webnovel

Divine Sword Project

Usai pertarungan berkepanjangan para Kesatria Suci melawan Dosa berakhir, salah satu dari Pemilik Pedang Suci membuat permohonan untuk sebuah dunia di mana dirinya dan seluruh Kesatria lainnya bisa tinggal. Dosa yang telah lama tersegel di dimensi lain tiba-tiba lepas. Para Kesatria Suci yang telah melupakan siapa dirinya harus kembali bertarung karena janji sebelum dunia mereka dibuat. Inilah kisah para Pemilik Pedang Suci yang berjuang demi melindungi dunia dari Dosa. Mampukah mereka menghadapinya?

Zikake · Fantasy
Not enough ratings
7 Chs

Nirwana

Menggunakan senter yang cahayanya kini berubah menjadi bilah pedang, seorang gadis menari dengan anggunnya di dalam rumah sakit yang didominasi kegelapan.

Di sekitar gadis berambut pirang tersebut, beberapa mahluk berupa kerangka setengah badan dengan warna hitam pekat memakai jubah melayang di udara sambil memegang sabit raksasa.

Mereka terbang ke sana kemari, mencoba menghindari serangan yang diberikan Sophia tanpa mengalihkan mata merah menyala mereka dari gadis itu.

Meski sudah berusaha menghindar, gadis bertopi baret coklat itu masih saja mampu membuat jumlah mereka terus berkurang.

Hingga akhirnya, tersisalah satu dari mereka. Mahluk menyerupai Pencabut Nyawa yang tersisa tersebut hanya mampu menatap murka Sophia. Bisa diketahui melalui nyala mata merahnya lebih terang dari sebelumnya.

"Sisa kamu saja, ya?" Sophia mengarahkan senter berbilah cahaya kepada mahluk tersebut. "Kalian sendiri yang memulainya, jadi jangan mendendam, ya."

Usai berkata, gadis itu mengambil posisi kemudian menerjang ke tempat mahluk itu berdiam sambil memegang sabit raksasa di kedua tangannya.

Tubuh mahluk itu terbelah menjadi dua bagian—atas bawah—sebab terkena pedang cahaya yang dipegang Sophia.

Merasa pertempuran telah berakhir, Sophia membuang nafas panjang. "Akhirnya selesai juga …. Baguslah aku tidak kenapa-napa." Ia memandang tubuhnya yang baik-baik saja tanpa luka.

Hanya saja seragam putih bergaris biru yang ia kenakan jadi kotor. Ada beberapa bercak hitam bagaikan darah menempel di sana.

"Ughh~ Untung saja darah Dosa tidak memiliki bau." Sophia memandang seragamnya itu dengan pandangan tak nyaman.

Kemudian, tiba-tiba saja semua lampu pada rumah sakit tersebut menyala. Sophia yang merasa silau sebab nyalanya lampu-lampu itu memejamkan sepasang mata, bahkan sampai terpaksa menutupi wajah dengan tangan.

Beberapa detik berlalu, nyeri yang timbul di sepasang mata karena tadi berkurang hingga akhirnya menghilang. Dengan demikian, Sophia pun membukanya dan mendapati ….

Sesuatu telah muncul di hadapan gadis itu. Semacam portal, dengan warna putih yang di sekitarannya terdapat partikel-partikel kecil beterbangan.

"Jadi ini memang Altair …? Bukan mimpi." Sophia bergumam sebelum melangkahkan kaki memasuki portal tersebut.

***

Segalanya berwarna putih sejauh mata memandang. Di mana-mana, hanya warna putih yang Sophia temukan setelah melangkah memasuki portal tersebut.

… Tidak. Tidak semuanya putih. Di suatu titik, ada sesuatu (?) yang memiliki warna berbeda dari tempat itu.

Dan sesuatu yang memiliki warna berbeda tersebut adalah … orang. Ada sekitar 10 orang duduk di sebuah sofa di sana, melakukan kegiatan masing-masing, maupun cuma berdiam tanpa kegiatan.

Di antara mereka, Sophia mengenal seseorang— Tidak, gadis pirang itu sebenarnya kenal mereka semua. Hanya saja ….

—Salah satu dari mereka berbalik dan mengangkat alis saat menemukan Sophia. Ia adalah Ethan—laki-laki dengan rambut putih dan mata beda sebelah.

Apa yang laki-laki itu lakukan ialah mendengarkan musik melalui headphone biru muda di kedua telinganya.

Dengan langkah-langkah kecil, Sophia menghampiri tempat Ethan dan beberapa orang lainnya itu berada.

Berdiri di belakang sofa Ethan, gadis pirang yang mengenakan topi baret coklat di atas kepalanya menepuk bahu laki-laki itu yang kini memalingkan wajah seperti tidak ingin berurusan dengannya. "Ethan, apa kau tahu sesuatu soal ini?"

"Hah!?" Ethan bertanya balik dengan suara yang sedikit ditinggikan. "Apa kau barusan mengatakan sesuatu!? Maaf! Aku tidak bisa mendengarnya!" Ia lalu memalingkan wajah lagi dari Sophia. Semua Ethan lakukan dengan sengaja.

Sophia membuang nafas, sedikit kesal. Gadis itu mendekati Ethan lalu melepas headphone-nya yang memutar musik dengan suara keras.

"Jangan asal cabut, dong …." Ekspresi masam menghiasi wajah Ethan saat ia berbalik. "Apa yang ingin kaukatakan?"

"Hanya ingin bertanya saja, apa kamu tahu sesuatu soal ini?" Sophia bertanya sambil mengembalikan headphone milik Ethan.

"Tidak tahu." Ethan meraih headphone miliknya, lalu mematikan musik yang sedang terputar padanya melalui media lain. "Yang lain juga sama. Tidak ada yang tahu-menahu soal ini."

"Oh …." Sophia mengangguk. "Lalu, apa yang kamu dan yang lain lakukan di sini? Menunggu Administrator muncul?"

"Begitulah." Ethan menjawab sesingkat mungkin sambil menggantung headphone-nya di leher. "Sepertinya, pria aneh itu hanya akan muncul jika semua Kesatria Suci sudah datang."

Sophia mengangguk sekali lagi mendengar apa yang Ethan katakan. "Oh, ya …" Tiba-tiba, Sophia teringat satu hal. "Apa kamu juga menghadapi mahluk hitam itu? Dosa."

"Tidak hanya aku. Semuanya juga begitu." Ethan melirik sembilam orang lainnya yang sedang duduk di sofa lain dengan kegiatan masing-masing atau cuma berdiam saja. "Tidak mau duduk?"

"Eh? Ah, iya." Sophia lalu melihat sekitar dengan sedikit ragu-ragu. "Emm, tidak ada sofa kosong lagi."

"Ini adalah Nirwana. Tempat di mana para Kesatria Suci yang sudah selesai bertempur melihat hasil pertempuran mereka atau tempat pria aneh itu mengawasi kita. Jangan bilang kalau kau tidak ingat soal kelebihan tempat ini."

"Tidak." Sophia menggeleng pelan usai Ethan menjelaskan. "Yang kuingat cuma Dosa, Pedang Suci, dan Altair. Sisanya sangat samar. Bisa kasih tahu apa lebihnya tempat ini atau yang lain?"

"Merepotkan." Ethan menggeleng pelan.

"Maaf saja, ya. Nanti aku akan mampir ke rumahmu untuk bertemu Rosalia." Sophia berbicara dengan senyuman.

"Itu malah lebih merepotkan." Ethan menekan pelipisnya. "Ah, ya sudah. Coba bayangkan ada sofa di depanmu."

"Hmm, baiklah." Sophia terlihat ragu sebelum memejamkan sepasang mata birunya. Ia mencoba membayangkan apa yang Ethan katakan dan ….

Sophia mendengar sesuatu. Sebuah suara semacam ada yang bergerak. Ketika ia membuka mata, Sophia menemukan sebuah sofa muncul di hadapannya yang padahal tadi tidak ada apa-apa.

"Eh!? Bagaimana bisa!? Eh!?" Ia meninggikan suara, terkejut dengan kejadian itu.

"Tolong jangan terlalu berisik." Salah satu dari beberapa orang di sana menegur Sophia dengan tatapan mata yang terkesan tajam.

Ia adalah laki-laki berambut coklat gelap dengan penutup kepala bertelinga kucing. Sorot mata coklat keemasannya memberi kesan dingin kepada siapa pun.

"Ah, maaf …." Sophia menunduk kepada laki-laki itu. "Dylan Harnie, ya, 'kan? Kamu Kesatria Suci Kayu sekaligus murid kelas sebelah—Kelas 3C," tanya Sophia, cukup yakin.

"Benar, Kesatria Suci Cahaya—Sophia Edward."

Usai menjawab pertanyaan memastikan dari Sophia, Dylan memalingkan wajahnya lalu kembali larut dalam lamunan.

Sophia yang kini sudah tidak memiliki topik untuk dibicarakan dengan Dylan, duduk ke sofa yang tadi sempat membuatnya heran.

"Seperti yang kujelaskan sebelumnya, tempat ini disebut dengan Nirwana." Merasa bahwa itu waktu yang tepat, Ethan memulai penjelasannya. "Di sini, kita di masa lalu berkumpul jika ada rapat atau sesuatu telah terjadi."

"Oh, ya. Aku ingat setelah mati kita semua dikumpulkan di sini." Sophia mengangguk-angguk. "Dan saat itu, kita diberikan hak untuk memegang Pedang Suci untuk jadi Kesatria Suci."

"Yah, itu cerita lama yang sudah tidak terlalu kuingat." Ethan memegang headphone-nya yang menggantung di leher saat berbicara. "Kesatria Suci adalah orang-orang yang membawa Pedang Suci di dalam tubuhnya …."

"Dan melindungi dunia dari para Dosa." Sophia menyambung ucapan Ethan. "Lalu, Dosa adalah mahluk yang mencoba merusak dunia. Mereka disebut Dosa karena pemimpin-pemimpin mereka memiliki nama yang mewakili tujuh dosa besar. Benar?"

"Ya." Ethan menjawab. "Altair adalah tempat yang menjadi medan perang antara Kesatria Suci dan Dosa. Bentuk Altair, serupa dengan tempat matinya para Kesatria Suci sebelum mereka diangkat—jadi Kesatria Suci."

"Hmm, semuanya sesuai dengan yang kuingat." Sophia mengangguk-angguk sekali lagi. "Lalu, apa kelebihan Nirwana ini?"

"Kelebihannya tidak banyak." Menjawab begitu, Ethan mengulurkan tangan, seperti mencoba melakukan sesuatu.

Kemudian, lantai putih yang searah dengan tangan Ethan mendadak terangkat. Seakan-akan laki-laki itu memberi perintah begitu.

"Jika kau berpikir aku mengendalikannya, maka jawabannya benar." Ethan menoleh ke arah Sophia yang tatapan matanya kini terlihat berbinar. "Segala sesuatu di Nirwana ini, kita para Kesatria Suci mampu mengendalikannya."

"Oh …. Begitu, ya. Begitu, ya." Sophia memberi anggukan penuh semangat.

Karena merasa sudah tidak ada apa-apa lagi yang perlu dijelaskan, Ethan bersandar pada sandaran sofanya dan berniat untuk memasang headphone serta mendengar lagu selagi menunggu.

Namun, niatnya itu terhenti saat ….

"Lho? Aku baru ingat satu hal dan baru menyadarinya." Sophia mendekatkan wajahnya pada Ethan, dan memandangnya dalam-dalam.

Ethan terkejut, lali tak tahu harus mengalihkan pandangannya ke mana. Sophia begitu dekat, sampai-sampai dirinya sendiri sadar bahwa wajahnya kini sedikit memerah.

"A-Apanya?" Sedikit tergagap, Ethan bertanya. "Apa yang baru kau sadari itu?"

"Matamu."

"Mataku?"

"Iya." Sophia mengangguk, lalu menjauh sedikit dari Ethan. "Bukankah sebelum dunia kita yang baru tercipta, waktu kita semua masih bertarung sebagai Kesatria Suci, mata kamu warnanya merah?"

"Oh, itu, ya." Ethan menggaruk pipinya dan mengalihkan pandangan. "Beberapa hal terjadi setelah kita semua bereinkarnasi."

"Begitu? Yah, meski tidak terlalu ingat, aku yakin banyak orang yang penampilannya berubah di sini." Sophia memperhatikan semua orang yang ada. "Lalu, Rosalia jadi adik sepupumu 'kan sekarang? Padahal dulu kalian berdua tidak punya hubungan kerabat apa-apa."

"Memang," jawab Ethan. "Tapi, sepertinya fisik kita tidak berubah sama sekali jika tidak diubah sendiri. Yang tidak ada di masa lalu, tetap tidak ada meski sudah direinkarnasi."

Tangan Ethan bergerak ke tempat telinga kanannya berada. Di sana … sesuatu bernama daun telinga yang seharusnya bisa ditemukan di situ, namun hanya ada setengah saja.

"—'Manusia tidak ada yang sempurna,' bukankah begitu?" Sophia memiringkan kepala. "Jadi, jangan sedih."

"Aku tidak sedih." Ethan menyandarkan salah satu pipi ke telapak tangan kanan. "Hanya kesal karena ketidakadilan ini."

"Itu 'kan sama saja!" Sophia sedikit meninggikan suaranya, lalu mereka berdua pun tertawa kecil.

Aku ingin mengganti cover-nya, tapi entah kenapa sepertinya gagal terus dari tadi `~`

Yah, ini curhat

Zikakecreators' thoughts