Pak Bayu mundur perlahan dan memasuki mobilnya, sebelum kaca mobilnya tertutup rapat, Beliau mengatakan hal yang tidak pernah aku duga.
"Fira selanjutnya! Waktunya sebentar lagi, Fadil!" teriak pria itu. Aku sama sekali tak mendapat jawaban dari kata-katanya yang penuh misteri tersebut.
Setelah itu dia memacu mobilnya dengan kencang meninggalkanku dan Mas Fadil yang saling berpandangan.
"Fira, kita harus ke rumah Aki Tejo untuk menghilangkan kutukan tumbal Bu Putri. Wanita itu tidak boleh mengambilnya lagi. Tidak akan kubiarkan!" Mas Fadil tak memberi ruang untukku berkata apa-apa, dia selalu saja bergerak berdasrkan keinginannya.
Mas Fadil menatapku, kemudian dia mengambil langkah lebih dekat, menggenggam tanganku dan memengambil koper.
"Kita ke rumah Aki, yah," ajaknya.
"Kamu bisa jamin kalau dia bisa menolong kita?" tanyaku mencoba menghindar. "Aku gak yakin. Kamu gak coba jebak aku, kan?"
"Iya, Sayang. Aku jamin." Terlihat keyakinan dari dirinya.
"Oke, aku harap kamu gak boongin aku lagi, Mas!"
Beriringan kami berdua menyusuri jalan yang mulai gelap. Dia terus menggenggam tanganku, makin lama makin erat. Aku menghela napas kasar, lelah dengan ketidakjelasan ini.
Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Ternyata rumah Aki Tejo tidaklah jauh dari jalan. Letaknya ada di dalam sebuah gang kecil sebelum jalan besar. Berdiri sebuah rumah yang cukup luas. Pagar rumah yang terbuat dari bambu dan dipenuhi tanaman rambat. Mas Fadil membuka kaitan pintu dari tali, kemudian dia membimbingku masuk ke halaman rumah.
Setelah sampai di depan pintu, Mas Fadil mengetuk dengan tidak sabar. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Seorang pria beruban keluar dan langsung memandang kami dengan tatapan curiga.
"Kamu lagi! Mau apa lagi?" Suaranya sedikit meninggi.
Entah apa yang terjadi sejak tadi. Semua orang terasa berkaitan. Namun, tak ada yang mau mengatakan kebenaran kepadaku yang kebingungan ini.
"Saya mau minta tolong Aki karena istri saya—"
"Dijadikan tumbal oleh si Putri?" potong Aki tanpa membiarkan Mas Fadil menyelesaikan apa yang mau dia katakan.
Aku makin tak berdaya. Semua orang tahu keanehan ini. Hanya aku saja seperti orang bodoh, tidak tahu apa-apa. Semua informasi yang sampai di telingaku tidak pernah penuh. Setengah-setengah, tidak menggambarkan atau menjelaskan apa pun.
Aki Tejo tersenyum miring. Dia keluar dari rumah dan mempersilahkan kami duduk di kursi kayu teras rumah. Lelaki tua itu memandangku dari atas ke bawah, lalu berhenti saat melihat wajahku. Dia menggelengkan kepala dan lidahnya berdecak sesekali.
"Kau, benar-benar titisan Sinta! Pantas saja, Putri sangat terobsesi untuk melenyapkanmu sejak tahu anak bau kencur ini menikah lagi."
"Ki, lebih baik segera bantu kami untuk melepas kutukan tumbal ini," sergah Mas Fadil. Dia mulai terlihat panik lagi.
Dia mengatakan itu sambil melihat wajahku. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Semua omongan Aki barusan membuat beban baru di kepala. Jadi, selama ini Mas Fadil sudah membohongiku tentang statusnya. Jadi ... aku bukanlah istri pertamanya? Hatiku sakit sekali, bahkan aku tak mampu untuk mengatakan apa pun.
"Emm ... sulit. Putri sudah membuat penunggu rumah yang ia pelihara itu setia padanya. Saya bisa mencoba, tapi tidak bisa menjamin." Aki tampak berpikir. Keningnya yang keriput semakin berkerut.
"Coba saja, Ki. Siapa tahu berhasil. Saya ingin segera pulang ke kota. Memulai hidup baru saya," jawabku.
Mas Fadil menatapku penuh tanya. Mungkin dia kaget mendengar omongan yang barusan keluar dari mulut istrinya.
"Baiklah, ayo, kita bersihkan rumah kalian." Aki mengajak, walaupun keraguan tergambar jelas di wajahnya yang menua.
Aki bangkit dan masuk lagi ke rumah. Tidak lama kemudian, dia keluar sambil membawa sebuah tas hitam selempang. Lelaki tua itu kemudian membimbing kami berjalan ke rumah terkutuk itu. Aku sebenarnya tak siap, tetapi apa yang akan terjadi jika semua hal itu kembali menghantui.
Sepanjang perjalanan Mas Fadil tak pernah absen bertanya aku ini kenapa. Namun, aku tak mau mengatakan apa pun, yang kulakukan hanya diam dan diam. Biarlah dia mencari jawabannya sendiri. Aku rasa dia sudah tahu, tetapi dia hanya berpura-pura polos. Dia hanya perduli dengan semua rahasia busuknya.
Tak terasa kami sudah sampai di depan rumah. Mas Fadil membantu Aki membuka kunci. Bertiga kami masuk. Suasana rumah begitu ... senyap. Aki duduk di kursi ruang tamu. Beliau mengeluarkan semua isi tas hitamnya. Ada sebuah buku tebal, keris dan beberapa dupa. Ada beberapa bahan juga yang asing. Tak bisa dia kenali apa saja. Akan tetapi, yang pasti semua harus terjadi.
Mas Fadil menarikku duduk di dekatnya, besebrangan dengan Aki. Kemudian, lelaki tua yang pakaiannya serba hitam itu menyalakan dupa, membuka buku, dan membebaskan keris dari pelindungnya.
Di tengah mantra-mantra yang tak kumengerti meluncur dari mulut Aki, lampu ruang tamu mati total, aku tak bisa melihat apa pun. Suara-suara aneh dan tangisan perempuan terdengar bersahut-sahutan. Terkadang aku bisa mendengarnya sangat dekat di telinga.
"Minggat! Jangan ganggu Fadil dan Istrinya. Minggat! Ini bukan rumah kalian!" teriak Aki, nyaring. Kemudian Aki terus mepafalkan mantra yang sangat cepat. Aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan dan lafalkan. Andai bisa, aku akan membantunya melantunkan kalimat-kalimat asing yang terasa menyayat itu.
Aku menggigil ketakutan. Mas Fadil pun mendadak diam. Aku meraba kursi samping tempatnya duduk, tetapi tak bisa menemukan apa pun. Kemana dia?
Lampu ruang tamu kembali menyala. Aku menatap sekeliling. Astaga! Aku sendirian tak ada seorang pun di sini. Semua barang terlihat berantakan dan Aki yang dari tadi terdengar sibuk dengan mantra, menghilang tanpa jejak.
Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku kaku. Seperti terpatri di kursi. Tidak lama berselang, aku melihat seorang wanita dengan kebaya duduk di hadapanku. Wajah kami sangat mirip, dia bahkan tersenyum ke arahku.
Aku melambaikan tangan meminta tolong. Dia menatapku tajam dan berkata, "Mau apa kamu, Putri?!"
Apa? Putri?!
Dia bangkit dan menunjuk ke arah belakangku. Aku mencoba melihatnya, tetapi gagal karena tubuhku sangat kaku.
"Aku akan menghabisimu dan anakmu dari kehidupan Bayu. Sinta!" Terdengar lengkingan suara yang sangat aku kenal.
Aku merasakan seseorang berjalan mendekat. Wanita yang duduk di hadapanku terlihat tegang, dia berdiri dan mengambil sebilah pisau di atas piring buah-buahan yang ada di tengah meja ruang tamu.
Aku panas dingin melihat apa yang terjadi. Mungkin ada yang ingin makhluk di rumah ini sampaikan. Aku seperti menonton adegan demi adegan di masa lalu. Antara Bu putri dan Bu Sinta.
Sekarang, aku bisa melihat keduanya berhadapan. Tampak Bu Sinta mengacungkan benda tajam yang ada di tangan kanannya ke arah Bu Putri. Namun, dengan sekali sentakan, Bu Putri menangkis dengan sebuah keris dan mengambil paksa pisau itu lalu melemparkannya ke kolong kursiku.