Masih setengah perjalanan pulang ke rumah, sejak tadi sang kakak sudah mendesak Khanza untuk menjawab pertanyaannya. Lalu Khanza menyeka air matany adahulu yang sejak tadi mengalir tanpa sepengetahuan kakaknya, Arumi.
"Kak, berapa lama kau berpacaran dengan kak Dirga?" tanya nya kemudian membuka suara pada kakaknya.
"Haih, kau ini malah bertanya balik. Kau belum menjawa pertanyaan kakak tadi."
"Bolehkah aku saja yang bertanya malam ini kak? Aku sedang tidak ingin menjawwab hal apapun itu mengenai diriku malam ini." Jawabnya lagi dengan cetus.
"Astaga, apakah kau sedang sedang mendapat tamu bulanan? Huh, baiklah. Kakak dan Dirga berpacaran baru saja 8 bulan lamanya, tapi kakak belum siap mengenalkannya pada ayah dan ibu."
"Hum, jadi selama ini kau backstreet. Pantas saja," jawab Khnaza dengan nada datar.
"Awas aja kalau kau berani mengatakan hal ini pada ayah atau ibu sekalipun." Arumi mencoba mengancam Khanza sembari terus melajukan motor bututnya. Lalu kemudian dia bersenandung riang melawan terpaan angin malam yang menyeruak menerpa tubuh mereka.
"Kak, apakah kau sungguh mencintai kak Dirga? Apa kau sudah tahu seluk beluk tentangnya, keluarga dan keseluruhan tentangnya. Bagaimana jika dia membohongimu, atau dia hanya berpura-pura mencintaimu?" Khanza mulai berceloteh tanpa henti sampai membuat sang kakak hampir hilang kendali lalu menghentikan laju motor yang di kendalikannya dengan menekan rem seketika.
"Aduh, aww. Kakaak!!!" Khanza memekik karena keningnya tersungkur keras pada punggung sang kakak. Sang kakak tak pedulika hal itu, dia malah justru menatap wajah adiknya itu dengan tatapan tajam.
"Katakan, apa kau pernah memergoki Dirga dengan wanita lain di suatu tempat? Maka karena iu kah kau tiba-tiba saja tadi mengajak pulang dengan ekspresi kesal?" tanya Arumi dengan tatapan sengit pada Khanza.
"Cih, paan sih kak? Aku hanya bertanya saja, jangan menerorku dengan pertanyaan begitu. Aku hanya ingin memastikan saja, ayolah.. tak perlu kau begitu gusar."
"Hah, hah. Syukurlah." Jawab singkat Arumi dengan helaan nafas panjang.
"Aku hanya ingin tahu bagaimana tanggapan kakak, jika kak Dirga nyatanya sudah memiliki seorang istri dan anak. Itu saja," kembali Khnaza bertanya dengan nada lirih.
"Ya, ehm, aaah.. aku, aku memilih untuk putus darinya."
Khanza terhentak kembali menatap wajah kakaknya karena jawaban itu. Hatinya seperti terindih sebuah batu besar. Sesak, berat, sakit, pedih, menajdi satu.
"A,apa hah? Mengapa kau terkejut begitu mendengar jawaban kakak?"
"Bukankah kakak sangat mencintai kak Dirga?"
"Ya, itu benar. Tapi kakak akan memilih untuk melapskannya jika dia memang sudah berisri dan memiliki seorang anak. Kakak tidak akan bisa hidup tenang jika nyatanya masih ada yang akan terluka di balik kebahagiaan kakak dan Dirga."
Khanza sudah tak mampu lagi berkata-kata, kedua bibirnya seperti terkunci rapat, dengan sekuat tenaga dia bendung tangisnya di pelupuk matanya agar tidak berderaian jatuh membasahi pipinya. Meskipun mungkin sang kakak tidak akan mengetahui tangisnya kerena kini mereka sedang berada di tempat yang cukup gelap dan minim dari cahaya-cahaya lampu di jalanan.
"Aakh, kau malah diam setelah kakak menjawabnya. Terserahlah, yang terpenting Dirga tidak akan demikian, aku tau dia hanya memiliki aku saja. ayo pulang saja, nanti ibu ngomel." Jawab Arumi kemudian dengan kembali menyalakan mesin motor bututnya. Khanza menurut tanpa berkata apapun lagi.
Tak berapa lama kemudian mereka sampai di rumah, dengan cepat Khanza berlari menuju kamar nya tanpa aba-aba dari sang kakak lagi.
"Hei, Za. Tunggu, kakak masih ada yang ingin di tanyakan." Teriak Arumi pada adikny itu hendak berbicara mengenai hal tadi. Karena kini di dalam hati Arumi mulai bertanya-tanya, dia pun ingin memastikan apakah Denis sudah mengutarakan perasaannya seperti yang dia katakan disaat Khanza pergi ke toilet di kafe tadi. Namun khanza tak pedulikan teriakan sang kakak, dia langsugn saja memasuki kamar dan menghempaskan tubuhku di atas kasur.
~
Pagi pun tiba, setelah hampir semalaman Khanza menangis dan menahan sesak di dadanya, hari ini dia tak mampu beranjak bangun dari posisi tidurnya. Kepala nya begitu berat dan penig di rasa, sekujur tubuhnya terasa kaku, dan tiba-tiba saja flu menyerangnya pagi ini. Dia mulai merasakan sekujur tubuhnya dilanda demam yang teramat tinggi.
"Ah… kepalaku, mengapa berat sekali." Khanza memekik kecil ketika dia hendak memaksakan diri untuk turun dari ranjang tempat tidurnya.
Tok tok tok…
"Za, kau sudah bangun. Cepat keluar, sarapan sudah siap. Nanti kau terlambat ke sekolah,"
Terdengar suara ibu Khanza berulang kali mengetuk pintu kamar Khanza dan memanggilnya. Namun suara Khanza terasa serak saat hendak mengeluarkan suaranya untuk menanggapi ibunya yang sejak tadi membangunkannya. Dengan sekuat tenaga dia berusah kembali untuk berajak bangun namun justru malah tubuhnya ambruk di atas kasur.
"Ah, sudah lah. Aku tunggu saja ibu sampai menerobos masuk ke kamar ku setelah ini, aku yakin ibu masih punya kunci cadangan." Ujar Khanza dengan suara nya yang melemah.
Jelang 30 menit kemudian, benar saja. Khanza merasakan sentuhan yang hangat di atas keningnya, dia menyipitkan kedua matanya untuk melihat siapa pemilik tangan itu, karena untuk membuka matanya dengan lebar Khanza tak mampu lagi sebab sudah semalaman dia menangis tanpa henti.
"Mengapa kau tidak bilang jika sedang demam begini? Tubuhmu sangat panas." Ujar ibu Khaza dengan suara lembut saat melihat Khanza membuka matanya.
"Bu, kepala ku sangat sakit. Tapi aku tidak mau ke dokter, aku tidak mau minum obat." Ujar Khanza dengan suara yang begitu serak.
"Ibu tahu, sejak kecil kau memang selalu begini saat sakit. Kau hanya ingin ibu memeluk mu saja bukan?"
Khanza mengangguk lalu kemudian sang ibu memeluknya dnegan berbaring di samping Khanza. Dengan sigap Khanza memeluk tubuh ibunya seperti anak kecil yang merindukan dekapan seorang ibu. Tak kuasa pula ia menahan air mata yang tiba-tiba saja mengalir dari kedua matanya.
"Katakan, kau ada masalah apa?" tanya sang ibu dengan terus mengelus lembut rambut Khanza. Sembari sesunggukan Khanza menggelengkan kepalanya, deru nafasnya terdengar jelas begitu berat.
"Baiklah, jika kau tidak ingin menceritakannya pada ibu. Tapi sebaiknya kau sarapan dulu, nanti kau semakin sakit jika perutmu kososng."
"Aku tidak lapar,Bu." Khanza tetap dengan penolakannya.
"Lalu bagaimana dengan sekolahmu? Sudah izin pada Chika jika kau sakit pagi ini dan tiak bisa pergi ke sekolah."
Lagi-lagi Khanza menggelengkan kepalanya.
"sebaiknya kau katakan saja pada Chika, agar dia bisa mngisi absen mu. Sebentar lagi ujian pelulusan, bagaimana jika kau gagal lulus dengan nilai yag terbaik di sekolah?"
Dalam hati Khanza berpikir sejenak dan membenarkan apa yang di katakan oleh sang ibu, dia tak ingin hanya karen akekacauan yang kini menyerbunya membuat semua tampak gagal begitu saja. Ada baiknya memang jika dia menghubungi Chika dahulu.
Lalu kemudian Khanza meraih ponselnya untuk mengirim pesan pada Chika, di beritahunya jika dia sedang sakit dan izin untuk tidak ke sekolah. Dan di akhir pesan singkatnya Khanza meminta sahabtnya itu untuk tidak memberitahukan pada pak Gibran jika Khanza sedng sakit. Apapun alasannya itu, di pastikan jika Chika akan merahasiakannya. Tak peduli jika nantinya Khanza akan mendapat absen bolos dari sekolah.