangat erat sampai aku merasakan perih di pergelangan tangan. Sepertinya dia tak menyadari telah melukaiku.

"Biarin aja aku pergi, toh, kamu juga gak akan biarin aku celaka, kan? Aku ingat kata-kata Kiyai Akmal. Kata beliau, aku ini calon tumbal. Entah siapa lagi yang punya masalah denganku sampai mau jadiin aku yang gak tahu apa-apa Ini sebagai bahan persembahan. Aku pikir kami baik, Mas. Tapi udahlah, gak ada gunaanya juga. Kamu akan terus merasa gak bersalah kan. Atau jangan-jangan kecurigaan Wisnu benar, kalau kamu mau membuatku hilang dari dunia ini."

Tiba-tiba tangannya terlepas dan tak lagi memandangku yang kian menjauh darinya. Mas Fadil kaku di tempat. Kakinya seakan terpatri di sana. Tak ada rasa bersalah sedikitpun untuk dia menghaturkan kata maaf.

Aku tak tahan dengan sesak di dada. Dengan segera berlari dalam keadaan menangis. Padahal langit begitu gelap. Malam ini mendung. Bulan malu-malu bersinar. Aku menerangi jalan dengan senter yang ada di ponselku. Namun, karena kekesalan tadi, aku sampai lupa mengisi daya ponsel dan langsung saja kembali mematikannya dan memasukan benda pipih itu ke dalam saku celana.

Dalam kesunyian yang hanya terdengar suara-suara binatang yang bersahut-sahutan lalu hampir jatuh dan tidak ada yang menolong ketika aku semakin jauh hingga tak mampu lagi menahah semua yang mau lakukan sekarang juga. aku jatuh tersungkur. tak mampu lagi menopang tubuh yang tak lagi kuat ini.

Lama aku meratapi nasib hubunngan diam saja, aku merasaka ada yang mendekatiku dari arah belakang dan aku menengoknya hingga melihat ada seoranh yang tak asing. Jelas daja di sana ada Pak RT. Orang yang aku pikitr tak akan bergrak sejauh ini.

Masalah besar ini bukan aku yang mau memulainya. Kalau pria itu merasa aku yang membuat gara-gara karena membuat pembayaran jadi lambat dari biasanya.

"Mbak, kita bisa bicarakan ini semua baik-baik daripada ribut di jalan dan di tempa yang gelap kayak gini. Ayo kiya bicara."

Aku enggan menoleh hingga aku tak sadar kalau ada satu motor lagi yang mendekat kali ini suaranya aku bisa mengenalinya.

Aku menunggunya kali ini. Dia akan menjadi orang yang membawa ke manapun aku melangakah.

Wisnu tanpa banyak bicara membawaku di atas motornya dan dia menambah kecepatan agar Pak Rt kehilangan dia serta wanita itu.

Saat jalanan sudah mulai tak memperlihatkan Pak RT, barulah Wisnu memperlambat kecepatan dia dan memulai menanyakan semuanaya.

"Ada apa. Mbak?" tanyanya.

"Antar saya ke rumah mammah saya. Kamu akan saya bayar berlipat ganda, jangan banyak tanya!"