webnovel

Rindu Rumah

"Cuma demam sih, Mbak," jawab Hilmi.

"Cepet sembuh ya, Mi." Nadira tersenyum tulus.

Senyumannya pun langsung dibalas oleh Hilmi.

***

"Mbak? Kita makan di sini?" tanya Hilmi yang merasa minder dibawa ke tempat makan khas Jepang yang ada di mall.

"Iya, enak tau makanannya."

"Maaf, Mbak. Saya–"

"Udah, enggak usah mikirin bayarnya. Saya traktir," potong Nadira dan langsung mencari tempat duduk.

Mau tidak mau, Hilmi pun hanya bisa berterima kasih dan menyusulnya. Setelah mendapat tempat duduk, mereka pun memesan makanan.

Ada berbagai macam makanan di sini. Mulai dari fried chicken, beef yakiniku, beef teriyaki, egg chicken roll, dan masih banyak lagi.

"Kamu mau pesen apa, Mi?" tanya Nadira membuat Hilmi bingung tak ketulungan.

Karena kelamaan mikir, Nadira pun menawarkan menu yang sama dengannya, yaitu menu paketan yang terdiri dari dua egg chicken roll, dua shrimp roll, nasi, beef teriyaki, clear soup, salad, dan ocha.

Karena dia ditraktir sehingga merasa tidak enakan untuk memilih, ditambah lagi tidak tahu menahu tentang rasa yang enak di temoat makan ini, akhirnya Hilmi nurut wae lah ya.

Tak beberapa lama, makanan mereka pun datang. Hilmi merasa sudah kenyang duluan. Bagaimana tidak? Untuk satu porsinya saja sebanyak ini. Porsinya tidak terlalu besar memang, tapi dengan menu yang beragam dalam satu nampan, membuatnya terkesan banyak.

"Selamat makan, Hilmi," ucap Nadira dengan lembut sambil tersenyum sopan.

Hati Hilmi seketika berdebar sangat kencang. Apakah ini yang namanya–khm! "Makan, Mi. Jangan nge-halu terus," gumam laki-laki itu dalam hati.

"Selamat makan juga, Mbak," balas Hilmi yang langsung disambut oleh tawa kecil dari Nadira.

Nadira dan Hilmi tampak begitu menikmati makanannya. Melihat Nadira yang sedang makan, membuat Hilmi senang dan bahagia. Pipinya yang gembul ketika sedang mengunyah, ditambah lagi dengan gerakan makannya yang santai dan sangat elegan semakin membuat Hilmi terbang melayang.

"Mbak, enggak ada kerjaan lain ngajak saya makan?" tanya Hilmi yang sedang mengunyah.

Nadira berhenti mengunyah. "Saya juga enggak tau kenapa bisa ngajak kamu."

"Lah?"

"Gabut aja, sih."

Laki-laki itu melongo. Hilmi pikir dia adalah orang yang spesial bagi Nadira. Diajak makan malam bersama, seperti orang yang ingin menghabiskan waktunya untuk berdua saja.

Namun, realita berkata lain. Pupus sudah harapan Hilmi. Sabar ya, Mi, wkwk.

Setelah mereka berdua selesai makan, tempat makan Hilmi terlihat bersih dan tidak ada satu pun nasi yang tersisa. Hal itu membuat Nadira merasa aneh, 'Ini orang laper banget kali, ya?' batinnya.

Tak hanya itu, Hilmi terlihat sangat rajin. Saking rajinnya, laki-laki itu membersihkan makanan yang tercecer di atas meja, lalu menumpuk tempat makanan hingga tersusun rapi.

"Kamu pelayan juga di sini, Mi?" tanya Nadira meledek.

Hilmi tertawa kecil, "Biar pelayannya enggak capek, Mbak." Nadira sedikit tertegun.

"Kalo kayak gini kan, bisa langsung diangkat."

Nadira mengangguk paham. Setelah semuanya rapi, mereka pun beranjak ke mobil untuk pulang. Namun, ketika sampai di suatu tempat, Nadira mengajak untuk berhenti sejenak.

Tempat itu terlihat indah dan menenangkan. Bangku panjang yang terbuat dari kayu, berwarna coklat pekat dan mengkilap. Ditambah dengan pohon yang rimbun di atasnya semakin membangun suasana tenang.

"Mbak, enggak langsung pulang aja?" tanya Hilmi yang khawatir jika pulang terlalu malam.

"BERISIK!" Nadira mendengus kesal. "Kalo mau pulang, pulang aja sendiri!"

Hilmi pun langsung terdiam seperti tikus yang diteriaki raja hutan. Karena tidak mau pulang sendiri, Hilmi memilih duduk di samping atasannya itu.

Nadira terlihat sangat tenang, tubuhnya bersandar dengan nyaman di bahu kursi panjang itu. Tangannya tergeletak di kedua kakinya dengan lemas. Pandangannya pun hanya tersorot pada satu titik di depannya.

"Mbak? Gapapa?" tanya Hilmi yang merasa heran.

Nadira mengedipkan matanya pelan. Menarik napas dan menghembuskannya perlahan sambil menggigit bibir bawahnya yang sedikit tebal namun tak lebar.

'Kalo ditanya jawab kek, diem mulu. Kalo bukan atasan mah udah saya geplak dari tadi,' batin Hilmi menahan emosi karena dikacangin.

Tak ingin menyerah, mungkin telinga Nadira sedang tertutup awan-awan suram yang mendung di tengah gelapnya malam. Tanpa pikir panjang dan dengan nada sedikit keras, Hilmi memanggilnya lagi. "Mbak?"

"Ck! Bisa diem, gak?" Nadira mendengus kesal.

Hilmi melebarkan matanya. "Saya lagi butuh ketenangan. Kamu diem!" bentak Nadira sekali lagi membuat bahu Hilmi terlonjak sedikit.

"I–iya, Mbak. Ma–maaf." Hilmi tertunduk.

Malam yang indah. Sejuk dan menenangkan. Meskipun banyak orang yang berlalu-lalang, tapi suasana malam ini mampu membuat hati Nadira sedikit lega.

Entah apa yang ada dipikirannya. Nadira tak tahu apa yang harus dia pikirkan. Yang ada di dalam benaknya hanyalah 'ingin pulang'. Ya, sudah lama Nadira tidak menemui ibunya. Dia rindu akan kehangatan pelukan yang selalu didapatkannya.

Namun, pekerjaannya yang membutuhkan tanggungjawab besar tak bisa dia tinggalkan begitu saja. Dia hanya berharap, ibunya baik-baik saja.

"Kamu kangen orang tua kamu gak, Mi?" tanya Nadira terdengar seperti manusia yang mati segan hidup tak mau.

Hilmi membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya. "Kangen banget, Mbak." Hilmi tersenyum kecil.

"Ya, sama."

"Mbak juga kangen sama orang tua?"

Nadira melirik Hilmi dengan tajam. "Enggak! Kangen pak Bewok!"

"Oh, kalo gitu nanti pulangnya mampir dulu ke kosan saya. Biar sekalian ketemu pak Bewoknya," ucap Hilmi dengan polosnya sambil ternyata.

Karena kesal dengan kelemotan Hilmi yang sudah menjadi-jadi, Nadira mencubit lengan Hilmi hingga laki-laki itu refleks menarik tangannya kesakitan.

Hilmi membuka mulutnya tanpa suara seakan-akan menyembunyikan rasa sakit yang dideritanya kali ini.

Melihat wajah Hilmi yang tak karuan, Nadira pun menertawakannya dan kembali mencubit bagian lengan yang lain.

"Aduh, Mbak! Sakit, Mbak!" Hilmi berdiri menjauhi Nadira.

Nadira yang belum puas melihat penderitaan Hilmi langsung mendekatinya lagi. Hilmi berlari untuk mengindari kejaran singa itu. Tampak laki-laki tampan itu memasang wajah ketakutan. Lain halnya dengan wanita imut yang mengejarnya, dia tampak tertawa puas dan bersemangat untuk menerkam mangsanya.

Adegan kejar-kejaran antara tikus dan raja singa pun terjadi. Hingga akhirnya sang Mamang es krim membuat Nadira menghentikan perburuannya.

"Hilmi!" panggil Nadira seraya menunjuk ke arah tukang es krim sambil tersenyum kegirangan.

Hilmi pun menoleh dan langsung berlari menghampiri Nadira. Mereka membeli dua es krim cone rasa coklat dengan taburan choco chips di atasnya. Membuat malam yang dingin menjadi lebih dingin. Iya, dingin banget, kayak sikap dia, wkakak.

Hingga tak terasa mereka menghabiskan waktu malam ini dengan begitu menyenangkan. Hubungan antara Hilmi dan Nadira pun semakin dekat, Nadira seakan lupa bahwa dia pernah membenci laki-laki dan tak ingin bersenang-senang dengan laki-laki mana pun.

Karena sudah terlalu lama dan malam semakin larut, mereka memutuskan untuk pulang.

Setibanya di dalam mobil Nadira tampak begitu lemas dan kekurangan energi. Dia pun meminta Hilmi untuk menggantikannya sebagai supir pribadi.

Sepanjang perjalanan, Nadira terus memegangi perutnya yang sakit.

Hingga tiba-tiba. "Aduuuhhhh!"